KOMODO ATAUKAH KADAL?

Jawaban untuk bagian B dari esainya (makalahnya) Sofyan RH. Zaid

Nurel Javissyarqi *

Untuk merawat sebuah ingatan, semacam hutang belum tuntas terbayar, dan waktunya cukup lama -satu tahun setengah dari tulisan jawaban bagian A (catatan facebook 23 Sep 2019), dan dari makalah yang tengah dikupas -dua tahun setengah lebih (3 Mei 2018). Ini serupa merawat tanaman hingga tumbuh mendewasa, jadilah teringat pohon langka yang saya ambil bijinya dari perbatasan Lamongan-Jombang yang kini meninggi menemui kematangan. Bersamaan jenjang waktu menggayuh prosesi tingkatan usia, selama itu juga diri mengelusnya tetap ada, tak lenyap diserang hawa lupa. Ini bukan sebentuk makluk berhati malas, tetapi mungkin begitulah salah satu cara agar selalu dalam kondisi waras dan mawas (ingat serta waspada) pada yang diuri-uri bagi lelaku musti dijalani. Menjaga kesadaran sebagai insan berpikir, yang diberi ruang-waktu untuk mengolah emosi demi tak berlaku gegabah. Istilah Jawa-nya menunggu “menep,” tenang, damai, lantas barulah derap pacuan kuda angin berambut api terbang seawan hitam ditunggangi.

Dalam mencapainya, saya menyusuri bahan-bahan terkait sampai kehilangan satu buku yang diri sukai, barangkali itulah tumbal untuk menjejaknya kalimat berikut tanpa menyebut satuan materi (sesosok tokoh). Toh sebenarnya masa itu (semasa hendak merampungkan langsung tulisan ini), tanpa menyebutnya sudah dapat melangkah. Namun ada ‘tindak’ pantas dijalani atas pendahulu, walaupun bisa saja tidak dimasukkan, dikarena keterkaitannya hanya sebatas peristilahan umum.

Sebaiknya dimulai bagian ini, Sofyan menulis: “Dalam dunia perbukuan, kita mengenal istilah “judulnya Komodo, isinya Kadal” atau “judulnya Kadal, isinya Komodo”. Tentu saja, judul buku Nurel ini adalah Komodo, tapi Komodo yang salah tempat. Komodo yang salah tempat biasanya lebih berbahaya, misalnya ‘Komodo di balik meja’. Di mana letak bahayanya judul buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia ini?”
***

Selepas menghilangkah kata “dalam” (bagian A), lalu membuat penilaian, dan lagi-lagi dengan contoh serampangan. Di manakah letak bahayanya “Komodo di balik meja”? Seorang penulis apalagi masuki alam kritik, rasa-rasanya hampir mendekati tingkatan filsuf. Mereka disibukkan pencarian-penciannya, tentu bersegenap lingkup digeluti, secara sederhana memakai (memakan) wewaktu khusus dikala menuangkan gagasan, tak ada gangguan lain, dan totalitasnya paripurna, sehingga disaat menjejakkan pandangan betul-betul kokoh seolah tidak tergoyah. Di penglihatan berbeda, kaum filsuf, kritikus, sastrawan, seolah insan nganggur, kecuali punyai jam mengajar di kelas-kelas yang diperdalaminya. Maksudnya, sebuah paragraf ampuh dalam kesatuan esai atas kebulatan ruh manunggal, dan itu bisa dikerjakan oleh yang diberi ataupun menjemput anugrah kekhusyukan, tiada rupa menghantui. Dan jenaknya, mempertebal sikap istikomah yang digayuh sampai mendapati cahaya pencerahan, bukan malah digelayuti kebingungan lantaran tidak fokus.

Keserampangan misal tersebut ingin merekatkan istilah komodo dan kadal. Seberapa bahaya ataukah lucunya komodo di balik meja? Benar hewan itu salah tempat, sebab tak hidup pada habitatnya, tetapi seringkali kejadian yang keliru bukannya bahaya, malahan lucu jadi bahan tontonan, contoh buaya dan harimau di kebun binatang. Dan saya kira, lebih bahaya tikus di balik meja. Komodo tersesat paling melukai satu, dua, tiga orang, kemudian bisa dilumpuhkan, kecuali komodo jaman purba (baca Babat Nuca Nepa). Tikus, ketika memasuki alam peristilahan dapat mewakili kaum koruptor yang tak hanya mengerat meja juga menghabisi isinya, pun tentu koruptor kelas kakap tidak cuma mencuri “kata kerja” digantinya “kata benda” (kasus SCB soal “Kun Fayakun” yang tidak Sofyan bongkar), tetapi lebih jauh menguras harta kekayaan negara, membangkrutkan mental anak bangsa.

Ketika Sofyan menghilangkah kata “dalam” lalu menilainya (memunculkan) di tempat lain, itu seperti membuat repro karya lukisan. Jadi yang dikerjakan bukan mengamati lukisan asli, tapi ditakdirkan salah, atau disibukkan mempelajari lukisan repro. Padahal lukisan yang asli masih terpajang indah di dalam museum.
***

Paragraf kedua Sofyan berbilang-kata: “Sampai saat ini belum ada tulisan, atau buku yang secara khusus membahas perihal mitos kesusastraan Indonesia. Jadi, siapapun yang mengetahui judul buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia ini akan langsung tercengang dan penasaran untuk membaca. Sebuah judul yang mencitrakan hal besar, hot, heroik, dahsyat, dan semacamnya, apalagi menggunakan pilihan kata ‘membongkar’. Kata ‘bongkar’ selain melekat sebagai judul lagu Iwan Fals, juga kerap dipakai sebagai judul pemberitaan media massa terkait skandal, sejarah, korupsi, dan segala hal yang sebelumnya tidak terungkap.”

Ketika kejahiliyaan dibiarkan merajalela, tak ada teguran, pengertian, apakah ini tidak sekandung mitos hujan melalui jendela langit, dan atau pelangi serupa sampur (selendang) bidadari? Apakah harus menanti adanya tulisan atau buku perihal mitos kesusastraan Indonesia, baru kemudian ada buku tandingan? Tak bisakah, tak bolehkah, satu buku menghadirkan kasus permitosan sekaligus membabatnya? Saya pikir yang hot, heroik, dan dahsyat itulah kejadian perombakan makna kitab suci yang dibiarkan tiada juntrung hingga sekarang! Bukankah ini skandal terbesar dalam sejarah kesusastraan Indonesia, korupsi paling keblinger yang tak diungkap orang-orang seangkatannya juga kaum pengikut yang manggut-manut mengamini?!
***

Kalimat Sofyan berikutnya: “Dari sisi pilihan judul buku, Nurel berhasil memikat pembaca dan memiliki nilai jual. Namun apakah Nurel sadar bahwa judul Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia mengandung logika generalisasi yang berbahaya? Generalisasi dalam konteks penelitian sosial, sejarah, dan budaya –termasuk sastra- senantiasa berbahaya karena bisa melahirkan manipulasi. Kita tidak bisa menyimpulkan fakta parsial menjadi fakta universal. Kalimat Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia sebagai judul mengesankan bahwa “kesusastraan Indonesia –seluruhnya- adalah mitos”. Apakah seluruh kesusastraan Indonesia dan yang terkait adalah mitos?”

Saya rasa, yang berhasil merayu-pikat ialah himbauan agar karya sastra dijauhkan dari ilmu pengetahuan, terbukti didiamkan sampai memasuki alam permitosan (tengok cover belakang MMKI). Tentu saya sadar tidak akan dibuka segera, bisa saja terjadi 10 tahun lewat dan lebih barulah ada membacanya, maka untuk menjaga mutu cetakan dipilihlah kertas hvs. Dan tiada niatan memanipulasi dengan buku itu, nyatanya jauh sebelum terbit, semua kandungan isinya sudah terposting di facebook, beberapa website, serta puluhan laman blogspot. Di manakah perangai saya bersama MMKI yang bisa melahirkan manipulasi? Bacalah tuntas esai ini…

Dan dengan bangganya setelah membuang kata “dalam,” pada “Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra,” Sofyan mengira-ira atau memperkirakan lahirnya kesan umum berpandangan, kalau seluruh kesusastraan Indonesia adalah mitos atas tampilan judul besar. Cobalah agak lunak sedikit tidak begitu tegang, penghilangan kata “dalam” sebelumnya, ditempatkan pada judul MMKI sebagai hukum balik dirasainya (pengadaannya kata “dalam” atau MMdKI), maka ada kemungkinan sampai juga ke laut. Andai boleh mengutaran kesan, Sofyan tak berani berhadap-hadapan lewat mengalihkan perhatian pembaca secara membuang kata “dalam” pada awalnya, sejenis lempar batu sembunyi tangan. Udang di balik rempeyek itu enak, tetapi udang batu di balik batu, lihatlah dulu seberapa besar batunya.
***

Sambil mendengar lagu Bongkar dinyayikan Iwan Fals yang disebutkan, saya terima masukan menambah kata “dalam” pada judul MMKI menjelma MMdKI atau Membongkar Mitos dalam Kesusastraan Indonesia. Namun penerimaan ini membawa kecurigaan, sekecilnya menghantar menuju lorong selidik; sejauh apa pengertian makna kata “dalam” di kedalaman pengetahuan seorang yang sebelumnya enteng membuang kata “dalam”? Apakah sejarak uraian mengenai kata “dalam” di bagian A?

Saya percaya, Sofyan mempunyai pengetahuan berbeda nun lebih dalam jangkauannya mengenai kata “dalam.” Ini patut didengar seksama dengan khusyuk tawadhu’ agar nantinya dapat terserap ke tulang sumsum, tulang rusuk juga boleh. Atau kesadaran mengenai kata “dalam” didatangkan dari gudang referensi bergengsi sekaligus lengkap bisa kita nikmati dan bertahan hidup memberi napas kesadaran (perihal kata “dalam”) hingga ke alam bawah sadar, yang akan berdampak baik otomatis atau spontan bisalah dimainkan, tatkala menulis-menggurat-menuangkan kata “dalam.”
***

Menarik juga, teks lagu Bongkar dijadikan sketsa untuk (dalam) menemani lantunan cerita ini:

Kalau cinta sudah dibuang
Jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperkuda jabatan

Wo o ya o ya o ya bongkar
Wo o ya o ya o ya bongkar

Sabar, sabar, sabar dan tunggu
Itu jawaban yang kami terima
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang

Wo o ya o ya o ya bongkar
Wo o ya o ya o ya bongkar
Wo o ya o ya o ya bongkar
Wo o ya o ya o ya bongkar

Penindasan serta kesewenang-wenangan
Banyak lagi, teramat banyak untuk disebutkan
Hoi hentikan, hentikan jangan diteruskan
Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan

Di jalanan kami sandarkan cita-cita
Sebab di rumah tak ada lagi yang bisa dipercaya
Orang tua pandanglah kami sebagai manusia
Kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta

O-o-oh!
Wo o ya o ya o ya…
***

Seperti membuang kerikil di jalanan dari (yang) membuatnya tersandung; batu, teguran, peringatan, kerikil itu dilempar saja tidak ditaruh pada tempat semestinya, pun tidak terjadi me(di)letakkannya dengan hati-hati pada tepian jalan, sehingga yang lain bisa kena takdir sialan atas batu tersebut. Dan lemparan keliru serupa cinta sudah dibuang bisa mengenai kepala, orang-orang menontonnya.

Di sini dibongkar lagi, di sisi manakah MMKI dihadapi? Nasib kejatuhan ke alamat rubuhnya bangunan, tapi dikiranya masih ada. Dan karena kesedihan hanya panggung tontonan, sebentar-sebentar dilupakan, lantaran terlanjur diperbudak titel, kedudukan, jabatan. Saya sadar sekaligus sabar menunggu angin berlalu, hembusan bayu mendatangkan kewaspadaan pada diri terdalam, tetapi kesabaran lenyap melihat penghilangan kata “dalam” tanpa uraian maksud pembuangan.

Ini macam berharap melucuti senjata musuh di medan perang sebelum bertarung, sedang mereka melengkapi diri untuk maju bertempur dengan persenjataan lengkap peperangan. Maka tak lebih penghapusan kata “dalam” laksana impian ultimatum Inggris tertanggal 9 November 1945, agar rakyat di sekitar Kota Surabaya berkenan menyerahkan senjatanya kepada tentara Sekutu. Jelas bujuk rayuan rendah tersebut tidak saya terima sebagaimana seruan Bung Tomo pada waktu itu.

Penindasan teks pada “kata kerja” dijadikan “kata benda,” kesewenang-wenangan terhadap kitab suci, “banyak lagi, teramat banyak untuk disebutkan, hoi hentikan janganlah diteruskan,” dengan mengakui kekhilafan, atau berbantah umpama adanya perbedaan, tidak malah kesalahan diambil hikmahnya tanpa mempelajari keinsafan. Dan kesadaran itu selangkah niat perbuatan, bukannya diam melempem, apalagi mencampakkan dengan ketidakpastian, lantaran kritik dari pengelana.

Di jalanan yang barangkali tak pernah mereka lewati, kami sandarkan kemungkinan atau rahmat Tuhan, sebab di rumah-rumah buku kritikus sastra, tidak lagi dapat dipercaya sebagai singgahan pengaduan soal-soal pengebirian teks, dikarena yang melakukannya presiden penyair Indonesia. Selanjutnya di bawah ini bukan sanggahan, tapi jawaban dari tujuan atau manfaat judul MMKI:
***

Judul buku bagi saya bertempatan seperti kepala, lebih ringan peci miring, ikat kepala, sanggul atau lainnya. Ialah plakat, merek, titel, maupun simbul identitas yang dibawai. Namun segenap ruangan kepala tidak termasuk hati. Ia mewakili sekujur tubuh, tapi tidak di atas seluruh gerak-geriknya. Dan meski perihal penting, utama, sebab secara kodrat berada pada tengkorak; atau dengan putusnya leher napas habis. Tetapi bisa saja manusia Jawa pakai sorban, orang Eropa memakai kopyah, insan Arab dengan udeng. Secara sederhana, saya bukanlah siapa-siapa, menulis juga kritik, seperti mengenakan toga tanpa menyelesaikan pendidikan sarjana (jika gambar “bertopi toga” itu lucu, dapatlah diganti dengan “mengisi acara di kampus-kampus”).

Sofyan berbilang pendapat: “Sementara buku ini hanya berisi kajian terhadap esai Ignas Kleden atas Sutardji Calzoum Bachri, dan sejumlah hal lain terkait atau tidak terkait. Apakah Ignas dan SCB adalah kesusastraan Indonesia itu sendiri? Bukankah keduanya hanyalah bagian dari kesusastraan Indonesia yang membentang panjang itu? Sebagai ‘bagian’, seharunya Nurel menuliskan kata ‘dalam’ antara Mitos dan Kesusastraan Indonesia, misalnya menjadi: Membongkar Mitos dalam Kesusastraan Indonesia.”
***

Namanya juga buku kritik sastra. Bahasa susastra mampu menyusup ke pelbagai bebidang pengetahuan, hingga menapaki jalur keilmuan pasti. Jadi teringat buku susunannya Jujun S. Suria Sumantri, “Ilmu dalam Perspektif,” yang saya baca di kelas dua Aliyah. Atau denyutan lembut alam sastrawilah yang melunakkan kata-kata menjelma kalimat berdaya pikat, sanggup merasuk menggedor jantung pembaca, dengan rasa penasaran atau tragedi sejarah yang sedang digurat. Dan menengok background diri autodidak alias tidak kenyam pendidikan sastra, tentu diatas kesadaran utuh segala pendukung turut dimainkan, dan jelasnya masih memegang watak kejujuran. Misalkan hal-hal pokok yang dikritisi, dituang pada keseluruhan cover depan serta belakang, yang diharapkan sebagai pintu-jendela angin-angin masuk untuk dibongkar ulang.

Dan kesengajaaan lewat referensi nun jauh di luar belahan susastra diambil, di sisi pola banyak pengantar sebelum ke titik-titik pembahasan, disamping cara agak-agak mengecok dalam gaya penulisan, penambahan (penajaman) di bagian-bagian belakang, dst, tidak lain itulah salah satu strategi yang dikenakan. Dengan catatan sederhana, kalau berkehendak menggulingkan MMKI, seyogyanya khatam sesadar-sadarnya, di sebelah mengetahui beberapa ikatan peristiwa terjalin yang tentu menguras daya. Saya lakukan keseluruahan itu bersegenap tenaga tidak main-main, seperti cara belajar membaca tak sekali jalan sudah. Di sini saya merasa gembira, ternyata ada juga yang hanya mengulik-ulik seputar judul tanpa ada keberanian menjebol isinya.

Banyak judul buku bisa dibilang hampir hingga lepas tak mewakili keseluruhan kandungannya. Contoh mengambil satu titel catatan di dalamnya, atau dapat pula memakai judul absurd serupa memunculkan satuan kata, ada juga yang umum jika menengok isinya kerap “kecelik pangling” atau pembaca (pembeli) merasai tertipu bayang-bayang pengandaiannya. Sangat gagah bukan, Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra? Jebakan kata “dalam” sudah terjawab di bagian A. Sejauh ini, adakah yang sudah menulis buku kritik sastra khusus memenggal berhala-berhalanya, yaitu para senior yang diagung-agungkan, meski ada kesalahan fatal atas pandangan-pandangannya?

Judul besar/utama MEMBONGKAR MITOS (kata “Mitos” ditulis miring) KESUSASTRAAN INDONESIA. Bukankah perihal pemberhalaan sama arti dimitoskan? Bisa saja penulisan kata “mitos” dimiringkan itu bermaksud tidak pada keseluruhan Kesusastraan Indonesia, atau hanya mitosnya saja yang dibongkar. Atau pun tujuan kemiringan tersebut diharapkan sudah mewakili kata “di dalam” yang tidak terterakan; ada kesengajaan dihapus, dan lagian banyak model begitu.

Di bawah plakat MMKI tertulislah: “Buku Pertama: Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia.” Buku pertama sama maknanya buku jilid 1, ditulis dengan kata “Buku Pertama,” agar menimbulkan efek lain. Kemudian, kenapa tertulis “Pelopor?” Ini jawaban saya: adakah selama ini buku kritik sastra yang mengurai satu paragraf sampai satuan kata dari esai, menjelma beberapa esai hingga muak dan muntah? Jelas pencetusnya saya di Indonesia, meski bukan seorang kritikus sastra tulen atau bisalah disematkan ke diri ini sebagai kritikus amatiran.

Lalu kata “Pemberontakan” sebanding lurus dengan kata “Membongkar” dalam kasus ini yang mengetengahkan keberanian tanpa tedeng aling-aling, manis di bibir, tetapi seperti pernah saya sebutkan, kritik itu sebatu mencelat ke jidat. Lantas kata-kata “Sejarah Kesusatraan Indonesia,” tidakkah di sana juga mengupas beberapa kasus, kejadian, peristiwa, yang sudah terekam pada perjalanan sejarah susastra; sedari sejarah kemerdekaan NKRI, riwayat bahasa Indonesia, dst?
***

Sebelum mangakhiri ini, kembali pada peristilahan dalam perbukuan “Judulnya Komodo, isinya Kadal” atau “Judulnya Kadal, isinya Komodo”. Jika MMKI judulnya komodo isinya kadal, bisa benarlah. Misalkan sudah melanggar aturan tidak memakai ISBN asli, tapi abal-abal (tentu tak semua buku saya ISBN palsu, tetapi pada MMKI dilakukan demi totalitas pemberontakannya hadir), ini dilakoni sebab tak “ngurus” undang-undang, tepatnya negara, selangkah negara pun tidak mengurusi para penggerak seni, dan andai penghargaan-penghargaan sudah diberi kepada para pelaku kebudayaan, kebanyakan lewat disuruh mengemis lebih dulu sebentuk mengajukan. Seperti kabar terterima kemarin dari seorang kawan lewat whatsapp, perihal bantuan pemerintah Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) dengan tema “Ketahanan Budaya,” sebagaimana berikut:

Bantuan Pemerintah Fasilitasi Bidang Kebudayaan Tahun 2021 dapat digunakan untuk melaksanakan kegiatan berupa Dokumentasi Karya/Pengetahuan Maestro, Penciptaan Karya Kreatif Inovatif, dan Pendayagunaan Ruang Publik. Periode pendaftaran Fasilitasi Bidang Kebudayaan akan dimulai pada tanggal 2 Maret 2021 s.d. 2 April 2021.

Bantuan Pemerintah Fasilitasi Bidang Kebudayaan Tahun 2021 yang disalurkan melalui transfer dalam bentuk uang dari bank penyalur ke rekening penerima bantuan dengan ketentuan:

1. Paling banyak diberikan sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan termasuk pajak untuk kegiatan Dokumentasi Karya/Pengetahuan Maestro;
2. Paling banyak diberikan sebesar Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) dan termasuk pajak untuk kegiatan Penciptaan Karya Kreatif Inovatif;
3. Paling banyak diberikan sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan termasuk pajak untuk kegiatan Pendayagunaan Ruang Publik; dan
4. Khusus penerima Perseorangan, untuk ketiga kategori kegiatan, paling banyak diberikan sebesar Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Informasi lebih lanjut dapat mengunjungi laman fbk.id atau akun resmi media sosial Direktorat Jenderal Kebudayaan (Facebook.com/budayasaya, Twitter: @budayasaya, IG: budayasaya, Youtube: Budaya Saya).

Terbuka untuk masyarakat umum dan komunitas. Informasi lebih lanjut ada di juknis (Perdirjenbud No.1 Tahun 2021) terlampir.
***

Menengok besaran jumlah nominal di atas, seyogyanya ada tim pencari fakta. Bukannya diminta mengajukan, serupa mendekati cara-cara manis mengemis, atau rakyat malah diajari bagaimana meminta-minta secara elegan. Ah, jadi teringat tulisannya F. Rahardi yang terposting di web SI http://sastra-indonesia.com/2020/05/lima-capil-f-rahardi/ 30 Mei 2020, mengenai kejadian yang dialami sastrawan WS. Rendra:

RAKYAT LEBIH TUA DARI TENTARA

Suatu hari, Rendra diminta berbicara dalam sebuah diskusi terbatas di Balai Budaya Jakarta. Waktu itu dia sedang dicari-cari kesalahannya oleh aparat pemerintah. Maka pas acara diskusi itu, datanglah tentara. Sambil petentengan, Rendra menghampiri tentara itu lalu bertanya, “Ada apa DIK?” Dipanggil “DIK” perwira menengah itu marah. “Saudara memanggil saya DIK?” Rendra lalu memberi ceramah, “Begini ya DIK, Anda ini tentara, saya rakyat biasa. Siapa lahir lebih dulu? Rakyat atau tentara? Rakyat lebih dulu ada, baru tentara. Jadi rakyat yang lebih tua, harus memanggil DIK ke tentara yang lebih muda.”
***

Meski agak-agak berbeda, tapi volumenya bisa dibesarkan, yakni: “Rakyat lebih tua daripada pemerintah.” Para pelaku seni dan penggerak budaya, bisa di atas tingkatan para tentara dalam bersikap pula berpilihan. Dan golput dalam pilihan umum, salah satu cara membersihkan nafsu mereka. Sedangkan para koruptor adalah musuh besar rakyat jelata, maka gantung saja sebelum bangsa dan negara bubrah.

Peristilahan lain dalam perbukuan, khususnya di Jogjakarta selepas masa Reformasi, “Buku Spanyolan” (buku separuh nyolong atau setengahnya mencuri). Seperti “buku-buku rakitan” istilah saya, yaitu buku-buku yang membeludak banyaknya kutipan, atau hanyalah meracik pendapat para tokoh, dan si penulis tak lebih bekerjanya menyerupai penyusun yang buruk.
***

Sepertinya catatan status-status di facebook ini yang mengenai jawaban bagian B sudah cukup, direkatkan sambil disimak berulang-ulang, dibenahi berkali-kali, barangkali ada yang terlewati, dan kini diunggah menjadi esai tunggal untuk diposting di website, dibaca lagi dan lagi sebelum tercetak. Demikianlah cara saya belajar sambil menghajar.
***

8 Maret 2021 (45)

*) Pengelana yang mengelola website Sastra-indonesia.com. Tinggal di Dusun Pilang, Desa Tejoasri, Laren, Lamongan. Atau di pulau terpencil yang dikelilingi aliran Bengawan Solo; yakni setengah lengkungan bengawan sebelah utara aktif arusnya, sedang lingkaran di sisi selatan tidak bergejolak arusnya.

Link terkait:
Bagian A:
http://sastra-indonesia.com/2021/03/penghilangan-kata-dalam-kritik-sastra-indonesia-i-ii/
http://sastra-indonesia.com/2021/03/penghilangan-kata-dalam-kritik-sastra-indonesia-iii/
http://sastra-indonesia.com/2021/03/penghilangan-kata-dalam-kritik-sastra-indonesia-iv/
http://sastra-indonesia.com/2021/03/penghilangan-kata-dalam-kritik-sastra-indonesia-v/

Esainya Sofyan RH. Zaid: http://sastra-indonesia.com/2018/07/mengintip-nurel-membongkar-mitos-kesusastraan-indonesia/

One Reply to “KOMODO ATAUKAH KADAL?”

Leave a Reply

Bahasa »