Radhar Panca Dahana (26 Maret 1965 – 22 April 2021)
Lebaran masih duapuluh hari lagi. Tapi kamu sudah mudik duluan, mas. Benar-benar mudik. Pulang. Ke kampung akhirat. Ah. Bertambah lagi poster obituari, kini dengan raut wajahmu, di posko #saveTIM kita. Menyusul mereka, keluarga Forum Seniman Peduli TIM, yang setahun ini berguguran, satu-satu: Nadjib, Yoe, Dodi Miller, Pak Ajip, Rizal, David, Saeful..
***
Engkau yang pada sebuah malam yang hangat, di usia tiga belas tahun, dengan mulut mengulum darah, memutuskan kabur dari rumah orang tuamu, di Lebak Bulus. Kau yang berdiri geram di pintu belakang rumah, dengan mengepalkan tangan, berkata: “Tidak ada demokrasi di rumah ini..”. Lalu kau pun menghilang di gelap malam. Ya, bapakmu, yang melarangmu berkesenian, telah memukulmu.
Itulah hari kau mulai menjalani kehidupan bohemian. Dari satu tempat berkesenian ke tempat berkesenian. Dan Gelanggang Remaja Bulungan, di Jakarta Selatan itu pun kemudian menjadi rumahmu.
“Aku merantau di tanah kelahiran sendiri,” ujarmu, setengah getir setengah manis. Kaupun bergaul dan berdiskusi dengan banyak seniman, Rendra, Umar Kayam, dan para tokoh. Dengan gairah remaja, membaca banyak buku, dari sastra, politik, sampai filsafat. Sambil tetap bersekolah. Bahkan kemudian, sampai ke Prancis.
Kala itu, kau menjadi remaja terkaya di Bulungan, yang hidup dengan honor tulisan dari majalah Kawanku, majalah remaja, Hai, dan juga dari membuat liputan peristiwa, dari budaya sampai kriminal, untuk harian Kompas. Agar tak diketahui oleh bapakmu, kau menuliskan nama pena, Reza Morta Vileni, di setiap tulisan. Kau, yang pada usia sepuluh tahun, anak kelas empat sekolah dasar, menulis cerpen “Tamu Tak Diundang”, yang dimuat oleh Kompas. Alangkah ajaib!
***
Tadi malam, kau berangkat. Karena persoalan pada jantungmu. Sebelum kau sempat melakukan cuci darah. Rutinitas yang kau jalani saban minggu, bahkan belakangan tiga kali seminggu, selama duapuluh satu tahun! Sungguh perayaan hidup yang luar biasa. Menggantungkan nyawa di ujung sebatang jarum suntik.
Aku mengenang, dengan ingatan sesak, suatu kali di Bentara Budaya Jakarta pada sebuah diskusi mempersiapkan ‘mufakat budaya’ bersama Eros Djarot, tiba-tiba kau terdiam, menghentikan percakapan, dengan wajah memucat dan mata memejam. Keringat mengucur. Dan nafas tersengal. Selintas, pikiran buruk sempat berkelebat di kepalaku. Namun, setelah sejurus menenangkan diri, beberapa menit kemudian kau sudah kembali duduk dan meneruskan percakapan yang seru. Dengan tersenyum dan tertawa. Melanjutkan pernyataan-pernyataan satir kritis khasmu, terhadap carut-marut penghormatan pada kebudayaan di negeri ini. Keras, tapi dengan suara yang lirih.
Peristiwa ‘mengerikan’ itu tidak sekali. Berkali-kali. Di berbagai tempat dan situasi. Dan kau seperti bersahabat karib dengan malaikat maut saja. Seakan, seperti kata Chairil, ‘hidup(mu) hanya menunda kekalahan.’ Setiap tiga kali seminggu. Tapi aku tak melihatnya begitu. Sesungguhnya, kau adalah sosok pemberani, yang tak berhenti bersyukur. Dari jarum ke jarum. Dari saat ke saat. Dan mengisinya, memenangkannya, dengan keras hati. Memuliakan mukjizat dariNya, dengan sikap, pikiran, dan tindakan yang lurus. Tegas. Tak bisa ditawar. Pilihan yang tak sembarang orang mampu melakoninya.
***
Sampai pada musim berhujan, di bulan Nopember, lebih setahun lalu, di PDS HB Jassin. Ketika Pernyataan Cikini yang kau tulis dan tanda tangani bersama puluhan seniman, mengawali langkah perlawanan terhadap upaya revitalisasi Taman Ismail Marzuki yang dilancarkan secara sepihak oleh Gubernur Jakarta.
“Siapa pun, Presiden sekali pun, jika ia tak berpihak pada kepentingan kebudayaan, harus dilawan!” serumu ketika itu. Tak banyak seniman dan budayawan yang tergerak hati untuk menyuarakan pikiran jernihnya ketika itu. Dan kau ada di sana. Tegak, tanpa tedeng aling-aling. Meski setelah itu, kau harus buru-buru ke rumah sakit, untuk menghidupkan ginjalmu.
Semula aku mengenalmu dari jauh. Dari namamu yang kubaca di majalah Horison, Zaman, Jakarta-Jakarta, di surat-surat kabar, di halaman buku dan majalah. Di sebuah kota kecil, Kisaran, seratusan kilometer dari kota Medan. Nama yang kuat menyiratkan semangat. Dengan tulisan, tentang banyak hal: sastra, teater, seni rupa, sosial, politik, sejarah, sampai soal-soal agraris dan kemaritiman. Bahkan, soal-soal ke-Batak-an juga!
Aku pun tak bisa melupakan, saat kau hadir di rumah gorga Anjungan Sumatera Utara TMII, empat tahun lalu. Bersama seniman pemberontak yang lain, mas Tetet Srie Wd, dan para tetua seni Toba. Merayakan perjalanan hidup Nahum Situmorang, sang komponis troubadour, si pejalan sunyi juga. Dan kau berbicara dengan jernih, lugas, dan amatlah faham.
***
Lewat berbagai pertemuan, terutama selama aksi #saveTIM oleh Forum Seniman Peduli TIM, aku makin mengenalmu dengan baik. Dengan rasa hormat yang istimewa.
Lelaki berperawakan ringkih, rapuh, dengan banyak bekas jarum di lengan, tapi perkasa, bergeming dengan apa yang dipikirkan. Diskusi publik, aksi senyap ‘silent action’, percakapan di posko yang remang, berapat di LBH Jakarta, pertemuan dengan para politisi di DPRD Jakarta. Dan dengan para anggota parlemen di DPR RI, pertemuan yang tak bisa kau ikuti sampai selesai karena siangnya kau harus segera ke rumah sakit.
Dan kemarahanmu, dengan wajah keruh dan orasi mengguntur berapi, pidato kebudayaan yang sungguh-sungguh riel, dan kontekstual, di reruntuhan puing Graha Bakti Budaya yang membukit; sungguh pemandangan yang tak bisa kulupakan. Sebuah pentas “pertunjukan terakhir”, yang digagas oleh Exan Zen, Mogan Pasaribu, dan kawan-kawan Forum Seniman Peduli TIM, yang mengerikan. Tapi juga mengharukan.
Kau berseru, dengan latar bendera yang berkibaran di tangan Cok Ryan Hutagaol, dan iringan akordion Fransiscushence Raranta yang melantunkan Speak Softly, Love, gubahan Nino Rota, lagu tema film “The Godfather”, sebagai pesan sarkastik:
“Ini arogansi pemerintah. Ini arogansi Gubernur! Menggunakan kekuasaan dan kekuatan untuk menghancurkan kebudayaan. Punya kebenaran apa Anda di sini. Punya sejarah apa Anda di sini!Mentang-mentang punya kekuasaan, menginjak-injak kesenian!
Tidak ada kata. Tidak ada dialog. Tidak mau mendengar. Hanya mendengar pikirannya sendiri. Hanya berimajinasi sendiri. Tidak peduli apa suara kita. Tidak peduli aspirasi kita. Hentikan arogansi ini! Ini bukan tanah pemerintah. Pembangunan ini menggunakan uang rakyat!
Jangan larang kami di sini. Secara historis, secara konstitusional, secara kultural, kami lebih berhak di sini!”
Aksi emosional yang kemudian memicu pertemuan FSP-TIM dengan para pembuat keputusan politik di Dewan Perwakilan Rakyat RI, disusul dengan penetapan ‘moratorium revitalisasi TIM’ oleh Ketua DPRD Jakarta.
Bagiku, itu adalah peristiwa budaya, yang membuatku sesekali mengusap mata yang basah, sepanjang perjalanan pulang ke rumahku, berjalan kaki di trotoar Cikini Raya yang bergerimis dan mulai sunyi, menuju stasiun Cikini, dan terduduk di gerbong kereta terakhir ke Bekasi, malam setelah peristiwa dramatik siang itu. Mengenangkan wajah pedihmu, tidak hanya dukacita karena diruntuhkannya Graha Bakti Budaya, rumah tempat ingatan sejarah kesenian bersemayam, tapi juga mengenangkan kau yang terluka karena besi beton yang menancap dan membuat tungkai kakimu berlumur darah; dan kau tak hirau. Tapi, setelah itu, kau lunglai, dan terbaring di emperan Teater Kecil TIM. Dikerubungi kawan-kawan dengan hati cemas.
***
Tapi kau memang pemberani, Bung. Dan amatlah mengagumkan, ketika pertemuan empat jam dengan Gubernur Jakarta, dan Dede Yusuf, di sebuah tempat di jalan Mahakam, Blok M, bersama sahabatmu, Mas Noorca M. Massardi, Exan Zen, dan Joe Marbun, membahas semua tuntutan Forum Seniman Peduli TIM, dan kau, lelaki bersosok kecil dengan suara lirih, dengan elegan, tenang, mengalirkan suasana demokratis dan egaliter yang kuat, menyebut sang penguasa Jakarta itu, dengan “Saudara Gubernur” (!). Kudengar, berkali-kali, kau menyebutkan itu. Sebutan yang membuat delapan orang yang duduk di satu meja, dengan lampu gantung yang bersinar remang-remang, yang berunding alot sampai lewat pukul 00.00 itu, menjadi setara!
***
Kubikin catatan ini, dengan hati yang rusuh. Maaf, aku tak bisa ikut mengantarmu, ke pemakaman, Bung. Tadi pagi, Exan meneleponku, dan mengingatkan. Tapi hampir sehari semalam aku tak bisa tidur, dan tubuhku agak terhuyung. Aku dilanda kantuk yang berat. Tadi malam, kucoba memburu jasadmu ke RSCM, tapi terlambat, kau sudah diusung ke Pamulang. Lalu kami berkumpul sampai tengah malam di Posko #saveTIM.
Ini hanyalah kesan sekilas, yang sama sekali tak mewakili riwayatmu. Ada ratusan, sahabat baikmu, yang pastilah bisa menulis rinci dan lengkap tentangmu.
Tapi, aku merasa wajib menuliskan yang sekilas ini, sebagai bagian dari kesaksian bahwa kau adalah orang baik. Bahwa kau seorang pemberani, yang tak pernah mengeluh. Bahwa kau pejuang dengan pikiran yang hidup. Terus-menerus hidup, meski seperti nyala sebatang lilin di tengah ancaman tiupan angin.
Lelaki bersahaja, yang senang mengenakan kemeja putih, dengan tembakau disela jari yang hampir tak berhenti mengepul. Lelaki yang bisa sangat serius, yang membuat lawan debat terjajar-jajar, tapi juga bisa tertawa terbahak-bahak. Menertawakan banyak paradoks, banyak anomali, keganjilan, kejumudan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan. Penyair, aktor, esais, penulis puluhan buku, pelukis juga. Guru, bagi banyak seniman muda.
Lelaki yang terpilih sebagai satu diantara Lima Seniman Muda Masa Depan Asia, versi NHK, Jepang (1996), memperoleh penghargaan Paramadina Award, Medali Frix de le Francophonie dari negara-negara berbahasa Prancis, dan beberapa penghargaan lainnya.
Engkau, yang tak suka julukan superlatif sebagai ‘budayawan’ dilekatkan padamu. “Saya ini cuma kuncen kebudayaan,” ujarmu suatu kali, “tempat orang datang berziarah, karena kebudayaan yang sudah sekarat!” Itu pula yang kau tulis berkenaan dengan nasib Taman Ismail Marzuki, setahun yang lalu, di halaman lebar harian Kompas, “Sakratul Maut Seni-Budaya”. Kritik tajam atas anggapan banal bahwa kebudayaan, dan kesenian, hanya beban, cost.
Kebudayaan, terutama seni sebagai bagian vital di dalamnya, masih dipandang sebagai obyek yang dieksploitasi dan dimanipulasi. Bukannya dianggap sebagai investasi immateriel, yang sesungguhnya tak bisa sekadar diukur dengan angka-angka untung rugi, sebagai beban anggaran. Bahwa kebudayaan adalah obligasi, kultural dan konstitusional.
Begitu, antara lain, kau tulis.
***
Selamat jalan, kawan Radhar Panca Dahana. Akhirnya sampai juga waktumu, setelah penundaan bertahun-tahun. Dan kau dengan bernyali, menghadapi segalanya. Dengan sabar dan bahagia. Dengan merdeka.
Seruan #saveTIM belum berakhir, mas Radhar. Seperti yang pernah kau pesankan berkali-kali. Tapi hari ini bendera itu kami kibarkan setengah tiang. Ini hari perkabungan dengan dukacita yang amat dalam. Bendera itu berkibar basah, rawan, di hati kami.
Kelak, insyaallah, akan ada sebuah ruang di kawasan rumah budaya itu yang kami tahbiskan sebagai Ruang Radhar Panca Dahana. Mungkin, ia bisa menjadi radar yang mengingatkan dan menggerakkan semangat untuk terus bergerak membela yang harus dibela. Sebagaimana yang kau tunjukan selama ini. Bahwa ada seorang seniman, intelektual, yang tidak hanya cerdas, cendekia, tapi juga tak sudi berumah di atas angin. Bahwa ia ilham bagi banyak anak muda. Legenda yang terus dibaca.
Salam dan doa, bagimu, atas riwayat yang kau tinggalkan, mengiringi perjalanan ke keabadian yang tengah kau tempuh dengan lega.
Beristirahatlah dengan damai, tenteram, dan nyaman di haribaanNya, Bung Kecil yang berpikiran dan bernyali besar!
Pondok Kelapa, 23/4/2021
*) Tatan Daniel, seniman asal Sumut yang kini menetap di Jakarta.