Menyentuh Puisi Umbu Wulang Landu Paranggi

(Umbu Landu Paranggi, 10 Agustus 1943 – 6 April 2021)

(Penyair gelandangan yang nampaknya sudah lelah terkatung-katung menggelandangkan diri di dunia)


(Umbu Landu Paranggi, foto dari fb Warih Wisatsana)

Zehan Zareez *

SEREMONI
Umbu Landu Paringgi

Dengan mata pena kugali seluruh diriku
Dengan helai kertas kututup nganga lukaku
Kupancing udara di dalam dengan angin di tanganku
Begitulah, kutulis nyawaMu senyawa dengan nyawaku

Sumber: Bali Post, 1978

Sebuah puisi singkat yang spektakuler pernah lahir dari tangan seorang bohemian, Umbu Landu Paringgi. Penyair yang tak akan hangus di benak sekumpulan kata-kata ini terhitung begitu rapi menyembunyikan sisi ilahi dalam dirinya. Namun, bisa dikatakan musibah besar tak sengaja hadir dalam puisi miliknya yang berjudul ‘seremoni’. Puisi yang justru membongkar kedoknya sebagai seorang penyair sufi yang ‘khumul’ dan selalu bersembunyi di balik ‘nyawa Tuhan’nya.

//Dengan mata pena kugali seluruh diriku//
Baris pertama seperti menegaskan bahwa Umbu adalah seorang pemikir handal yang bercita-cita keras mengorek semua kejadian, bentuk, simbol, baik yang mewujud peristiwa maupun ke’ada’an sesuatu. Lebih dari itu, ia bahkan menelanjangi segala (termasuk diri dan tubuhnya) untuk menemukan apa yang sejatinya harus ketemu. ‘mata pena’ adalah kata yang dipilihnya sebagai alat. Ini tak lain sekaligus memberikan kabar bahwa melalui menulis (puisi)lah, Umbu menemukan inti hidup dan kehidupannya.

//Dengan helai kertas kututup nganga lukaku//
Baris ke dua seperti menegaskan kritik gejolak hatinya sendiri. Umbu sadar, tak ada satu pun manusia yang sempurna. Setiap yang terlahir dan sadar bahwa dirinya adalah manusia, seharusnya kesadarannya juga satu paket dengan kewajiban menangisi dosa dan kekecilan dirinya yang selalu membesar jauh melebihi ‘yang akan mengampuninya’. Dalam bentuk tubuhnya yang sempurna, setiap manusia sejatinya berhias luka, bersolek dosa, berbedak derita, dan lain sebagainya; termasuk Umbu Landu Paringgi — dalam kesadaran penuhnya. Dalam hal ini, ia hanya ingin membangun dimensi batin dengan Tuhannya, melalui diserahkannya bahasa-basa indah yang dibisa, untuk harap ampunan; yang sama sekali tak butuh dipuji sesamanya. ‘menutup nganga luka’, dalam puisi ini bukan berarti upaya penulis menyimpan kemunafikan diri. Justru, setelah perkara batinnya dengan Tuhannya selesai, tugasnya adalah berindah perangai terhadap siapa pun yang dijumpainya. Bagaimana seseorang mampu bertatap wajah dengan ramah jika seluruh luka dan dosa diumbar seenaknya ? Ini yang memperkuat diri seorang Umbu tentang ketuntasannya dalam proses ‘penggalian diri’ seperti yang ditulis di baris pertama.

//Kupancing udara di dalam dengan angin di tanganku//
Usai telaah diri di baris pertama puisinya yang kemudian diimplementasikan melalui kesadaran bagaimana semestinya menjadi manusia, Umbu kembali ‘memulangkan’ diri dan ingatannya ke tempat yang semestinya; ialah ke ruang dimana bakti harus tetap dijalankannya sebagai hamba (ibadah). Se’dewa’ apa pun seorang sufi, akan batal kesucian dirinya jika menanggalkan perintah yang butuh ditunaikan. ‘kupancing’, ‘tanganku’, adalah simbol kata yang erat hubungannya dengan gerakan ritual. ‘udara’, ‘angin’, sengaja dicantumkan untuk memberikan sinergi bahwa manusia sebagai ‘khalifatulloh fii al ardl’ bertugas mengajak seisi semesta untuk menghamba. Umbu dalam hal ini sebagai (yang mewakili) manusia, yang diberi akal, diberi jisim, diberi hati, diberi perasaan dan jiwa berjuang, mengajak seisi semesta menuju kondisi penghambaan. Ia tahu, hanya manusia lah satu-satunya mahluk yang bisa mengemban tugas demikian. Umbu menarik semua yang di luar dirinya untuk menyatu dalam kesadarannya, dan dia sendiri (dalam hal ini) yang akan mewakili semua yang diajak menuju dimensi yang diyakininya sebagai dermaga pelepasan segala keduniaannya.

//Begitulah, kutulis nyawaMu senyawa dengan nyawaku//
Baris penutup sebagai puncak dialektikanya sebagai manusia. Kata “Mu” yang dipilih tak lain adalah sebuah ujung dialog mesranya; yang ditujukan kepada yang menjadikannya ‘sementara’ ada; Tuhannya. ‘nyawa’ adalah simbol hidup. Dilesatkan ke dalam “Mu” karena memang “-Dia” lah Yang Maha Abadi Hidupnya. Dan diletakkan ke dalam “ku” tak lain karena Umbu telah mampu hidup (sebagai hamba) yang sampai kapan pun akan ikut hidup dalam Tuhannya.

Inna Lillahi wa inna ilayhi raji’un…
Selamat Jalan, Umbu Landu Paringgi
Tak ada kelana yang tak lelah
Semua punya waktu merebah.
***

*) Zehan Zareez, penyair kelahiran Lamongan, Jawa Timur.

Leave a Reply

Bahasa ยป