Puisi-Puisi Rakai Lukman

Masih, Belum Apa-apa!

Masih kerangka, belum berdaging dan berkulit. Belum berotot dan bersyaraf. Belum bermulut dan berlidah.
Masih kerangka, belum bernyawa dan bernyali. Belum melangkah dan mengayun, belum berpikir dan bekerja.
Baru kerangka, belum lekas dan pantas. Belum belum lepas dan tuntas. Belum berdzikir dan bertasbih.
Ini masih, belum usai, masih selangkah, belum nyala suluh rindu dalam dadaku.

Sekapuk, 2021

Penampung Sunyi Di Rindang Jati

Masih terlalu dini, hari yang dihitung pepohon jati. Kembang jati gugur ditelak terik. Dedaun juntai mengabarkan letih reranting sepi. Dapur daun menanak embun dan hujan. Deretan berita akar muda menulis jejak kemarau.

Masih terlalu dini, Bulan yang dieja semak belukar. Rerumput liar dan pohon kecil yang tak dikenal. Rimbun di bawah deretan jati. Yang kecil tak ada komoditi, yang remaja ditengok kawanan pemangsa, dirambati ulat bulu yang kelak jelma kupu-kupu. Sayapnya memanggil kelekar peladang kata. Yang tua di singgahi rayap, batangnya kokoh melukis kulit ari bercat tanah merah. Ditengok tengkulak berwajah sumringah, inilah mangsa bagi kantong sejarah, sergahnya.

Dedaun tersenyum di musim hujan, guguran tawa di musim kemarau. Kambium menggurat jejak waktu, rotasi nasib untung-rugi di mata saudagar, bahagia sentosa di bibir penikmat sunyi. Akar pun merapal tasbih bersama jangkrik dan kutilang. Meski masih dini, jatiku menampungmu, sampai penuh goresan sepiku.

Sekapuk, 2021

Pemintal Sepi Penyulam Sunyi

Siangnya di tegalan, malamnya cium rembulan
Paginya di rumah, sorenya menyiram bunga-bunga.
Hujan di halaman sunyi, kemarau di hampar sepi, banjir mengepung kota, bandang menyerbu desa.
Desas-desus sampai kakus. Angin lesus melahap rakus. Padi dilahap kawanan tikus. Singkong dan jagung dibakar hangus.

Gunung jamaah letus, lempeng berderit-derit mereka terbirit-birit. Lereng menjelma cekung, lengkung menampung hujan.

Ia masih di tegalan, setia cumbu rembulan
Melukis hujan juga bunga-bunga halaman. Dipintal sepi disulam sunyi menjelma oase mimpi

Kalirejo, 2021

Pergunjingan Berebut Benar Dan Tenar

Sebatas pergunjingan di tapal batas. Selepas obral bual lepas. Hembusan omong hempas. Ditepis ingin ditebas angin. Di teras diretas cemas.
Cemas meremas-remas. Digilas sinis yang rakus. Yang gegas menuju kakus. Nyali trengginas membakar kelakar puas. Menjadi abu dilibas lesat lesus. Gelisah debar-debur berderit keras.
Pergunjingan berebut pantas. Berasa logos tapi tong tepos. Saling jotos kata-kata. Berlomba menikam benar rebutan tenar. Di tapal batas pergunjingan larut sarat bekas.

Dukun, 02 April 2021


Rakai Lukman ialah nama pena Lukmanul Hakim, kelahiran Gresik 1983. Ikut berkecimpung di dunia kesenian semenjak SMA, berlanjut di Yogyakarta, lantas pulang ke kampung halaman. Di tanah kelahiran, masih ikut nimbrung di perhelatan alam estetika. Sempat nongkrong di Sanggar Jepit, Teater Eska, Roemah Poetika, Teater Havara, KOTASEGER (Komunitas Teater Sekolah Gresik), Gresik Teater, DKG (Dewan Kesenian Gresik), Lesbumi PCNU Gresik, dan Sanggar Pasir. Menjadi Guru SB di SMK Ihyaul Ulum, dan Guru BI di SMK al-Ihlas. Antalogi tunggal “Banjir Bantaran Bengawan.” Antalogi bersama, Kitab Puisi I Sanggar Jepit (2007), Burung Gagak dan Kupu-kupu (2012), dan Seratus Penyair Nusantara, Festival Puisi Bangkalan II, 2017. Juga terlibat riset dalam program pendampingan teater DKJT 2018, dan pengkajian sejarah lokal Desa Canga’an, Ujung Pangkah, Gresik 2019. Kini sedang mempersiapkan antalogi kedua, “Curhatan Bengawan” 2020.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *