Air Mata Shakespeare

Ida Fitri *
Koran Tempo, 9-10 Jan 2016

AKU mencegat Romeo yang sedang melarikan kudanya untuk menemui Juliet dan bertanya, “Tahu apa kau tentang air mata?”

Anak lelaki Montague itu tidak menggubris, ia kembali menarik tali kekang kudanya.

“Oh sombong! Kenapa tak menjawab pertanyaanku.” Aku berteriak di antara debu yang mengepul ke udara.

“Kau bertanya pada orang yang salah, Puan. Tanyakan saja pada Tuan Brooke atau Tuan Shakespeare,” teriak lelaki itu sambil menatap ke belakang. Kemudian ia kembali memandang ke depan jalan. Ia sangat terarah untuk menemui perempuan dari keluarga Capulet itu.

MUNGKIN putra Montague itu benar, Tuan Brooke atau Tuan Shakespeare memiliki jawaban tentang masalahku. Sudah lama kerongkonganku ditimbuni garam. Menurut orang-orang, itu karena air mataku telah menumpuk. Itu membuat semua makanan menjadi terasa asin. Puding Yorkshire kesukaanku saja berubah menjadi berasa garam.

Arthur Brooke sudah mati, tidak mungkin aku mendatangi kuburannya. Apa yang bisa diceritakan oleh nisan-nisan? Tak ada, selain kesunyian yang mencekam. Satu-satunya harapanku adalah mendatangi panggung-panggung drama yang bertebaran di London. Mana tahu keberuntungan berpihak padaku, dan aku bisa bertemu dengan si kumis tipis, William Shakespeare.

Langkahku terhenti di depan sebuah rumah sandiwara. Sebuah gedung bertingkat yang terbuat dari kayu. Di atas pintu bangunan tersebut tertulis Blackfriars Theater. Aku berharap di dalam sana ada sebuah jawaban dari masalahku. Beberapa wanita bergaun indah dan lelaki berjas memasuki tempat tersebut. Kupikir pertunjukan akan segera dimulai.

Bagaimana cara bertemu dengan Tuan Shakespeare yang terkenal itu?

Seorang lelaki berkemeja putih dengan topi berwarna coklat menegurku.

“Puan! Sepertinya kita pernah bertemu.” Seulas senyum ramah itu mengingatkanku pada seorang pemuda dan kudanya.

“Romeo? Untuk apa kau berada di sini? Bukankah seharusnya kau bersama Juliet?”

“Aku ingin cuti dari peran Romeo sebentar,” ujarnya ringan.

“Kau sendiri, untuk apa kau berada di tempat menyebalkan ini?”

“Menyebalkan?” Aku balik bertanya, bukankah seharusnya ini rumahnya? “Hmmm. Aku ingin bertemu Tuan Shakespeare.”

“Aku merasa bosan. Berulang kali mati untuk orang yang sama.”

“Bukankah itu cinta sejati?”

“Kau dan orang-orang menyebutnya cinta sejati, padahal aku pusing mendengar pertanyaan malaikat. Mereka sangat kasar dan menyeramkan. Setiap kali aku mengakhiri hidup, mereka selalu datang dengan wajah yang berbeda.”

Aku melirik prihatin pemuda itu. Padahal aku salah satu pengagum cinta suci Romeo dan kekasihnya. Sebuah romansa percintaan yang dibawa hingga ke liang lahat. Sekali waktu aku pernah memimpikan lelaki seperti Romeo akan melamarku. Lelaki yang tak akan menukarku mesti nyawanya menjadi taruhan. Sangat klise, tapi sungguh mengharukan.

Pemuda di sampingku itu menggigit bibir bawahnya. Kupikir ada yang salah dengan putra kebanggaan Montague itu. “Kau sakit?” aku bertanya.

“Bukankah kamu ingin bertemu Shakespeare?” Bukannya menjawab, ia malah mengingatkanku tujuanku datang ke tempat ini. Aku mengangguk perlahan. “Mari kuantar.” Lelaki itu benar-benar mengalihkan pembicaraanku.

Romeo membawaku menuju ke belakang panggung. Gorden-gorden besar menjadi penghias tempat tersebut. Sesampai di sana, sesosok wanita berambut coklat sudah menanti kami. Perempuan itu terlihat anggun di bawah balutan gaun tidurnya. Aku langsung mengenal sosok perempuan itu. Juliet.

“Dari mana saja kau, Sayang?” tanya perempuan itu manja pada kekasihnya. “Siapa wanita itu?” lanjutnya lagi sambil melihat ke arahku. Perempuan memang tak jauh dari rasa cemburu.

“Aku lupa menanyakan namanya. Dia ingin bertemu Tuan Shakespeare.” Romeo memang tidak pernah menanyakan namaku. Toh aku hanya salah satu dari perempuan yang berharap dilamar oleh pemuda sepertinya.

“Kamu Anne? Istri Shakespeare?” tebak Juliet.

Aku kembali menggeleng lemah. Siapa diriku? Aku tak yakin akan identitas sendiri. Mungkin aku adalah satu perempuan yang mewakili waktu.

“Di mana aku bisa menemui Tuan Shakespeare?” Aku belum melupakan tujuanku datang ke tempat ini.

Juliet menunjuk ke arah sebuah bilik. Sebuah tempat yang mungkin dipakai para aktris untuk bermain drama.

Ketika aku berjalan ke bilik itu, sempat kulihat Juliet menarik Romeo ke tengah ruangan. Kemudian mereka berdansa berpelukan. Ah, mereka memang pasangan yang sangat serasi.

BEGITU aku membuka pintu, kegelapan memenuhi pandanganku. Telingaku menangkap isakan lirih dari sudut ruangan. Bisa kupastikan itu suara seorang lelaki. Cahaya temaram dari arah pintu yang terbuka membuat mataku mampu menangkap punggung seorang pria naik turun: ia sedang menangis.

“Anne? Kaukah itu?” lelaki itu menyapaku tanpa berbalik.

“Bukan, aku bukan Anne-mu.”

“Lalu kau siapa?” Aku kebingungan menjawab pertanyaan lelaki itu. Perlahan ia membalikkan badan. Dan matanya menusuk hingga ke jantungku.

“Anne….” Lelaki itu langsung memeluk tubuhku. Kebingungan melanda diriku. Benarkah aku istri lelaki ini? “Apa kau menjadi begini setelah kita mengubur Hamnet?”

Hamnet? Siapa lagi itu? Tak ada Hamnet dalam kisah Romeo dan Juliet.

“Putra kita memang telah mati, Anne. Tolong maafkan aku. Maafkan aku yang begitu sibuk dengan panggung-panggung ini.” Sesal mendalam terlukis jelas di paras lelaki itu. Aku melihat seorang bocah lelaki terbaring kaku di dalam peti mati.

Tubuhku menjadi ringan dan terbang entah ke mana.

AKU merasakan kakiku kembali menjejak tanah. Aku kembali melihat sebuah proses pemakaman. Mungkinkah ini pemakaman Hamnet? Tidak mungkin. Ini pemakaman seorang wanita terhormat. Sebuah lukisan wanita cantik terpampang di depan peti mati.

Julietkah? Bukankah saat kutinggal tadi ia sedang berdansa dengan Romeo? Kenapa peristiwa menjadi terpenggal-penggal untukku? Padahal saat melihat mereka berdansa tadi, timbunan rasa asin di kerongkonganku lenyap. Tapi itu tidak berlangsung lama. Shakespeare membuat rasa asin itu datang kembali, bahkan berkali lipat dari semula.

Apakah aku ini Anne? Kekasih pria itu. Oh kenapa sangat banyak ketidakjelasan di sini?

Seorang lelaki tampan tiba-tiba berlari masuk ke arah liang lahat. Semua mata tertuju padanya. Suara desahan terdengar dari arah pelayat, “Hamlet!” Lagi-lagi kebingungan menyergapku. Apa hubungan antara Hamnet dengan Hamlet. Mungkinkah Shakespeare menciptakan Hamlet untuk Hamnet?

Lelaki yang bernama Hamlet itu memanggil-manggil sebuah nama, “Ophelia! Ophelia!” Kupikir itu nama perempuan yang terbujur kaku di dalam peti mati. Mungkin itu adalah kekasihnya. Wujud lain dari Juliet. Dan perempuan itu juga mati.

Aku belum menemukan jawaban pasti ketika seorang lelaki yang bernama Laertes mengajak Hamlet berduel pedang. Apakah Ophelia jadi alasan mereka buat bertarung? Bahkan seorang wanita memang mampu memicu perang antara dua kerajaan.

Dari wanita separuh baya yang memakai gaun hitam berpita di pinggulnya yang berdiri di sampingku, aku mendapat keterangan bahwa Laertes adalah kakak lelaki Ophelia. Dan Hamlet, kekasih Ophelia, telah membunuh ayah mereka. Dan gadis itu menceburkan dirinya ke dalam sungai. Lagi-lagi kisah cinta yang penuh kesedihan. Dan aku kembali terjebak di tengah kekacauan ini.

Sungguh mengerikan pemandangan di depan sana. Dua pemuda berbadan tegap sedang bersiap-siap untuk saling membunuh. Aku tak ingin melihat akhir dari semua ini. Rasa asin semakin menekanku. Aku bisa merasakan seluruh tubuhku berubah menjadi asin, kemudian perlahan-lahan segenap partikel dalam tubuhku menjadi bening. Aku menjadi begitu mengenal diriku.

Aku hanyalah air mata yang berwujud seorang perempuan.
***

*) Ida Fitri, lahir di Bireuen, Aceh Timur, tanggal 25 Agustus. Cerpennya dimuat di koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, dll. Kumcer pertamanya berjudul “Air Mata Shakespeare” terbit tahun 2016, dan kumcer keduanya bertajuk “Cemong” terbit di tahun 2017.

Leave a Reply

Bahasa »