(Almh.) Marianne Katoppo: Yang Hampir Terlupakan dari Sastra Indonesia *


MB. Wijaksana
jurnalperempuan.org, 2/3/2016

Mengapa Indonesia bangsa yang besar, tidak pernah benar-benar menjadi besar? Mengapa Indonesia yang kaya tidak pernah menjadi benar-benar kaya? Jawabannya bisa jadi karena kita adalah bangsa yang sangat cepat lupa. Kita cepat melupakan jasa-jasa orang yang pernah menolong kita. Kita cepat lupa meminta tanggung jawab orang yang bersalah. Kita cepat lupa pada kehendak diri kita sendiri. Menjadi cepat lupa adalah menjadi tidak peduli. Kepedulian menjadi sesuatu yang teramat langka dalam sebuah bangsa yang cepat lupa. Karena kepedulian selalu sinonim dengan terus menerus mengingat sesuatu. Kita hanya menjadi orang yang mementingkan diri sendiri Sembari melakukan pengabaian disana-sini. Lihatlah jurang diantara masyarakat Indonesia yang semakin menganga. Mereka yang kuasa semakin semena-mena sementara mereka yang jelata semakin tak berdaya. Itu karena bangsa kita lupa pada sesama. Bangsa ini sangat suka untuk mengerahkan kekuasaannya demi mendapatkan apa yang mereka inginkan daripada mengerahkan kreativitasnya untuk menjadi seseorangyang diakui keberadaannya. Demikian menurut Marianne Katoppo, teolog, jurnalis, yang juga sastrawan.

Marianne, Perempuan dan Keluarga

Mengingat Marianne Katoppo adalah mengingat perempuan. Marianne adalah perempuan penulis yang sejak tahun 1978 gigih mempertahankan kata perempuan dalam setiap karyanya[1]. Ia menolak untuk menggunakan kata wanita seperti yang selalu dilakukan oleh penulis-penulis lainnya. Perempuan menurutnya memiliki arti sangat dalam dan sama sekali berbeda dengan wanita. Perempuan adalah empu, seorang ahli, seorang yang memiliki kekuasaan. Perumpamaannya adalah empu jari (jempol). Fungsi empu jari dalam semua aktivitas jari tangan kita sangat menentukan. Kalau mau diterjemahkan, perempuan adalah orang yang memiliki otoritas atas diri dan tubuhnya. Karena ia memiliki otoritas atas dirinya, maka perempuan selalu berani menentang ketidakadilan dan mengupayakan keadilan. Berbeda dengan wanita yang dalam terminologi Jawa sering diartikan sebagai wani nek ditoto (berani ditata, keberaniannya hanya ada kalau orang lain memintanya). Pada kata perempuan, ia adalah subjek yang melakoni sesuatu yang mempengaruhi sesuatu. Sementara pada wanita, ia adalah objek yang hampir tidak memiliki kehendak. Ia hanya mau dipuja, diagungkan, dan dalam bahasa sekarang dieksploitasi.

Keteguhannya mempertahankan kataperempuan tidak lain karena keyakinannya bahwa bahasa harus jujur. “Bahasa atau karya sastra harus mencerminkan realitas. Bahasa adalah realitas itu sendiri. Perempuan nyatanya adalah pemberi dan pemelihara kehidupan. Ia yang berperan untuk terus-menerus menghidupi kehidupan ini,” ujarnya dengan tegas.

Pemikirannya dalam sastra dan perempuan tentu tidak terlepas dari ketertarikannya pada teologi pembebasan. Di tahun 1979 ia menulis sebuah karya teologi berjudul Compassionate and Free: an Asian Woman’s Theology. Buku ini diterbitkan oleh World Council and Churches yang bermarkas di Swiss. Buku ini dijadikan literatur teologi perempuan Asia dan diajarkan di seluruh sekolah teologi dunia. Dalam karyanya itu, Marianne menegaskan bahwa perempuan Asia harus berani melepaskan dirinya dari kungkungan kebudayaan luar yang asing. Perempuan harus bisa membebaskan dirinya dari nilai-nilai pinjaman atau ideologi yang tidak ia akrabi. Berteolog ala perempuan Asia adalah melakukan kritik-kritik atas semua jenis eksploitasi yang dilakukan terhadapnya akibat model-model pembangunan ekonomi dan kesejahteraan yang mengacuhkan perempuan.

Henriette Marianne Katoppo dilahirkan di Tomohon, Sulawesi Utara, 9 Juni 1943. Ia adalah anak bungsu dari sepuluh bersaudara. Ayahnya adalah Elvianus Katoppo, seorang bekas menteri pendidikan zaman Negara Indonesia Timur. Tapi, ia lebih suka menyebut pekerjaan ayahnya sebagai seorang guru daripada seorang bekas menteri. Di usianya yang menginjak 60 tahun ini, ia memilih untuk menyepi dari hiruk pikuk kehidupan. Di rumah kontrakannya di daerah Pamulang, Tangerang, Marianne hanya ditemani kucing-kucingnya yang kini telah berjumlah 20 ekor. Prapanca adalah kucing kesayangannya. Bersama kucing-kucing yang ia hapal masing-masing sifatnya inilah ia kini membagi kehidupannya. Namun, bukan berarti Marianne mengucilkan diri. Perkembangan berbagai masalah dalam masyarakat, terutama sastra, tentu saja terus ia ikuti.

Dalam sejarah sastra Indonesia, Marianne adalah tokoh yang luar biasa. Melalui Raumanen, ia mendapatkan tiga penghargaan sekaligus pada tahun yang berbeda. Ia menerima penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta (1975), Yayasan Buku Utama (1978) dan dalam Tahun Buku Internasional (1988). Ia menceritakan kembali kisah kemenangannya yang cukup unik. Naskah Raumanen yang berisi tentang pergulatan batin seorang perempuan ia kirim ke sebuah majalah perempuan. Tetapi, majalah ini pindah kantor. Selama enam bulan nasib naskahnya setebal 40 halaman ini tidak jelas. Saat itu Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) membuka sayembara mengarang novel. Abang Marianne, Aristides, mengusulkan agar naskahnya yang tak tentu rimbanya itu diikutkan lomba. Marianne memperpanjang naskah tersebut. Ide mengalir begitu deras. Ia sendiri berpikir bahwa harus ada yang luar biasa dari cerita ini. Aspek-aspek rasionalitas ia kesampingkan untuk sementara. Raumanen, sang tokoh dalam ceritanya meninggal tanpa bisa ditawar lagi. Akhirnya, naskah Raumanen benar-benar mendapatkan penghargaan itu. Marianne juga melahirkan karya-karya lain, seperti Terbangnya Punai (1978).

Sebagian besar pendidikannya ia jalani di luar negeri. Tahun 1963 setamat Sekolah Theologi Jakarta, ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi di International Christian University di Tokyo. Setelah itu, ia pindah ke Kyoto dan melanjutkan pendidikannya di semacam sekolah tinggi teologi. Ia kemudian bekerja sebagai peneliti naskah di salah satu penerbitan tertua dunia, British and Foreign Bibble Society. Ia kemudian pindah bekerja menjadi salah seorang Sales Assistant AB Svenska Pressbyran, Swedia (1972—1974). Ia juga pernah bekerja selama tiga tahun sebagai editor di Yayasan Obor Indonesia, membantu Mochtar Lubis. Pengalamannya berkeliling berbagai negara membuat ia menguasai setidaknya sepuluh bahasa asing, termasuk bahasa Yunani dan Ibrani.

Marianne mengaku sangat gembira karena sekarang ini perempuan-perempuan penulis mulai bermunculan. Mereka sangat kreatif dan berani membuka berbagai persoalan yang sebelumnya masih dianggap “tabu” untuk dibicarakan. Gagasan- gagasan kreatif perempuan ini tidak lepas dari keadaan sosial masyarakat yang sudah semakin terbuka meskipun menurutnya keterbukaan ini harus disikapi dengan sangat hati-hati. Keterbukaan ini bermuka ganda.

Ia mencontohkan, di saat negara tidak lagi melakukan pemberedelan media massa atau sensor terhadap karya sastra, peran itu justru diambil alih oleh masyarakat. Ia menyayangkan peristiwa pembakaran karya-karya sastra seperti yang dilakukan terhadap buku-buku Pramoedya Ananta Toer dan sastrawan lainnya. Keterbukaan cenderung membuat orang merasa bebas untuk berbuat apa saja, termasuk menganiaya karya sastra, padahal menurutnya, karya sastra adalah autobiografi penulisnya dalam situasi dan kondisi tertentu. Karya sastra tidak lebih menggambarkan seseorang dalam realitas tertentu. Seseorang kapan pun di mana pun bisa melahirkan karya sastra yang sangat mungkin bertentangan dengan realitas masyarakat saat itu. Makanya, ia tak habis pikir mengapa sebuah karya sastra harus dijadikan sebagai ancaman masyarakat.

Namun, di dalam dunia sastra itu sendiri pun, menurut penuturannya, bukan tidak ada “penganiayaan” sama sekali. Ia menceritakan suatu saat di tahun 1993 ketika ada penyerahan penghargaan pada salah seorang sastrawan yang menjadi penerima SEA Write Award (Penghargaan Sastra Asia Tenggara). Marianne adalah satu-satunya perempuan Indonesia yang pernah mendapatkan penghargaan serupa di tahun 1982. Pada acara itu, ia bertanya mengapa tidak ada perempuan yang bisa meraih penghargaan ini? Sudahkah para kritisi sastra di Indonesia memperhatikan karya-karya sastra perempuan penulis yang juga punya kualitas sama? Salah seorang tokoh yang hadir pada acara itu malah mengatakan, kalau Ibu Marianne rajin menulis tentu akan memiliki banyak kesempatan untuk meraihnya. Begitulah yang dikatakan tokoh itu. Kecewa dengan jawaban tersebut, terpaksa ia harus menjelaskan siapa dirinya, bahwa ialah perempuan yang hingga tahun 1993 menjadi satu-satunya yang pernah menerima penghargaan itu.

Cerita tersebut sebenarnya adalah sebuah tanda bagaimana kultur patriarki berakar kuat dalam dunia sastra di Indonesia. Kemampuan perempuan selalu diragukan. Prestasi perempuan mudah dilupakan. “Ini menurut saya, diskriminasi yang tidak kurang berbahaya dari kenyataan. Pengalaman-pengalaman perempuan yang mereka tulis dalam karya sastra ditiadakan, padahal dari pengalaman- pengalaman yang tertulis itulah suara perempuan bisa diketengahkan.” “Kita harus ingat bahwa gerakan perjuangan perempuan Indonesia modern tidak lepas dari surat-surat yang ditulis oleh Kartini dan itu karya sastra,” tegasnya. Kalau karya sastra perempuan penulis tidak diakui dalam masyarakat, kita akan melanggengkan penindasan terhadap perempuan dalam kehidupan sehari-hari.

Kartini di Mata Marianne

Berkaitan dengan Kartini, banyak orang yang salah sangka terhadap Marianne Katoppo. Orang hanya tahu bahwa ia—seolah-olah—musuh Kartini. “Padahal, sebenarnya saya sangat menghargai jasa Kartini sebagai orang yang sederhana. Secara sadar dan sengaja ia mendokumentasikan pengalaman ketertindasannya sebagai perempuan yang hidup dalam masyarakat patriarki dan feodal. Pemikirannya sangat ulung untuk ukuran saat itu. Menurut saya itu adalah pemberontakan budaya yang revolusioner pada zamannya,” jelasnya. Namun, tentu saja itu tidak cukup. Kartini seperti Mary Wallstonecraft di Inggris. Iapemikir, tapi ia tidak melaksanakan apayang menjadi pikiran-pikirannya. Meskipun demikian, Marianne mengakui, Kartini menjadi inspirasi bagi pemikir- pemikir perempuan lainnya.

Di belakang hari, ada perempuan-perempuan yang lebih revolusioner dalam memperjuangkan hak-haknya. Sebut saja, Dewi Sartika di ranah Pasundan. Ia berani melawan budaya yang menempatkan perempuan di posisi-posisi yang lemah. Dewi Sartika mendirikan sekolah-sekolah khusus perempuan yang di dalamnya mengajarkan nilai-nilai kesetaraan. Sementara itu, di Tanah Rencong ada Cut Nyak Dien. Ia adalah panglima perang yang strateginya sangat licin dan menyulitkan. Sejarah mencatat, Belanda tidak pernah bisa menaklukan daerah yang kini bernama Nanggroe Aceh Darussalam itu atau di Minang banyak perempuan pendidik yang menolak bantuan dari Belanda untuk mendirikan sekolah-sekolah—karena mereka ingin independen. “Kalau mau dibandingkan dengan apa yang dilakukan Kartini, maka Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, dan lain-lain itu, jauh lebih revolusioner. Makanya, saya menolak kalau orang hanya mengagung-agungkan Kartini, apalagi menilainya sebagai satu-satunya pejuang perempuan Indonesia.”

Lagi pula, menurutnya, Kartini itu bisa jadi tokoh yang “diciptakan” Belanda. Kartini dikatakan sebagai perempuan yang maju, berkembang, dan berani mengkritik karena berkat pendidikan Belanda. Belanda pada saat itu memang sedang gencar melakukan politik etis, politik balas budi. Jadi, Belanda itu memakai Kartini untuk menunjukan bahwa orang Indonesia kalau mau maju harus ikut pendidikan Belanda; harus memiliki pemikiran seperti yang diajarkan Belanda. Pendeknya, menjadi tiruan Belanda.

Marianne memilih untuk hidup sendiri, tidak menikah. Sebenarnya bukan tidak ingin, tapi tidak laku, katanya berseloroh. Diakuinya kini, ia mulai merasa kesepian, apalagi ia jauh dari akses informasi seperti internet, padahal di zaman sekarang, akses informasi itu sangat penting. Itu pula yang membuatnya sulit untuk berkorespondensi dengan teman-temannya. Beberapa kali selama dalam pembicaraan, ia menyinggung keinginannya untuk pulang ke Tomohon, tanah kelahirannya. Mungkin kesepiannya telah memuncak. Ia percaya sebuah syair bahwa tak ada sesuatu pun yang dapat menggantikan kesepian. Marianne Katoppo memang bukan sosok Marianne simbol Republik Perancis, pejuang cita-cita republik semasa revolusi abad ke-18. Akan tetapi, ia tetap female warrior yang bukan bersenjatakan pedang, melainkan pena. Itu pun kalau kita tidak lupa.
***

*) Jurnal Perempuan, No. 30, 2003. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Leave a Reply

Bahasa »