BERZIARAH,MENGINGAT UNTUK TIDAK MELUPA


Judul : Rumbalara Perjalanan
Penulis : Bernando J. Sujibto
Penerbit : DIVA Press
Tahun : Mei 2017
Tebal : 184;14x20cm
ISBN : 978-602-61246-1-6
Peresensi : Muafiqul Khalid MD *
serikatnews.com, 22 Sep 2017

Puisi selalu menawarkan sesuatu yang tak terberi. Sejenis santan atau madu dari realitas yang tak pernah tunggal. Begitulah puisi selalu diperah dari realitas. Lahir sebagai padanan kata yang padat, perspektif yang jelas, metafor yang jauh dari istilah klise; di dalam Rumbalara Perjalanan inilah semua komposisi puisi dapat dijumpai.

Karena puisi yang ditulis oleh Bernando J Sujibto (selanjutnya dibaca: Bje) mengajak saya berziarah ke sudut-sudut sunyi belahan dunia, dari Indonesia, lebih tepatnya dari Madura-Yogyakarta, sebagai titimangsa proses kepenyairannya, Kolombia, Australia hingga Turki. Puisi-puisi yang lahir dari tangannya adalah puisi ziarah, atau pencarian panjang dari satu masa, budaya, tempat, hingga musim yang berbeda.

Bje menegaskan, bahwa dirinya akan terus berziarah dari satu kota ke kota yang lain, dari satu negara ke negara yang lain. Dalam puisinya yang berjudul Di Canakkale: “Kuseret tubuhku dari timur ke barat, mencari garis batas, di mana akan kubelah tubuhku sebagai persembahan mitos.”(halaman 107). Atau puisinya yang berjudul Semuanya Lahir Kepada Namanya Sendiri: “aku terus berjalan. Anak musim ke semua orang. Setelah mengecup do’a do’amu.” (halaman 41).

Namun ziarah yang Bje lakukan dan terekam dalam antologi puisi ini, dapat dilihat dari empat aspek konsep dasar ziarah (pilgrimage) yang Robert Storddard klasifikasikan di dalam bukunya Defining and Classifying Pilgrimage , LA, 1977. Di antaranya yaitu, jarak (distance of movement), motivasi (motivation), tempat tujuan (destination), dan pengunjung (magnitude).

Menarik, bagaimana Bje menggambarkan jarak (distance of movement), bahwa menempuh jarak adalah “romantika perjalanan, bisikmu pelan. Merangkum lintasan waktu ke lebat berderap. Menghentak setiap sudut diam di tubuhku.” (halaman 83). Perjalanan penulis ke South Carolina, 2010, menempuh jarak yang jauh dari Indonesia. Dari jarak yang jauh itulah lahir romantika perjalanan,yang menghentak tubuhnya, yang pantut untuk dituliskan.

Romantika perjalanan yang lahir dari jarak yang berbeda dapat kita jumpai dalam antologi puisi ini. Semisal perjalanan dari Yogyakarta ke Tepi Sungai Situ Gintung, Teluk Bayur, hingga Horseshoe Columbia, Sungai Yarra, Danau Burley Griffin Australia, Selat Bosphorus, Jembatan Galata, Canakkale, Sungai Tigris, Laut Mediterania hingga Istanbul Turki. Puisi-puisinya begitu mendedahkan jarak dan pengalaman yang berbeda.

Meminjam anggapan Muhammad Al-fayyadl, bahwa etos puisi perjalanan Bje lebih cenderung romantik. Dalam artian, dari setiap jarak yang ditempuh hingga sampai pada titik tujuan, penyair nyaris terlibat untuk mengingat tanpa melupa. Misal pada satu tempat di tepi Mediterania. Bje mengajak pembaca untuk datang pada balada sedih Aylan Kurdi “datanglah ke sini, Tuan. Inilah laut Mediterania. Asinnya keringat, air mata dan darah yang tumpah dihempas gelombang.” (halaman 163). Pada titik itulah motivasi (motivation) yang mendorong setiap perjalanan hingga sampai pada tempat tujuan dapat dirasakan dengan nyata.

Sama halnya dengan tempat tujuan (destination) yang Bje rekam sangatlah beragam, tentu saja tempat yang selalu dipotret ke dalam puisinya tidak jauh dari konteks ruang lingkup sosio-kulturalnya. Sebagai pelajar muda, dari Madura, ia benar-benar berziarah ke sudut-sudut peradaban Islam sebagai alasan untuk pulang. Seperti ke maqbarah Jalaluddin Rumi, makam raja-raja di Turki, Istanbul dan Sungai Tigris.

Seperti ziarahnya ke maqbarah sang sufi Jalaluddin Rumi, dengan puisinya yang berjudul “Ziarah”, ia tegaskan “aku takkan mengatakan selamat tinggal untuk tubuhmu yang mekar pada mawar . Aku takkan mengatakan selamat tinggal untuk kuburmu, jendela menatap taman bunga . Aku takkan mengatakan selamat tinggal untuk cinta yang kau arsir dari kitab suci. Aku takkan mengatakan selamat tinggal untuk ney yang meresap ke jantungku. Aku takkan mengatakan selamat tinggal, seperti pintamu, selamat datang cinta.” (halaman144).

Begitu juga ziarahnya ke makam raja-raja di daerah Demre. Dalam puisinya “kepada makam-makam batu di atas bukit tepi laut Meditarania aku merapal doa” (halaman 55), menjadi salah satu bukti bahwa ziarah adalah ideologi yang diyakini sang penulis. Meminjam term Durkheimian bahwa ziarah menekankan motivasinya pada hal-hal yang berbau spiritualitas dan atau religiusitas yang bersifat sakral dan ukhrawi.

Laku ziarah akhir-akhir ini menjadi antitesis bagi salah satu golongan. Namum tidak ada agama yang menolak lokus ziarah. Layaknya dalam agama Yahudi, Katholik, Islam, Hindu, Budha, selain memiliki waktu khusus untuk berziarah, mereka juga memiliki tempat khusus yang dianggap suci dan wajib diziarahi. Seperti seorang muslim, mereka akan memepercayai dan berusaha untuk mengunjungi Mekkah dan Madinah, kaum Katholik akan berziarah ke Roma, Hindu akan berziarah ke Sungai Gangga dan Budha, yang akan pergi ke Lhasa juga.

Maka sejatinya ziarah adalah menemukan arti diri pada yang lain. Dengan cara memebenturkan hakikat diri pada liyan (others), maka tampak sebagai laku kebudayaan sebagaimana yang terekam dalam antologi Rumbalara Perjalanan. Dengan lembut Bje tegakkan di dalam puisinya yang ditulis di tanah rantau yang jauh: Columbia, “di sini aku ingin menemui yang lain. Hingga aku terantuk kelak, di tanah air . Menjadi burung dengan sayap -sayap ruang.” (halaman79).
***

*) Muafiqul Khalid MD, sebagai ketua riset The Center for Islamic Studies and Development Society (CISDeS) Yogyakarta dan aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY).

Leave a Reply

Bahasa »