CERITA-CERITA SILAT KHO PING HOO

Aprinus Salam *

Cerita silat itu salah satu genre sastra (prosa). Setiap genre sastra selalu ada pengikutnya/pembacanya. Dalam genre silat itu, masih terdapat sub-sub genre lagi. Ada cerita silat sub-genre roman, detektif, sejarah, dan sebagainya, dengan selingan humor, percintaan, seks, teknologi persenjataan dan silat itu sendiri, politik, filsafat, dan etika.

Kadar budaya cerita silat cukup kental, karena cerita silat selalu berbasis budaya lokal tempat cerita silat itu diceritakan.

Apalagi cerita silat, dunia kong ouw, selalu punya aturan sendiri. Dari cerita silat Kho Ping Hoo kita menjadi tahu bagaiama etik persilatan, pengobatan, dan etika, filsafat, dan budaya Cina. Hal etik tampaknya selaras dengan budaya di Indonesia. Hal filsafat dan budaya juga banyak kesamaan dengan masyarakat Indonesia yang dekat dengan hal-hal spritual, mitos-mitos, gabungan antara realisme dan magisme.

Cerita silat juga memberi pelajaran kepada kita tentang teknologi tradisional yang sangat eksak dalam pengobatan. Cerita silat Kho Ping Hoo itu lebih dekat dengan realisme magis seperti yang dikenal sekarang. Dalam arti, tidak justru tidak ada batas yang jelas mana yang magis mana yang realis.

Pada masanya, cerita silat Kho Ping Hoo sangat banyak pembacanya, bahkan sebagian mungkin fanatik. Semagat kekesatriaan, kejujuran, ketekunan, kesetiaan, kerja keras, berbakti pada orang tua, bangsa, dan negara, sangat didorong oleh cersil-cersil Kho Ping Hoo.

Dari setting waktu, dalam beberapa cersil tidak berkesesuaian. Misal dalam kisah Pendekar Pulau Es yang diperkirakan abad ke 16, masih ada tokoh dari abad ke-13. Dalam prosa fiksi, tidak ada masalah hal yang diceritakan itu sesuai dengan fakta-fakta atau tidak. Fiksi adalah dunia tersendiri, dunia alternatif, dunia apropriasi, dan sekaligus sebagai model atau tandingan terhadap kehidupan.

Fiksi itu, seperti iya seperti tidak. Hal yang penting dari fiksi adalah bagaimana fiksi memberi pengalaman yang bermakna dan inspiratif bagi kita untuk mengarungi kehidupan.

Serial Seruling Mas, dengan episode-episode dari Bu Kek Siansu, seri Pendekar Pulau Es, Kisah Pendekar Pulau Es, dan sebagainya (bisa dilihat di google), sangat memberi pelajaran kepada saya untuk dan terhadap hidup yang asketik.

Kho Ping Hoo selalu merasionalisasi kisahnya yang tidak hanya menyentuh pikiran, tetapi juga perasaan, sehingga banyak hal pelajaran etik dan filsafat saya pelajari dari cersilnya.

Dalam kadar realisme magis yang dibangunnya secara khas, tidak ada masalah nama yang fakta dan mana yang fiktif, mana realis dan mana yang magis. Berbagai dikotomi itu hidup dan lebur dalam kehidupan kita yang sesungguhnya.

Cerita fiksi bisa mengambil latar (dalam dimensi sosial, waktu, dan tempat), dari mana saja dan tempat apa saja. Pada masa Orde Baru memang ada semacam “tekanan” terhadap Tionghoa, atau ke-Cinaan.

Akan tetapi, justru cersil Kho Ping Hoo memiliki keleluasaan mengapresiasikan ke-Tionghoaan ke masyarakat Indonesia secara populer. Hal ini juga dikarenakan banyak cersil dianggap fiksi populer yang ringan, menghibur, dan sama sekali tidak berbahaya, terutama bagi Orde Baru.

Asumsi-asumsi yang kurang pas itu justru menempatkan cersil Kho Ping Hoo menjadi lebih strategis dalam konstelasi dan struktur prosa fiksi di Indonesia.

Kita akan mengalami masalah dalam menguji alur fiksi dan alur dalam fakta-fakta sejarah. Mungkin kajian itu penting jika data-datanya lengkap. Dari perbedaan tersebut baru kita ketahui, makna perbedaan alur antara fiksi dan fakta.

Yang perlu dipahami adalah alur itu strategi menulis. Rangkaian fakta sejarah berjalan dalam prosesnya sendiri. Alur fiksi juga dalam rangkaiannya sendiri.

Secara teknis, cersil Kho Ping Hoo sangat konvensional, walaupun ada permainan alur, tetai secara teknis bisa dipahami dan dikenali oleh pembaca awam sekalipun. Hal yang membuat cersilnya menjadi khas adalah ramuan percintaan, politik, ilmu kesehatan, filsafat, etika, di satu sisi, dan birahi, kelicikan, kemunafikan, nafsu kekuasaan, yang dilebur dalam praktik hidup sehari-hari yang seolah-olah kita juga mengalaminya.

Secara emosi, dalam kondisi itu seolah kita dipaksa memilih, mau menjalani hidup seperti pendekar yang satria atau ingin menjadi pecundang.

Dalam rentang waktu dan proses-proses sosial yang berjalan, akan muncul pengarang dan penulis-penulis baru. Setiap zaman, dalam semangat yang berbeda, akan menuntut genre kepenulisan fiksi tersendiri. Setiap masa memiliki rezim diskursif yang ikut mengondisikan bagaimana penulis-penulis muncul.

Cerita silat akan muncul dalam dimensi yang berbeda, terutama terdapat semangat dekonstruksi terhadap sejarah, dan sekaligus “mempermainkan” sejarah. Sejarah menjadi fiksi itu sendiri, dan fiksi menjadi sejarah itu sendiri.

9 Mei 2021 Yogyakarta

*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010).

Leave a Reply

Bahasa »