Jayati Seni ing Tlatah Jenggala

Ribut Wijoto
beritajatim.com, 9 April 2021

“Dalam prasasti Ngantang (tahun 1135), ada dituliskan istilah ‘Panjalu jayati’, artinya Panjalu (Kediri) menang. Istilah itu menjadi simbol kemenangan Panjalu atas Jenggala. Nah, kita usung momentum tersebut untuk spirit pemajuan seni di Sidoarjo”.

Kalimat beraroma seni dan sejarah itu dilontarkan oleh Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Sidoarjo. Yaitu, saya sendiri.

Ada banyak versi dari sejarah perseteruan antara Jenggala – Panjalu. Dua kerajaan hasil pembelahan Kerajaan Kahuripan yang dilakukan Raja Airlangga dan Mpu Sendok sebagai pelaksananya, konon dipisahkan oleh Sungai Berantas. Dua kerajaan bersaudara, bersaing, berseteru, dan perang.

Pada prasasti Turun Hyang II (tahun 1044) dijelaskan raja pertama Jenggala adalah Mapanji Garasakan alias Sri Maharaja Mapanji Garasakan. Dalam prasasti itu diterangkan bahwa Mapanji Garasakan menetapkan desa Turun Turun Hyang sebagai sima swantantra atau perdikan karena membantu Jenggala melawan Panjalu. Lalu di prasasti Malenga (tahun 1052), anugerah yang sama diberikan Mapanji Garasakan kepada desa Malenga. Sebab desa Malenga membantu Jenggala mengalahkan Raja Tanjung, seorang raja yang menjadi bawahan Panjalu.

Raja Jenggala selanjutnya Alanjung Ahyes alias Sri Maharaja Mapanji Alanjung Ahyes. Pada prasasti Banjaran (tahun 1052) dijelaskan, Alanjung Ahyes berhasil memukul musuh berkat bantuan pemuka desa Banjaran.

Raja berikutnya Samarotsaha alias Sri Maharaja Rake Halu Pu Juru Sri Samarotsaha. Keberadaan Raja Samarotsaha tertulis di prasasti Sumengka (tahun 1059) tentang penetapan desa Sumengka sebagai sima swatantra.

Setelah raja-raja itu, Panjalu menang dan Jenggala kalah. Panjalu jayati. Kita tidak tahu bagaimana proses kemenangan itu terjadi. Yang kita tahu, saat ini, sulit ditemukan jejak-jejak peninggalan dari Kerajaan Jenggala.

Termasuk di Sidoarjo, wilayah yang konon menjadi pusat kota Jenggala. Ada yang bilang, perang zaman itu, pihak yang menang akan menghapuskan pihak yang kalah. Seperti sopir pribadi yang membersihkan bercak-bercak di kaca mobil milik juragannya.

Selain perkara keluarga, sebuah versi lain menyebutkan, sengketa Jenggala – Panjalu adalah urusan kesejahteraan. Jenggala lebih makmur dibanding Panjalu. Sebab Jenggala memiliki sumber perekonomian berupa pelabuhan Porong. Kemakmuran Jenggala membuat Panjalu ingin merebut pelabuhan Porong. Panjalu jayati. Akhirnya Panjalu menang.

Kemenangan yang (mungkin karena bermula dari perseteruan sesama saudara) terus berputar-putar di kepala para petinggi kerajaan dan masyarakat. Ia menjelma kenangan indah, mimpi, ataupun trauma. Selanjutnya lahirlah kisah-kisah Panji. Kisah petualangan melodrama sekaligus patriotik antara Raden Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji beserta tokoh-tokoh lain yang karakteristik.

Kita melihat sesuatu yang unik dari perseteruan Jenggala – Panjalu. Sebuah perseteruan yang lantas melahirkan karya seni (kisah-kisah Panji). Jayati Seni ing Tlatah Jenggala. Maka, kali ini, momentum histori tersebut kemudian digenggam kembali untuk spirit pemajuan seni di Sidoarjo.

Komite Sastra dan Komite Seni Tradisi Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda) mengundang tokoh-tokoh sastra Jawa dan seni tradisi untuk mengekspresikan citra estetiknya. Citra estetik yang di dalamnya terkandung pemikiran dan pandangan atas dunia. Juga wujud keintiman transendensi, hubungan manusia dengan penciptanya.

Kita undang Suharmono Kasiyun. Tokoh yang sudah dua kali meraih Penghargaan Rancage ini bakal membacakan gurit alias puisi berbahasa Jawa. Kita undang pula Widodo Basuki untuk membaca gurit. Dia tokoh yang senantiasa mengembangkan tradisi sastra Jawa, termasuk melalui majalah Jaya Baya. Lalu Leres Budi Santoso bakal membaca cerkak, cerita cekak. Lalu dua anak muda yang dikomandani oleh Joko Susilo, yaitu Eko Pristianto dan Muhammad Sigit Herdianto.

Dari barisan seni tradisi, kita undang Faruq Abdillah. Seorang pambiwara yang bakal menyajikan adat tradisi kemanten. Puguh Widodo yang bakal melantunkan tembang macapat. Teman-teman di Cemandi Art Sedati yang bakal membawakan gending. Juga Ki Anthony Setiawan dengan lakon wayang Dewa Ruci.

Di Sidoarjo, sastra Jawa dan seni tradisi diminati oleh segala usia. Maka, acara ini bakal dibuka dan ditutup oleh sajian karawitan dari para pelajar SMPN 1 Porong. Mereka sekaligus mengiringi tembang Marikangen dari Regita, finalis The Voice Kids Indonesia asal Sidoarjo.

Acara bakal dipandu oleh Robert Bayoned. Tokoh muda yang gondrong, energik, dan mbeling. Dia saat ini sedang getol mendirikan Ludruk Baladda di Sidoarjo. Upaya dia untuk mengulang suksesnya mendirikan Ludruk Luntas di Surabaya.

Jayati Seni ing Tlatah Jenggala. Kita berharap momentum tidak hanya berhenti pada acara bertitel ‘Pertunjukan Sastra Jawa vs Seni Tradisi’ di Dekesda Art Center, Jl Erlangga No 67 Sidoarjo, Minggu (11 April 2021), pukul 14.00 – 16.00 WIB. Pemajuan seni adalah sesuatu yang hidup. Terus bergerak dari hari ke hari. Entah sampai kapan dan entah sampai di mana.
***


*) Ribut Wijoto, lahir di Tulungagung, 23 Maret 1974. Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda), anggota Teater Gapus, Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP), Bengkel Muda Surabaya (BMS), wartawan media online beritajatim.com, dan penjual buku bekas. Pernah mengeditori buku puisi ‘Ayang-Ayang’ (Gapus Press, 2003), ‘Ijinkan Aku Mencintaimu’ (Gapus Press, 2006), ‘Menguak Tanah Kering’ (Kumpulan puisi bersama Teater Gapus, 2001), ‘Permohonan Hijau, Antologi Penyair Jawa Timur’ (Festival Seni Surabaya, 2003), ‘Rumah Pasir’ (Festival Seni Surabaya, 2008), buku puisi ‘Pertemuan Penyair Jawa Timur’ (Disbudpar Jatim, 2009), ‘Wong Kampung’ (Festival Seni Surabaya, 2010), ‘Tenung Tujulayar’ (Gerilya Sastra, DK Jatim, 2014), mengeditori belasan buku puisi yang diterbitkan ‘Halte Sastra’ (DKS, 2009-2015), mengeditori buku puisi ‘Majelis Sastra Urban’ (DKS, 2018-2020), ‘Dan Di Genggaman Ini, Mengalir Sihir’ (BMS, 2019), ‘Di Tepi Jalan Pantura’ (Forum Sastra Maritim, 2020), dan beberapa buku puisi lain.

Leave a Reply

Bahasa »