MALAM 29 RAMADAN DI NDALEM KIAI SUTARA

Taufiq Wr. Hidayat *

Sahdan padan suatu malam, Nazaruddin Hoja mencari sebiji jarum di bawah lampu di halaman rumahnya. Padahal jarum yang dicarinya tersebut terjatuh di dalam kamar.

“Kenapa Anda mencari jarum di bawah lampu?” tanya seseorang.

“Karena di kamar saya gelap!” jawab Nazaruddin Hoja mantab.

“Ia benar karena mencari benda kecil di bawah lampu yang terang. Sebab benda kecil tak dapat ditemukan di tempat gelap. Tetapi dia keliru, karena benda kecil yang dicarinya tersebut tidak terjatuh di bawah lampu. Ia benar sekaligus keliru. Apa ada tindakan yang benar sekaligus tidak keliru atau yang mutlak benar? Mustahil! Karena inilah dunia. Segalanya kembali pada niat baik. Lalu niat baik itu buat siapa? Orang benar makan daging sapi untuk mengasupkan nutrisi ke dalam tubuhnya. Tapi keliru, lantaran telah membunuh sapi untuk dimakan dagingnya,” ujar Kiai Sutara. “Apakah Lebaran itu benar hari kebahagiaan dan kemenangan?” lanjut beliau.

“Ampun, Kiai. Agama telah menegaskan setegas-tegasnya, bahwa Lebaran adalah hari kemenangan dan kebahagiaan,” jawab saya. Gugup. Dari tadi mendengarkan Kiai Sutara bercerita, saya tak berhasil menangkap maksud ceritanya dengan tepat.

“Goblok! Benar, menang dan bahagia bagi orang yang mujur hidupnya. Tidak bagi mereka yang dilemahkan yang kuat, yang tidak mujur, yang terlantar di antara persoalan dasar hidup yang nyaris tak pernah selesai.” Kiai Sutara mengepulkan asap rokoknya. Ruang tamunya yang kecil dan sederhana dipenuhi asap. Beliau melanjutkan.

“Lalu apakah agama itu penting?”

“Ampun, Kiai. Tentu agama penting, Kiai.”

“Santri goblok! Dengkul! Ingat! Dalam kelelahan dan kesempitan sosial, agama hanya bunyi bising di telinga, hanya berupa nasehat dan ceramah-ceramah.”

“Ampun, Kiai. Saya benar-benar tidak mengerti perihal yang Kiai jelaskan. Apa kaitannya agama dan penderitaan manusia?”

“Goblok lagi. Lempar asbak tahu rasa! Kenapa kamu gak mengerti, dan kenapa kamu tak menemukan keterkaitan yang mendalam antara agama dan penderitaan manusia, karena kamu goblok gak selesai-selesai. Goblok kok dipelihara? Hahaha!” Kiai Sutara tertawa. Asap rokok terus melayang harum dan indah dari bibirnya. Kopi pahitnya yang kental. Songkoknya yang lapuk. Sorot matanya tajam. Rambutnya yang memutih tampak begitu indah. Keriput pada dahi dan pipinya, menandakan ketekunan hidupnya yang menggetarkan hati.

“Walaupun sebagian umat beragama menderita, tapi bukankah Tuhan maha kaya, Kiai? Mohon penjelasan, Kiai.”

“Tuhan maha kaya. Tapi kenapa kamu melarat! Hahaha..”

Kiai Sutara tertawa terpingkal-pingkal. Badannya tergoncang-goncang lezat. Dan setelah meneguk kopi pahitnya yang kental, lalu menghisap rokoknya dengan mantab, beliau melanjutkan dawuhnya. Sebagai santri, saya hanya bisa mendengar dan menundukkan kepala, bersikap takzim sedalam-dalamnya.

“Buktikan bahwa Tuhan itu maha kaya dengan dirimu. Kamu bilang Tuhan maha kaya, tapi kenapa tetanggamu melarat?!”

Kiai Sutara merubah posisi duduknya. Batuk-batuk sejenak. Lalu beliau melanjutkan.

“Dengar, santri dengkul! Bagi Kanjeng Rasul, yang penting adalah manusia. Bukan agama. Perlawanan beliau pada kaum bakhil Mekkah bukan perkara agama, melainkan perkara penindasan, perbudakan, dan kesewenang-wenangan kekuasaan. Sedang agama—apa pun agama itu, menjadi mulia lantaran sang pemeluk agama bersangkutan melaksanakan peran atau menunaikan tanggungjawab kemanusiaan bagi sesama sebagaimana ajaran suci agama yang diyakininya. Tanpa begitu, agama hanyalah dusta. “Tahukah kamu siapa pendusta agama?” tanya Kanjeng Rasul. Beliau menegaskan, pertanyaan itu adalah wahyu (QS. al-Ma’un). Pertanyaannya bukan berbunyi “agama siapa yang dusta?”. Melainkan “siapa yang telah mendustakan agamanya?”. Pelaku agamalah yang berdusta, bukan agamanya.”

Dengan mantab Kiai Sutara menghisap rokoknya, kemudian menghempaskan asap rokoknya yang nikmat itu ke udara.

“Wich inspires greater good, the singer or the song?” tanya seorang bandit pada sang pemuka agama yang saleh dalam film “The Singer Not The Song” garapan Roy Ward Baker pada tahun 1961. Film ini diangkat dari novel karya Audrey Erskine Lindop, terbit tahun 1953. Ia mempertanyakan, apa yang sesungguhnya penting, penyanyi atau nyanyiannya? Agama atau pelaku agama? Gitar atau sang gitaris? Gitar yang bagus dan termahal di dunia, suaranya yang bening hanya akan merusak telinga jika dimainkan oleh mereka yang ngawur atau tidak tahu-menahu gitar. Kebenaran iman sebagai pengalaman batin seseorang, hanya dapat ditetapkan dan dipegang teguh bukan karena pesan-pesan keimanan atau pesan-pesan agama belaka. Melainkan karena dibuktikan dengan perilaku luhur sang pembawa pesan atau sang pemeluk keimanan tersebut. “The singer or the song?” Penyanyi atau nyanyiannyakah yang penting dalam kenyataan? Dengan kata lain, “sang penganut agama atau agamanya?” Jawab!”

“Penganutnya, Kiai,” jawab saya tegas.

“Bagus! Agama hanya nada-nada dalam rangkaian teks, angka, dan tanda sebagai pesan-pesan suci. Tapi yang terpenting bagaimana pesan-pesan suci itu dapat menjelma perilaku pemeluknya sebagai irama yang menggerakkan keluhuran kemanusiaannya. Bohong kalau kamu ngaku beragama, tapi kamu jahat dan bakhil. Dalam kenyataan sejarah, yang terpenting adalah “the singer” (sang penyanyi). Bukan “the song” (sebuah nyanyian). Bukan agama yang penting, tapi perilaku luhur pemeluknya. Yang dalam Islam disebut “akhlaq al-karimah” (keluhuran kemanusiaan) atau kebaktian seseorang pada nilai-nilai kemanusiaan (taqwa).”

Diam sejenak. Suara tembakau yang dihisap Kiai Sutara terdengar pelan dan lezat.

“Kalau kamu berpandangan pada “the song” belaka, kamu akan terseret pada pertentangan-pertentangan percuma dan sia-sia. Orang bertanya “apa lagu yang kamu sukai?”. Dengan hanya mementingkan agama dalam kehidupan yang beraneka ragam warna ini, orang terjebak pada benturan tak penting dan melelahkan perihal “agama apa yang kamu anut” beserta segala aturannya. Maka yang penting di sini adalah perilaku luhur orang yang memeluk agama. Agama menjadi penting hanya bagi pemeluknya sebagai nilai kesucian dan pengalaman batin yang sangat pribadi. Dan setelah itu, yang dituntut oleh sejarah, oleh kenyataan kehidupan, ialah karya-bakti sang pemeluk agama. Bukan agamanya.”

“Baik, Kiai.”

“Dengarlah, santri! Lebaran hanya nyanyian. Namun yang penting adalah bagaimana kamu menyanyikannya. Menyanyikannya dengan keluhuran, yakni kebaikan kemanusiaan yang tulus, sehingga membebaskan derita dan kepedihan. Menyucikan jiwa yang menghamba, dengan pengampunan (atau saling memaafkan). Bukan merasa suci. Tapi yang menyucikan segala nilai dalam diri sebagai manusia, mengampuni, mengulurkan tangan, bukti fitrahmu sebagai manusia. Bersyukurlah yang dapat membebaskan, sebab hanya jiwa yang bebaslah yang dapat membebaskan. Walau kamu kaya, tapi mental atau jiwamu miskin, kamu tak akan sampai pada ketulusan dalam berbagi, dan tak menemukan kelezatan batin dari kekayaanmu.”

“Yang terpenting dalam berlebaran adalah pribadi yang kembali pada ketulusan, yang menyadari dari mana ia berasal, yang tak melupakan jasa orang lain, dan bukan pribadi yang tidak tahu bagaimana berterima kasih sehingga tak pernah bisa bersyukur, mengukur segala-galanya dengan materi, jiwa rapuh dan terpenjara sehingga kegemarannya hanya ngundat-ngundat atau mengungkit-ngungkit segala kebaikan yang pernah diperbuatnya. Lebaran adalah jiwa dan perilaku yang bertakbir (luhur), perilaku yang bertahmid (terpuji), perilaku yang bertasbih (membersihkan). Tapi yang meneguhi kebenaran, kesabaran, dan yang mencintai keadilan.”

Saya hanya terdiam. Dan Kiai Sutara pun terdiam. Saya lihat beliau sudah tertidur di kursi dengan mudahnya. Sejenak kemudian terdengar suara dengkurnya yang damai dan tenteram.

Sobo, 2021

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »