: Yang “Mencari Rumah Nenek Moyang di Tiongkok” Itu Berusia 89 Tahun dan Bugar
Imelda Bachtiar *
Kompas, 15/03/2016
Bila ada yang berpendapat profesi menulis, meneliti dan menelusuri sejarah itu kurang berkilau dan susah ditekuni mengingat imbalannya tipis, mereka patutnya malu pada Myra Sidharta.
Hampir 50 tahun ia menekuni dunia menulis dan meneliti, khususnya tentang kebudayaan Tionghoa totok dan peranakan Tionghoa di Indonesia. Minggu ini, tepat 89 tahun usianya, dan ia tak pernah bosan merekam fenomena hidup di sekitarnya melalui tulisan.
Jejak menulisnya sangat panjang. Salah satunya buku yang rilis tahun lalu, tepat di usianya yang ke-88, Seribu Senyum dan Setetes Air Mata (Penerbit Buku Kompas, 2015), bertutur bagaimana setianya Myra menulis dalam rekam kumpulan tulisan selama 28 tahun (1983-2011).
Minggu ini, gerbang usia 89 tahun dijelangnya, usia akhir di kelompok octogenerian. Tak terlihat semangat dan kegembiraan meluntur dari raut wajah perempuan yang akrab dipanggil “Moy” ini. Myra merasa justru lebih bebas mengerjakan banyak hal pada usianya yang sekarang.
Bangun pagi, ia mencek emailnya, lalu bersiap untuk menulis. Lalu menjelang siang mulai berangkat bersama Toni, supir yang setia menemaninya ke mana pun. Kadang ke sebuah rapat, atau sekadar ke supermarket membeli kebutuhan mingguan.
Semua dilakukannya seorang diri, karena ada alat bantu berjalan tongkat beroda yang sangat disukainya. Sampai banyak orang di supermarket menanyakannya, tetapi Myra seringkali dengan ramah balik bertanya, “Memang tidak boleh ya saya berjalan sendirian?”
“Sekarang mata saya kurang kuat untuk mengetik lama di komputer. Mata harus istirahat dan empat jam sekali ditetesi obat. Juga punggung sering terasa lebih sakit bila duduk lama,” kata Myra sambil menyantap hidangan siangnya, dua sendok nasi merah dan lauk serba kukus, ditutup dengan pepaya iris.
Tetapi halangan fisik itu bukan berarti ia tak lagi berniat menulis buku. “Saya sedang mempersiapkan buku, mungkin baru selesai tahun depan. Ini tentang 12 orang Tionghoa-Indonesia dan berbagai perannya. Baru delapan. Pelan-pelan saya kumpulkan materinya setiap saya berjalan-jalan ke daerah,” kata Myra dengan mata berbinar.
Hakka dan Pulau Belitung
Myra yang bernama lahir Ew Yong Tjhoen Moy ini lahir di Tanjung Pandan, Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, 6 Maret 1927. Myra menyebut dirinya adalah seorang “Tionghoa Totok”, bukan peranakan, karena kakek dan ayahnya berasal dari Meixian, lokasi di sebelah utara Provinsi Guangzhou, Tiongkok.
Daerah yang indah alamnya ini, terkenal sebagai tempat asal orang-orang Tiongkok yang paling terpelajar dan mencintai kebudayaan.
Kakek Myra, seperti yang ditulisnya dalam “Mencari Rumah Nenek Moyang di Tiongkok” yang terbit pertama kali di Intisari tahun 1983, pergi meninggalkan Meixian pertama kali tahun 1872. Orang Hakka di Meixian merantau menuju Laut Selatan (Nanyang) dan kebanyakan membawa istri serta anak-anak, secara berkelompok tinggal menetap di tambang-tambang timah di Pulau Belitung. Di sanalah Myra dilahirkan tahun 1927.
Walaupun telah merantau, menurut Myra, orang-orang Hakka terbiasa mempertahankan adat budaya juga bahasanya. Itulah sebabnya kebanyakan mereka menyebut diri: totok, bukan peranakan.
“Jadi, Gubernur Ahok, pasti masih mempertahankan adat Hakka-nya,” kata Myra.
Meneliti, Menulis, Bertualang
Siang itu, ditemui di rumahnya yang asri di bilangan Bintaro Sektor 9, Myra bercerita soal minat menulis dan meneliti literatur selama ini, yang dia sering sebut sebagai petualangan. Menulis pertama kali dengan dasar dari literatur ilmiah, adalah saat kuliah psikologi di Rijks Universiteit, Leiden, Belanda, tahun 1950-an.
Itulah yang membuat Myra terbiasa menulis dengan rujukan, khas seorang akademisi. Ketika lulus tahun 1958, menyandang status psikolog lulusan Belanda, ia menjadi yang pertama sehingga akhirnya ikut merintis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
“Cuma waktu itu lulusan Belanda kurang dihargai dibandingkan lulusan Amerika,” katanya tertawa.
Tak lama mengajar di Fakultas Psikologi UI, ia lalu menekuni Sinologi dan mengajar di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Cina Universitas Indonesia. Mengajar di Sastra dan Bahasa Cina sampai tahun 2000-an.
Bertualang adalah bagian penting dari proses menulisnya. Itu tak pernah membuat ia lelah. Tampak di rautnya, petualangan menjadi kegemaran utama. Bahkan ia masih bercerita kegiatannya seminggu lalu bermobil ke Pekalongan, berlibur bersama keluarga asisten setianya, sambil juga mencari jejak apa saja yang bisa dijadikan tulisan.
Kali ini, ia beroleh pengalaman menginap di sebuah hotel baru di pusat kota batik itu yang harganya bersahabat dan makanan layanan kamarnya memuaskan.
“Asyik rasanya menemukan sesuatu yang baru dari tempat yang tak terduga. Materi tulisan misalnya dari majalah tua atau bahkan cuma satu lokasi petunjuk dari seorang teman di Belanda,” kata istri mendiang ahli saraf terkenal Indonesia, Prof. Dr. Priguna Sidharta, ibu tiga anak: Sylvia, Juliana dan Amir Sidharta, serta nenek lima anak orang cucu ini.
Uniknya, ia justru sering menghasilkan karya karena berhasil “melarikan diri” tepat pada hari ulang tahunnya. “… Maksud saya, selama lebih duapuluh tahun terakhir ini saya ‘menghilang’ pada setiap hari ulang tahun saya. Saya pergi ke tempat-tempat dimana saya dapat menelusuri para pengarang kesastraan Melayu Tionghoa”.
Begitulah yang dikatakan Myra Sidharta dalam kata pengantar buku karyanya Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman, Biografi Delapan Penulis Peranakan (KPG, 2004). Tak sia-sia selama itu tak pernah merayakan ulangtahun, karena selalu berkelana mencari jejak-jejak keturunan para pengarang Kesastraan Melayu Tionghoa. Myra memperoleh banyak sumber sahih tentang tokoh yang ditulisnya langsung dari tangan pertama.
Kadang juga penelusuran sejarah lebih karena ketertarikan pribadi. Seperti ketika Myra menelusuri kehidupan masa kecil penulis cerita fiksi silat terkenal Indonesia, Asmaraman S. Kho Ping Ho (1926-1994) di Sragen, Jawa Tengah.
Karya Kho Ping Ho yang digilai anak muda 1990-an sampai kini antara lain serial Bukek Siansu. Kisah hidup Asmaraman, menjadi satu dari delapan kisah pengarang dalam buku Dari Penjaja Tekstil.
Saat ini pun ia sedang tergabung dalam tim peneliti Universiti Malaya meneliti tentang orang-orang Hakka di Asia, termasuk Indonesia. Nantinya, ia akan sering bolak-balik ke Malaysia untuk keperluan penelitian itu. Tentu saja, ia peneliti tertua dalam kelompok itu.
Berbagi Bersama Orang Muda
18 Februari 2016, Diskusi Komunitas Penulis Penerbit Buku Kompas. Komunitas yang beranggotakan 86 penulis yang mayoritas seusia anak, bahkan cucu Myra. Tema diskusi, “Sumbangan Peranakan Tionghoa untuk Indonesia dalam Seni-Budaya dan Kemiliteran”, membuat Myra Sidharta tepat menjadi salah satu pembicaranya.
Surat elektroniknya dua minggu sebelum diskusi berlangsung, berisi jenaka, “Apa yang ingin kalian anak muda ketahui dari seorang nenek tua, gigi tinggal dua?”
Seperti mendongeng, Myra menggunakan keistimewaan seorang Tionghoa totok tiga zaman, yang sekaligus peneliti Tionghoa-Indonesia. Ia bertutur tentang pengalaman masa kecilnya di pulau timah, Belitung, mempertahankan bahasa dan adat, tradisi perkawinan, sampai ke kulinernya.
Khusus tentang tradisi kuliner Tionghoa, ia bahkan pernah menelusuri asal-usul Tahu Pong Semarang yang terkenal itu.
Bagaimana ia berjodoh dengan suaminya, ia berujar, “Orang-orang Hakka di pulau kelahiran saya, Pulau Belitung, karena totok, biasanya berjodoh dengan peranakan Tionghoa”. Itu karena upaya orang peranakan Tionghoa mempertahankan kembali keasliannya.
Penyuka buah kolang-kaling ini juga tekun meneliti peran dan keterlibatan perempuan Indonesia keturunan Tionghoa sejak zaman penjajahan Belanda. Ini salah satu penelitian yang dirampungkannya cukup lama di Belanda. Hasilnya ditulis dalam esai, “The Making of the Indonesian Chinese Woman”, yang dapat dibaca utuh dalam buku yang disunting Elsbeth Locher Scholten dan Anke Niehof, Indonesian Women in Focus, Past and Present Notions (Leiden KITLV Press, 1992).
Untuk penelitiannya yang tekun selama 30 tahun terakhir tentang kebudayaan peranakan Tionghoa di Indonesia, sudah sangat banyak buku yang dihasilkannya, juga penghargaan yang diberikan.
Salah satunya, Nabil Award 2009 yang dianugerahkan karena Myra Sidharta dinilai sangat besar peranannya dalam historiografi sejarah peranakan Tionghoa di Indonesia. Bahkan ia melakukannya sejak pemerintahan Orde Baru, masa yang menabukan hal-hal yang berbau Tionghoa dalam penulisan sejarah.
Demikian kisah psikolog yang alih profesi menjadi sinolog ini. Sinologi adalah ilmu pengetahuan tentang bahasa dan kebudayaan Cina. “Kalau saya masih psikolog, mungkin saya sudah kalah ilmu, dilibas oleh para psikolog muda. Karena saya sinolog, maka saya masih dipakai sampai kini,” kata penggemar batik ini sambil tersenyum.
Lalu, apa tipsnya untuk selalu bersemangat menulis bahkan sampai usia sangat senja ini? “Kumpulkan saja semua materi, jangan berharap yang besar, misalnya pasti menjadi buku. Sebetulnya, yang menyenangkan dan nikmat adalah prosesnya,” kata Myra yang sore itu ingin segera menuju supermarket, membeli buah atap kesukaannya.
Depok, 6 Maret 2016.
*) Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).