Naskah Panjang yang Tiba-tiba Jatuh ke Pangkuan

Martin Aleida *

“Kalau (dia) masih hidup, saya ingin tahu di mana makamnya. Kalau dia disiksa dulu sebelum meninggal, saya ingin supaya punya kesempatan membasuh lukanya. Kalau yang tersisa darinya tinggal tulang, saya ingin punya kesempatan menyusun tulang-tulang itu di peti mati anak saya, lalu menguburkannya dengan penuh cinta. Kesempatan itu telah direnggut dari saya.”

“Ada banyak orangtua yang anaknya tewas hari itu. Sungguh pilu memikirkan bahwa mereka sesungguhnya “beruntung” karena setidaknya tidak perlu menunggu bertahun-tahun, tidak perlu menantikan janji-janji palsu presiden, tidak perlu luka batin karena anak mereka tidak pernah ditemukan. Meski tidak adil membanding-bandingkan rasa sakit yang satu dengan yang lain. Duka karena penghilangan paksa orang yang kita cintai adalah duka beracun. Selama negara tidak meminta maaf dan tidak berbuat apa-apa, racun itu terus menyebar. Sejak hari (dia) hilang, saya bukan lagi perempuan yang sama. Jika tidak ada (gadis yang dia cintai), mungkin saya sudah memilih mati sejak lama.”

Itu kutipan dua alinea dari sebuah naskah panjang yang tiba-tiba jatuh ke pangkuan saya. Naskah yang terabaikan. Barangkali karena dianggap terlalu panjang, walau terlalu pendek untuk jeritan jiwa dari (kelihatannya) seorang Ibu untuk seseorang yang hilang: kekasih putra tunggalnya. Dari naskah itu terasa dada (Ibu) yang menumpahkan kata-kata itu rupanya sudah tak kuasa memilih mana yang wajib didahulukan, mana yang jadi penutup. Letupan ada di mana-mana.

Teknis penulisan boleh salah tapi debur jiwa akan satu kehilangan yang belum juga – dan mustahil – disembuhkan tak pernah cacat. Ada banyak saudara-saudara saya sebangsa yang harus menyembunyikan siksa hidup sebagaimana sang penulis, sampai ajal melerainya. Dan tinggal sebagai kehampaan yang memang dikehendaki mereka yang telah merebut pedang (pembunuh) dari tangan Tuhan yang mereka durhakai. Saya membayangkan sebuah museum di mana terkumpul ribuan tulisan, sebaik atau seacak apa pun, tanpa gangguan kecongkakan seseorang yang menamakan diri penyunting, yang membebani penulis untuk mempertanggung jawabkannya. Menyebutkannya sebagai karya kolektif? Akan terasa ada tukang catut di sana.

Saya bersalah telah mengutip dua alinea yang luar biasa itu. Karena hati dan tangan saya gatal, tak kuasa saya bendung untuk tidak memuliakannya. Bagaimanapun, ini sebuah kesalahan. Pilihan keliru yang mempertebal keyakinan saya, tentulah di luar sana tak terbilang betapa banyak ungkapan yang belum menemukan muaranya. Untuk itu, wahai (Ibu) sang penulis, terima kasih sebesar-besar terima kasih dan permohonan maaf sedalam-dalamnya untuk kelancangan hati dan tangan saya ini. Maafkan… Salam sehat, salam kepekaan. Maaf.

10 April 2021


*) Martin Aleida, sastarwan kelahiran Tanjung Balai, Sumatra Utara, 31 Desember 1943, dengan nama asli Nurlan. Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen dan novel. Pernah, sebagai wartawan di harian Zaman Baru, dan profesi inilah yang mengantarkannya ke penjara, ditangkap oleh Orde Baru sebab koran tersebut diterbitkan Lembaga Kesenian Rakyat, yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.

Leave a Reply

Bahasa »