Indrian Koto *
DIA mungkin tidak akan percaya pada kenyataan ini. Sebelumnya, dia seorang pemeluk agama yang jujur, meskipun tidak saleh. Dalam kepercayaannya, ia tak mendapati kenyataan semacam ini, orang yang sudah mati akan kembali lahir menjadi manusia baru. Reinkarnasi.
Dia kembali lahir setelah kematiannya yang menyakitkan itu. Kematian yang tak lepas dari gumaman orang-orang. Sebagaimana kematiannya, kelahirannya kini pun membuat orang-orang tak berhenti mencericaukannya. Dari satu mulut ke mulut yang lain, dari satu jenjang rumah ke teras yang lain, dari satu kompleks ke dusun yang lain, menyebar di sepanjang perkampungan, menguap bersama asap rokok dan pekat kopi, mengalir di sepanjang sungai, meluap ke perkampungan jauh, ke pintu-pintu asing. Orang-orang membicarakan kelahirannya dengan keriuhan burung-burung, dengan bahasa hujan. Ia yang telah mati telah lahir kembali. Mereka menyebutnya Orang Naik.
Konon, dari mulut ke mulut, di usianya yang sekarang, dia begitu fasih mengingat semua peristiwa yang terjadi padanya. Riwayat hidupnya, rumahnya di perkampungan paling hulu, cerita kematiannya, dan bagian yang paling mendebarkan, bagaimana dia bisa dilahirkan kembali sebagai manusia baru. Ini tidak gampang, mengingat ruh yang menjelma lalat, ulat atau binatang kecil lainnya ini harus bisa masuk ke mulut dan perut seorang perempuan. Jika tidak hati-hati tentu dia akan celaka dan tak akan pernah ada kesempatan lagi untuk menjadi manusia, sebab pada penjelmaan berikutnya dia akan berubah binatang yang lebih besar dan buas.
Sebagian orang percaya bahwa kematian yang belum sampai ajalnya –bagaimana bisa dimengerti istilah ini, kematian yang belum sampai ajalnya?– kelak dia akan kembali lahir sebagai orang baru di rahim perempuan yang lain. Kematian-kematian yang tidak dikehendaki tepatnya. Mereka yang mati tenggelam, kecelakaan, dibunuh, kemungkinannya besar untuk kembali lahir menjadi orang naik. Dan pada kelahirannya kelak, tak satu pun peristiwa akan luput dari ingatannya.
Tentu sebagaimana yang dialaminya. Dia sempat menjelma binatang-binatang kecil itu, jika tak ulat, tentu saja lalat. Setelah itu ia harus mencari perempuan yang baru saja hamil, untuk masuk ke rahimnya, sehingga janin kecil itu akan berisi rohnya sendiri. Pilihan semacam ini tentu amat sulit buatnya. Menentukan dan mencari perempuan yang baik, hidup sederhana dan berhati bersih, hamil muda pula. Setelah itu dia harus pintar-pintar masuk ke mulut calon ibunya itu. Dia –menurut cerita yang berhembus– menjelma lalat dan masuk ke dalam gelas kopi seorang ibu muda. Perempuan muda yang sedang hamil anak pertamanya. Ia tinggal hilir sungai, di muara sungai dekat pelabuhan, tempat kapal-kapal penangkap ikan berkumpul di hari terang.
Perempuan itu meneguk kopi dan dirinya di sebuah siang. Tentu ia langsung masuk ke perutnya. Bayangkan, roh yang masuk ketika calon ibunya sedang makan, tentu ia harus lebih hati-hati karena bisa saja ia tergigit dan mati sebelum sempat lahir kembali. Roh pertama yang mati akan menjelma binatang lain sampai enam kali, mungkin jadi kekupu, jadi monyet, kucing, anjing, sapi dan sebagainya. Kelahiran ketujuh yang akan menggenapi semua kelahiran itu. Tak sedikit tentu saja yang gagal dan harus menunggu waktu penjelmaan baru. Sebagian dari mereka mendapat berkah juga, kembali ke wujud manusia. Dari mereka konon perihal ini menyebar. Dari mulut ke mulut, tentu saja.
Dan dia termasuk dari sedikit makhluk yang beruntung itu.
***
AKU tak akan mengatakan rahasia ini pada siapa pun. Biarlah ia menjadi milikku, kelak akan menjadi rahasia kami juga. Setelah kematian itu, aku merasakan tubuhku menciut lebih kecil, lebih ringan dan bersayap. Aku menjelma seekor makhluk kecil yang bisa terbang. Langau hijau.
Tak bisa kupahami sepenuhnya ini semua. Dalam agama yang aku yakini akan ada dua malaikat yang akan bertanya perihal pahala dan dosa. Roqib dan Aqib. aku tak sekalipun bertemu mereka. Aku juga alpa beberapa detail peristiwa setelah kematian itu. Yang aku tahu, tubuhku menjadi ringan, melayang dan mengangkasa. Dan aku kehilangan ia.
Aku mengitari perkuburanku beberapa saat, meyakini kalau yang mati itu sungguh-sungguh diriku. Pandam perkuburan yang padat, tak ada nisan batu, kecuali sepasang tonggak kayu yang dibenamkan dengan tergesa-gesa, sebuah botol bir berisi air tergeletak di tengah gundukan tanah yang hitam. Tak ada kembang.
Tiba-tiba aku merasa tengah memiliki janji yang harus segera dipenuhi. Janji yang mana? Aku berusaha mengingat. Aku hinggap di pucuk daun beringin yang merunduk. Aku merasa tidak sedang sendirian di sini. Ada banyak lalat, kekupu, ulat bulu, kumbang dan lebah. Mereka, aku merasakan, bukan makhluk biasa. Barangkali makhluk sepertiku, tiba-tiba menyadari tubuhnya telah berubah sesuatu.
Aku ingat rumah. Aku ingat janji yang belum ditepati? Janji apa? Aku memutar pikiran. Kepalaku terlalu kecil untuk mencoba mengingat.
Dengannya, aku ingat, kami memiliki janji. Ya dengannya. Lintasan peristiwa berputar di kepalaku. Bis yang kami tumpangi berguling di Bukit Kerinci. Malam itu hujan, jalanan licin. Musim hujan, jalan yang rusak itu berubah kumpulan lumpur tanah liat. Kami berangkulan ketika bis antar kota itu mencericit. Sekejab semua gelap dan hitam. Beberapa saat bis berputar dan miring. Orang-orang berteriak nyaring. Aku juga.
“Kita akan menikah,” katanya di antara teriakanku. “Percayalah.”
Lalu dunia rasanya berputar. Ada gema takbir, zikir dan kebisuan yang panjang. Aku mendengar benturan keras sebelum semuanya menjadi gelap dan hitam. Selebihnya aku merasakan dunia berputar dengan keras, mendesing lebih halus. Segalanya berterbangan, karung-karung, tubuh, pecahan kaca, bangku-bangku, tas dan kardus juga tubuh kami. Aku tak bisa melihatnya. Yang aku ingat saat itu hanyalah, bahwa kami tak akan pernah sampai ke Sungai Penuh, mengurus pernikahan kami.
Bagaimana nasibnya aku tak lagi tahu. Begitu saja, ketika aku membuka mata tubuhku terasa ringan dan sayap mungil telah tumbuh di sekujur tubuhku yang menciut ini. Rasanya baru saja terjadi. Tapi gundukan tanah makamku menunjukan peristiwa itu terjadi beberapa waktu sebelumnya.
Aku ingin menemuinya. Kami telah berjanji akan menikah. Keinginan itu terasa kuat dan harus segera dilaksanakan. Kami akan menikah meskipun tanpa restu siapa pun.
“Pergilah,” aku merasakan sebuah suara menggema entah dari mana. Begitu dekat dan sangat akrab. “Masuklah ke tubuh seseorang agar kau bisa lahir kembali.”
Kali pertama aku merasa ini bukan mimpi. Aku merasa aku benar-benar telah mati.
Lalu segalanya begitu terang. Aku akan lahir menjadi orang baru. Aku bisa membaca seluru peristiwa ke depan dalam sekejab. Aku akan menjadi orang naik. Reinkarnasi. Manusia baru yang membawa ingatan masa lalu. Kubayangkan diriku akan benar-benar menjadi anak daro yang memakai suntiang dan selayar. Bersanding dengannya di pelaminan. Dan kini, nyaris tujuh tahun peristiwa itu dan aku akan membiarkan menjadi rahasiaku sendiri.
***
SEPASANG calon mempelai yang malang, begitulah gumam orang-orang. Tubuh mereka remuk di jurang dalam. Bis antar kota Batangkapas-Sungai Penuh ditemukan hancur tanpa bentuk. Tak ada pohonan yang menahan luncuran bis menuju jurang, karena sepanjang jalan hanya bersisa tunggul-tunggul mati dan batu-batu runcing akibat longsoran bukit-bukit batu.
Mereka tak pernah sampai ke Sungai Penuh. Mereka dan seluruh penumpang, kecuali sopir meninggal di tempat. Tubuh mereka ditemukan bertindihan di antara potongan kaca dan bangku-bangku patah. Sepasang kaki si perempuan nyaris putus terjepit pintu, mata si lelaki hancur total, sebelah matanya nyaris melompat keluar, sebelahnya lagi, seiris kaca tertempel di sana. Pagi itu juga mereka dibawa ke Surantih, ke rumah masing-masing. Yang lelaki dikuburkan di tanah keluarga di lereng Bukit Sianok, di bawahnya menghampar sawah luas. Yang perempuan dikuburkan sorenya di pandam kaum Kampung Lansano dalam gerimis hujan panas. Hujan panas, hujan yang turun di saat yang sama matahari tetap bersinar, dipercaya semacam dukacita langit atas manusia yang mati muda. Mati berdarah.
Tak ada yang mengetahui kisah malang ini. Sepasang muda-mudi yang dimabuk cinta dan tak direstui keluarga, merencanakan kawin lari. Sungai Penuh dikenal sebagai tempat yang paling mudah untuk melaksanakan pernikahan tanpa wali. Satu dua orang kampung atau kenalan cukuplah untuk melangsungkan pernikahan itu. Tapi tentu dengan bayaran yang tinggi dan tanpa surat resmi. Biasanya mereka akan menetap beberapa waktu di sana sebelum kembali pulang. Biasanya keluarga di kampung, setelah mendengar kabar pernikahan anak-anaknya, akan menyuruh mereka kembali ke rumah dan menikahkan mereka kembali, karena dianggap pernikahan mereka sebelumnya belum sah. Tapi tidak semua merasakan hal yang sama. Kadang sebagian mereka hanya direstui satu keluarga saja atau sama sekali tidak diperkenankan pulang ke rumah dan kampungnya.
Dan kematian mereka menyadarkan orang akan banyak petuah. Anak muda akan berpikir ulang rencana kawin lari mereka. Sebab tanpa restu orang tua hanya akan mendapat murkah. Bagi mereka yang memiliki anak dara dan bujang harus lebih terbuka dan siap menerima calon pasangan anak-anaknya agar peristiwa buruk semacam itu tak sampai terjadi. Orang-orang sudah menduga bahwa mereka, sepasang pengantin yang malang itu, kelak akan lahir kembali, entah di rahim siapa nantinya. Entah di kampung mana pula.
Sampai kemudian kabar itu tersiar. Ia telah menjadi orang naik di Langgai, perkampungan di hulu sungai. Dari cerita orang-orang dia tak pernah betah di rumah barunya, setiap waktu ia selalu minta di antar ke Lansano, ke rumah calon istrinya. Sebab keluarga itulah yang mau menerima mereka dari dulu. Sementara ke rumahnya sendiri di Sianok, ia tak pernah punya niat. Berkali pula katanya, orang tuanya datang menjenguk dan meminta maaf kepada anak kecil itu dan selalu tak pernah dihiraukannya pula.
“Aku hanya ingin bertemu calon istriku, dulu. Aku percaya dia juga akan lahir ke dunia,” kira-kira begitulah ia berkata pada orang tuanya. Dan mereka, keluarga lamanya selalu datang berkunjung dan membawakan oleh-oleh untuknya, bercerita soal ladang dan sapinya. Mereka juga siap memberikan apa pun yang ia miliki dulu ketika ia masih seorang pemuda, bukan bocah seperti sekarang, sebagai bentuk permohonan maaf ayah-ibunya.
Tetapi keluarga barunya tentu tak serta merta mau diganggu, selalu. Diam-diam mereka melimaukan, memandikannya dengan kembang lewat semacam upacara kecil, penuh doa dan sesaji agar si bocah kehilanganan masalalunya. Semacam pemutusan hubungan dengan peristiwa sebelumnya. Setelah itu ia tak lagi mengingat apa pun lagi.
Aku orang yang pertama menangisi kemalangan ini.
***
SEDARI awal aku tak ingin menceritakan perihal ini pada siapa pun. Aku tak ingin mereka tahu bahwa aku orang naik. Aku tak ingin dilimaukan, aku tak ingin diputus dengan masalalu. Aku tahu, kami akan sama-sama lahir kembali sebagai manusia. Dan kelahiran kedua ini hanyalah penyempurna kelahiran sebelumnya.
Keluarga baruku tak pernah tahu bahwa aku adalah perempuan malang itu, perempuan yang selalu dicari-cari bocah laki-laki jelmaan lelakiku dulu. Keluarga baruku, suami istri yang setengah baya, yang sudah lama menginginkan anak, tentu tak akan begitu saja berbagi kasih dengan keluargaku yang lalu. Sebagaimana di sini, di keluarga yang lalu pun aku satu-satunya anak perempuan mereka, bungsu dari delapan saudara. Tentu dengan segala upaya mereka akan mendapatkan aku kembali.
Lelaki selalu terburu-buru dan kurang hati-hati. Rahasia itu telah menyebar ke penjuru kampung. Aku tak pernah bisa menemuinya, meski kerinduanku meledak selama tujuh tahun usia kami ini.
Tetapi kini apa yang bisa dilakukan perempuan lumpuh macam aku di hadapan laki-laki kecil yang buta kedua matanya dan kehilangan seluruh masalalunya? Bagaimana aku meyakinkan dia bahwa akulah perempuannya dulu. Bagaimana aku mengatakan padanya bahwa kami adalah sepasang kekasih yang dilahirkan kembali untuk memenuhi janji, sementara dia tak lagi mengingat masalalunya.
Aku membayangkannya dengan pedih.
***
Desember 2007
langau, lalat
anak daro; mempelai perempuan.
__________
*) Indrian Koto lahir 19 Februari 1983 di Kenagarian Taratak, kampung kecil di Pesisir Selatan Sumatera Barat. Menyelesaikan pendidikan Sosiologi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bergiat di Rumahlebah Yogyakarta. Selain itu, bersama kawan-kawan mendirikan Forum Diskusi dan Analisis (FODKA) yang intens mengkaji sosial-budaya. Cerpen dan puisi pernah dimuat di Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Suara Pembaruan, Suara Karya, Suara Merdeka, Koran Sindo, Kedaulatan Rakyat, Wawasan, Lampung Post, Surya, Pikiran Rakyat, Riau Pos, Padang Ekpres, Solo Post, Minggu Pagi, Cempaka dan lainnya. Ia juga berprofesi sebagai pedagang buku dengan toko jualbukusastra.com (Jualbukusastra Jbs Indrian) serta mengelola penerbitan kecil MK Books dan Penerbt JBS. Buku puisi pertamanya yang sudah terbit: Pleidoi Malin Kundang (Gambang, 2017).