Panggung Terhukum


Ida Fitri *
Jawa Pos, 1 Des 2019

DI depan rumah ibadah, seorang ahli agama sedang berceramah, mengutip kitab suci, membuat orang-orang larut dalam getaran tertentu seperti segentong anggur merah ditumpahkan ke kerongkongan mereka. Sebuah panggung mencuat di antara orang-orang yang berkerumun dan mulai berteriak; menyebut nama-Nya dan mengutuk yang tersalah. Sebentar lagi hukuman itu akan dilaksanakan, tidak jelas apa yang saat ini saya rasakan. Rasa takutkah? Atau putus asakah? Berulang saya menanyakan pada diri sendiri musabab apa hari ini yang membuat saya berada di tempat ini; menunggu untuk dihukum dan dipermalukan. Panas matahari semakin menyengat, membuat anak-anak yang digendong ibunya untuk menonton pelaksanaan hukuman mulai menangis. Saya seperti terisap ke masa kecil saya, saat kakek masih hidup, kakek yang tinggi besar, berkulit gelap, dan berhidung mancung kerap mengaku keturunan Turki.

Suatu kali kakek bercerita; saat masa pendudukan Jepang, aku telah menjadi remaja tanggung, menyaksikan kesulitan yang dirasakan orang-orang di sekitarku. Para pemuda dipaksa membuat lorong-lorong gua di daerah pesisir dan hanya diberi sedikit makan, gua-gua benteng pertahanan Jepang. Mereka kelaparan dan menunggu malaikat maut menjemput, sementara di kampung-kampung orang-orang juga kekurangan makanan. Beberapa di antara mereka yang panjang akal menanam karung padi di belakang rumah sebelum tentara Jepang menyisir untuk mencari padi di lumbung-lumbung yang ada di kampung-kampung. Mereka mengaku sebagai saudara tua yang harus dibantu untuk memenangi perang melawan kafir Belanda. Mula pertama orang-orang mulai bersimpati. Tapi, melihat kelakuan mereka yang lebih jahat daripada kafir Belanda, orang-orang mulai melawan dengan melakukan berbagai muslihat; salah satu di antaranya mengubur goni padi, emas, dan harta berharga lainnya dalam tanah agar selamat dari jarahan para serdadu bermata sipit itu. Sekali waktu, aku juga pernah dimintai tolong oleh bapak untuk menggali lubang di bawah pohon sukun untuk menyembunyikan paon ringgit (liontin emas berbentuk bulat) milik ibu. Kami menanam pohon sukun kecil di atasnya sebagai penanda. Karena tidak menemukan apa-apa saat masuk ke kampung-kampung, para serdadu Jepang mengamuk dan menembak beberapa orang lelaki kampungku, salah satu di antaranya bapakku, indatu-mu. Beruntung, mereka tidak bertahan lama di daerah kita. Kekalahan memalukan dari sekutu membuat Jepang segera angkat kaki. Saat itu aku masih terlalu kecil untuk bergabung dengan tentara. Tetapi tidak bertahun kemudian, ketika pemerintah pusat mengkhianati para pejuang utama. Mereka mengirim pasukan untuk membantai Tuan Beureueh dan pejuang utama lainnya. Padahal, saat itu Tuan Beureueh belum memutuskan untuk bergabung dengan pihak yang ingin mendirikan negara agama. Kedatangan pasukan besar dari Pulau Jawa membuat Tuan Beureueh tidak punya pilihan lain. Banyak pemuda yang bergabung dengan laskar Tuan Beureueh; salah satu di antaranya aku, kakekmu ini. Pada mulanya kami masih unggul karena menguasai hutan, menghafal setiap punggung bukit, mengenali setiap lekuk sungai. Tapi, tak lama kemudian kami terdesak dan terpecah-pecah dalam beberapa pasukan kecil. Aku yang belum memiliki pengalaman tempur pada suatu ketika malah terpisah dengan pasukanku. Lapar yang melilit perut membuatku nekat memanjat kelapa di pinggir sebuah kampung. Sialnya, begitu sampai di pelepah pertama, aku mendengar langkah-langkah bersepatu menginjak-injak semak belukar. Aku naik lebih tinggi dan mengintip dari atas pohon; beberapa tentara berseragam republik keluar dari semak belukar dan lewat tepat di bawahku. Aku berdoa kepada Tuhan semoga mereka tidak mendongak ke atas. Dan ternyata dikabulkan. Setelah mereka cukup jauh, aku turun tanpa memetik satu pun buah kelapa. Malam itu aku tidur di atas pohon beringin besar yang tumbuh tidak jauh dari tempat itu, tidur dalam kondisi kelaparan. Saking laparnya, aku membuat Tuhan jatuh iba dan mengirimkan seorang perempuan untuk mengantar makanan kepadaku. Ketika terbangun keesokan harinya, aku menemukan nasi berbungkus daun pisang dan lauk ikan asin bakar tersangkut di sebuah galah dekat cabang beringin yang kugunakan untuk tidur. Tuhan telah benar-benar mengirim makanan untukku, seperti yang Ia lakukan pada Maryam. Kalau dulunya aku menuruti bapak untuk tinggal di dayah, sudah pasti aku menjadi seorang wali atau setingkat aulia.

Dua hari kemudian baru kuketahui bahwa anggota pasukanku yang lain telah mati dibantai tentara republik. Ketika kudapati seorang anak perempuan yang mengaku bernama Saribanun, yang kemudian menjadi istriku, menggantungkan makanan di ujung galah dekat aku tidur di cabang beringin itu, gagallah seluruh mimpiku untuk menjadi wali. Aku tidak tahu harus bersyukur atau menyesal karena tersesat dan selamat. Mungkin yang patut kusyukuri, aku dilindungi dan disembunyikan oleh Teumeureuhom yang kemudian menikahkan putrinya denganku. Kakek saya mengakhiri ceritanya, membuat saya menyadari bahwa kakek saya pernah bergabung dengan pemberontak yang ingin mendirikan negara agama.

Seorang perempuan yang bertindak sebagai pembawa acara membacakan tata tertib acara selanjutnya, sementara para penonton semakin tidak sabar, meneriakkan nama saya agar segera dicambuk. Masjid semakin megah, saya semakin mengerut. Tuhan mungkin sedang tertawa-tawa mengejek saya, meski saya juga tidak tahu wujud tawa Tuhan seperti apa. Pembawa acara mencoba untuk menenangkan penonton yang semakin bersemangat. ”Dasar terlaknat!” Sebuah suara yang saya kenal mencuat di antara suara-suara lain yang tidak familier di telinga saya. Itu suara Aisyah Salbi, teman mengaji saya saat kecil dulu. Aisyah Salbi yang tidak melanjutkan sekolah dan menikah dengan Ibeunu anak Pawang Matnu. Ibu Aisyah Salbi adalah janda Halimah yang dulu sering meminjam uang kepada bapak saya semisal bapak sedang berada di rumah. Serta-merta saya menjadi teringat bapak yang sudah lama tiada.

”Kamu dengar suara air mengalir itu?” Suara bapak kembali terngiang di telinga saya, ”Lihat ke situ, ke tebing yang terjal. Di bawahnya ada sungai, tempat di mana leher orang pe-ka-i digorok.” Saya berhenti melangkah, melihat ke arah yang ditunjuk bapak. Suara burung-burung menyelingi suara air mengalir di celah berbatu. Saya tidak bisa melihat sungai yang dimaksud bapak dari tempat saya berada. Kaki saya melangkah ke arah yang ditunjuk bapak. Baru kali ini bapak mengajak saya pulang dari rumah kebun kami melalui punggung lereng gunung dengan ilalang dan belukar di kiri-kanan jalan setapak itu, jalan setapak menuju Pante Raya. Saya tinggal bersama ibu dan kakek di rumah kami yang berada di dataran rendah, sementara bapak tinggal di punggung gunung untuk menjaga lahan kopi kami. Susahnya mengakses sekolah dari lahan kopi membuat bapak merelakan ibu tinggal bersama kakek demi pendidikan anak-anaknya. Saat liburan sekolah, biasanya kami mengunjungi bapak di kebun kopi. Tapi, karena adik saya tahun ini disunat, maka liburan kali ini yang mengunjungi bapak hanya saya. Ibu menjaga adik yang ke mana-mana masih harus menggunakan kain sarung sambil mengeluh sakit di selangkangannya.

”Kamu mau ke mana? Jangan ke tempat itu, nanti kamu bisa kerasukan iblis. ” Bapak mencoba melarang saya seraya melangkahkan kaki mengikuti saya. ”Tidak apa-apa, Pak. Saya ingin melihat tempat itu. ”Saya takjub melihat air sungai pegunungan yang mengalir di antara batu-batu. Beberapa batu besar terlihat seperti benteng yang mencegah tanah jatuh dari tebing. Mencoba membayangkan tragedi puluhan tahun yang lalu, saya memejamkan mata. Sekelompok orang dengan mata tertutup, dibentak, dipukul, dan ketakutan diseret ke tempat ini, tanpa tahu kesalahan yang mereka perbuat. Mungkin salah satu dari mereka pernah berdiri di tempat saya berdiri saat ini. Lalu, satu per satu leher mereka digorok, membuat badan-badan mereka yang terkejut meronta-ronta. Dan ajal menghampiri orang-orang itu tanpa belas kasihan. ”Apa yang dibunuh di sini memang orang pe-ka-i, Pak?” tanya saya seraya membuka mata dan berpaling kepada bapak yang sudah berada di samping saya. ”Tidak juga. Sebagian besar adalah mereka yang menerima gula atau cangkul saat partai membagikannya. Yang lainnya karena dilaporkan sebagai pe-ka-i oleh tetangganya,” ujar bapak. Lalu, bapak mengajak saya untuk melanjutkan perjalanan. Waktu itu saya masih bersekolah di sekolah lanjutan atas (SMA), apa yang diucapkan bapak berlalu begitu saja. Tetapi, tidak demikian setelah saya dewasa. Saya mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi berpuluh tahun yang lalu itu. Membaca buku dan mulai membicarakan hal sensitif tersebut dengan teman-teman saya. Jika pun yang dibunuh itu orang pe-ka-i, bolehkah mereka dibantai begitu saja hanya karena berbeda pilihan politik? Daerah saya yang berada di ujung pulau ini kerap menjadi saksi pembantaian yang satu ke pembantaian lainnya. Daerah operasi militer mengambil korban sangat banyak. Para lelaki dibunuh dan mayat mereka dicampakkan di sungai, di jalan, atau di belakang kios di pinggir hutan. Para perempuan juga kadang dibantai, bahkan di depan anaknya. Banyak yang telah bersuara karena kematian-kematian yang tidak masuk akal kala daerah saya dijadikan target operasi militer. Tetapi, sangat jarang bahkan hampir tidak pernah terdengar orang-orang bersuara tentang pembantaian di tahun ’60-an. Padahal, mereka sama-sama korban tidak bersalah yang memiliki anak-istri.

Karena sering membicarakan hal tersebut, saya dipanggil pimpinan lembaga di tempat saya bekerja, yang ujung-ujungnya saya dituduh sebagai anak pe-ka-i. Tidak hanya sampai di situ, tulisan saya di kolom Minggu telah menyeret saya menjadi pesakitan pada hari ini. Segala embel-embel partai yang sudah lama musnah itu dilabelkan kepada saya. Dan siang ini saya berdiri di antara empat pesakitan lainnya: tervonis mesum, tervonis judi, tervonis minum anggur, dan tervonis mencuri. Saya tidak tahu, sejak kapan tervonis anak pe-ka-i dimasukkan dalam daftar hukuman cambuk. Mungkin ini yang pertama sehingga penonton membeludak. Yang membawa anak menunjuk muka saya dan menerangkan kepada anak-anak mereka seperti apa anak pe-kai-i itu. Saya tidak tahu apakah hal-hal seperti ini layak dikonsumsi anak-anak, sementara bermain game saja dilarang para ahli agama. Teriakan orang-orang yang menonton prosesi hukuman semakin bergelora. Saya melirik empat pesakitan lain, saya tidak berani menuduh mereka lebih rendah daripada orang-orang yang berteriak di depan sana. Mungkin saja kasus mereka tidak beda jauh dengan kasus saya.

Suara pembawa acara terdengar nyaring memanggil nama saya dan membacakan vonis saya. Seseorang menyeret saya naik ke panggung. Giliran saya tiba, orang-orang semakin bersemangat melihat saya berada di atas panggung. ”Hancurkan pe-ka-i!” Saya diminta berdiri membungkuk di tengah panggung. Saya tidak bisa membaca raut wajah sang algojo yang berdiri di sudut karena wajahnya tertutup kain. Orang dewasa dan anak-anak berteriak memberi semangat kepada sang algojo yang mulai mengangkat cambuk. Kesalahan saya hanya karena mengungkit pembantaian yang pernah terjadi puluhan tahun lalu, yang apabila diusut tuntas bisa membuat banyak pihak kehilangan muka dan menanggung malu. Mendadak saya sangat ingin tersenyum, meski cambuk mendera punggung saya. Seperti Tuhan yang sedang tertawa di atas sana.
***

*) Ida Fitri, lahir di Bireuen, Aceh Timur, tanggal 25 Agustus. Cerpennya dimuat di koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, dll. Kumcer pertamanya berjudul “Air Mata Shakespeare” terbit tahun 2016, dan kumcer keduanya bertajuk “Cemong” terbit di tahun 2017.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *