Jansen H. Sinamo
Kompas, 3 Juli 2005
Menurut Ali Sadikin buku Cucu Wisnusarman kumpulan kolom Parakitri T Simbolon memiliki nilai edukatif yang tinggi karena mengangkat dan menggambarkan secara baik realitas dan problem sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Cucu Wisnusarman juga menjelaskan sebab-musababnya, yaitu kultur dan perilaku budaya yang masih didominasi oleh feodalisme, tingkat kesadaran masyarakat yang relatif masih rendah, dan struktur sosial-politik dan ekonomi yang tidak demokratis dan tidak adil. Jadi, Cucu Wisnusarman perlu dibaca oleh warga dan tokoh masyarakat, tak terkecuali para birokrat sipil dan militer, serta terutama generasi muda.
Saya pasti setuju dengan Bang Ali, namun selain itu, Cucu Wisnusarman juga sebaiknya dibaca oleh alumni Kho Ping Hoo karena di sini kita akan bertemu lagi, dalam format yang lebih segar, cerdas, dan kontekstual dengan ujar-ujar khas yang biasa kita temui dulu ketika membaca Kho Ping Hoo.
Apa kesamaan Parakitri dengan Kho Ping Hoo? Sedikitnya dua. Keduanya merupakan penulis produktif di bidang yang berbeda. Parakitri itu wartawan kondang, asal Samosir, juga kolomnis, dan pengarang. Sedangkan Kho Ping Hoo pengarang puluhan cerita silat, asal Solo, yang juga amat kondang.
Mereka berdua juga penganjur dan penghayat Kebijaksanaan Timur yang berbasis pada Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme dengan cara yang berbeda pula. Bagi Kho Ping Hoo, hal itu umumnya terlihat dengan sangat gamblang dan mencolok dalam semua kisah silatnya. Tapi bagi Parakitri, hal itu khususnya tampak secara halus dan elegan melalui Cucu Wisnusarman. Untuk memastikan hal itu, saya membaca ulang Pedang Kayu Harum (PKH, 49 jilid), salah satu komik legendaris Kho Ping Hoo, serentak dengan Cucu Wisnusarman edisi terbaru.
Karya-karya Kho Ping Hoo saya baca di zaman SMP-SMA awal 70-an, sedangkan Cucu Wisnusarman saya baca ketika menjadi mahasiswa pada akhir 70-an sampai awal 80-an, yang terbit sebagai serial kolom di Kompas kala itu. Kini dalam bentuk buku, Cucu Wisnusarman tampil lengkap dan kompak. Tak pelak lagi, roh PKH dan Cucu Wisnusarman memang Kebijaksanaan Timur tadi. Bandingkan misalnya dua kutipan saja. Kho Ping Hoo: ”Siapa mendekati nikmat dan menjauhi derita takkan dapat merasai bahagia ” (PKH j. 18, h. 40). Parakitri: ”Kamu tampak gembira sekali, cucu degil,” sambut si Kakek begitu cucunya tiba. ”Oleh karena itu, bersiaplah untuk sedih.” (Cucu Wisnusarman h. 7). Dan ratusan kalimat bijak begini bertaburan dalam kedua buku.
Untuk berkotbah, Kho Ping Hoo suka memakai mulut Ketua Perguruan Silat Siaw-lim-pai atau Kun-lun-pai. Kadang, meminjam mulut tokoh aneh semacam Siaw-bin Kuncu (Budiman Berwajah Ramah). Dan terutama melalui dialog dan renungan batin Cia Keng Hong, sang protagonis utama, pewaris Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum), pemilik tunggal ilmu mujizat Thi-khi-i-beng (Mencuri Sukma Memindahkan Nyawa), dan maestro dua ilmu silat paling sakti di dunia kangow: San-in-kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) dan Thai Kek Sinkun (Ilmu Sakti Kakek Tiada Tanding). Kedua ilmu terakhir ini kelasnya bagaikan Teori Relativitas dan Teori Kuantum dalam fisika yang cuma bisa dikuasai tuntas para fisikawan kelas atas saja.
Di fihak lain Parakitri memakai dua mulut bijak: Wisnusarman dan Laotan. Dan tentu, para Cucu Wisnusarman yang banyak itu: mahasiswa, petani, pilot, guru atau siapa saja. Tema dialog-dialog Cucu Wisnusarman sendiri klasik, intinya, menentang kejahatan, mengolok-olok fanatisme, mengejek sloganisme, membuka kedok dogmatisme, seraya menertawakan kedangkalan, kebodohan, dan kemunafikan.
Ciri utama dialog para tokoh dalam Cucu Wisnusarman cerdas, tajam, dan filosofis. Di jantungnya, terkandung ajaran-ajaran mulia, yang jika dikalimatkan ulang, beberapa ajaran itu bisa berbunyi: (a) Teruslah belajar agar mengerti hakikat manusia dan faham tabiat alam semesta; (b) Kebenaran itu berwajah banyak, maka gunakanlah nalar dengan baik dan teruslah mencari jejaring sebab-akibat ke segala penjuru sehingga wajah kebenaran semakin tersingkap; (c) Manusia bukanlah jabatan atau gelarnya, bukan pula keinginan atau cita-citanya, tetapi apa yang dikerjakannya sesuai jati dirinya, maka mengenal diri adalah permulaan kebijaksanaan; (d) Hidup itu bagaikan musim, datang silih berganti, begitu juga status dan jabatan, tiada yang tetap; maka janganlah bersikap mentang-mentang.
Bandingkan dengan Kho Ping Hoo misalnya: (a) Manusia utama mencari kebenaran, manusia rendah mencari keuntungan; Manusia utama menyayang jiwanya, manusia rendah menyayang hartanya; Manusia utama ingat akan dosa-dosanya, manusia rendah ingat akan jasa-jasanya; Manusia utama mencari kesalahan diri sendiri, manusia rendah mencari kesalahan orang lain. (PKH j. 21 h. 50); (b) Selalu menang tanpa merebut, mendapat sambutan tanpa berkata, semua datang tanpa memanggil, selalu berhasil tanpa rencana, jalan langit lebar dan luas, biar jarang namun tiada yang bocor. (PKH j. 21 h. 35).
Ciri khas Cucu Wisnusarman yang lain ialah menggugat, memecahkan kebekuan nalar, liar, serta lucu bukan main. Kita bisa terhenyak campur geli misalnya dalam ”Siapakah Batak?” (h. 197); atau tersedak oleh plesetan ungkapan ”Hati boleh panas, tapi mata jangan melotot.” (h. 10). Atau tertohok oleh ini: ”Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, silakan masturbasi bersama di lapangan. Bila perlu buka baju. Orang lewat, acuhkan. Tak usah ragu, inilah obat mujarab pembebasan.” (h. 243). Dijamin, tak ada pornografi di sini, dan dijamin pula Anda pasti ketawa sampai puas.
Sekali lagi, Cucu Wisnusarman pas menjadi bacaan lanjutan bagi para mantan penggemar Kho Ping Hoo untuk bermenung, kadang bingung, tertawa, dan menjadi bijak. Bisa sebijak apa? Tergantung! Jika Anda membawa gentong maka segentong pula bijak yang diperoleh, tapi jika cuma bawa centong, ya secentong pula bijaknya.
Menurut Daniel Dhakidae yang menulis epilog buku ini Anda perlu mengosongkon diri dari ilmu-ilmu Anda untuk memahami pesan-pesan Cucu Wisnusarman. ”Singkirkan purbasangka. Jangan curigai kapitalisme. Jangan terlalu ingin disebut radikal, jangan malu disebut konservatif. Jangan malu disebut ’maling’, jangan bangga disebut ’pahlawan’, apalagi ’intelektual dan budayawan’. Baru setelah itu, buka bukunya dan coba simak apa yang bisa diperoleh dari buku ini.” katanya lagi. Jadi, selain daripada yang disebut Bang Ali di atas, buku ini pun baik juga menjadi konsumsi lulusan sekolah filsafat yang faham pikiran Foucault, Erasmus, Nietsche, atau Fuentes.
Apakah berarti Cucu Wisnusarman cocok buat semua golongan? Tunggu dulu! Lebih baik bertanya pada penulis. Ditujukannya buat siapa Cucu Wisnusarman ini? Dan dengarlah kata Parakitri, “Saya menulis Cucu Wisnusarman pada saat paling gelap dalam mempertahankan keutuhan nurani. Saya tak boleh merasa pahit terus-terusan. Saya harus memiliki wilayah bebas, betapa sempit pun, di tengah keadaan yang serba mengekang itu. Untuk itu saya perlu mengerti duduk perkara, bukan sekadar isyu. Hanya dengan itu saya dapat tetap setia pada persoalan dasar sekaligus berlapang dada terhadap kekurangan dan keterbatasan berbagai pihak. Begitulah Cucu Wisnusarman menjadi liang perlindungan sekaligus langit pengharapan dan penjelajahan baru.” (h. ix).
Ternyata Cucu Wisnusarman tak ditujukan buat siapa-siapa. Penulis hanya memaksudkankannya buat dirinya pribadi yang sedang bergumul dengan berbagai masalahnya sendiri. Kalau toh ada juga pembaca yang ikut-ikutan mendapat manfaat, tertawa lalu menjadi bijak, bahkan mampu berlapang dada terhadap kekurangan dan keterbatasan berbagai pihak, itu namanya unintended consequences. Dan barangkali ini pun gaya Tao seorang Parakitri ”Wisnusarman” Simbolon.
Selain karena sejumlah salah cetak yang cukup mengganggu bagi pembaca teliti — maklumlah, Cucu Wisnusarman merupakan produksi perdana Penerbit Nalar, namun karena sudah membaca Cucu Wisnusarman mudah-mudahan Anda mampu berlapang dada seperti Parakitri — keseluruhan dialog dalam Cucu Wisnusarman tetaplah seru dan segar seperti juga komik-komik Kho Ping Hoo.