Ini bukan buku Dee favorit saya (tentu saja tak ada yang bisa menggeser posisi Partikel!), tetapi cukup menyenangkan untuk dibaca. Bagi saya, buku ini serupa mesin waktu: melemparkan saya ke beberapa tahun silam, kala saya masih berseragam putih abu-abu. Seperti Ping, waktu itu saya juga keyboardist, baik di band kelas satu, dua, ataupun tiga. Baru di band kuliahan saya pegang Bass, hanya karena tidak ada yang bersedia memainkan alat musik bersenar tebal itu yang membuat jari-jari kapalan. Maklum, semua personilnya perempuan yang tentu saja tidak ingin ujung jarinya kasar.
Bagi saya, salah satu adegan yang memiliki nilai historis dalam buku itu adalah saat Ping mempelajari not balok. Ingatan saya mundur lagi jauh ke belakang, saat saya masih berseragam putih merah, tertatih-tatih belajar membaca not balok setelah sebelumnya dimanjakan oleh cord dan not angka. Saya ingat lagu yang saya coba mainkan saat itu: Symphony No. 40. Bukan partitur untuk piano, melainkan electone. Pada electone, tangan kanan memainkan melodi, tangan kiri chord, dan kaki kiri menginjak pedal bas.
Seperti Ping yang merasa “sudah bisa” hanya dengan bermodal telinga dan kemampuan memainkan nada, saya pun merasa sudah cukup dengan telinga, chord, dan not angka. Tanpa not balok, saya sudah bisa memainkan Cinta kan Membawamu Kembali-nya Dewa19, Ben-nya Michael Jackson, atau Tears in Heavennya Eric Clapton. Untuk apa saya menyusahkan diri sendiri dengan belajar dari dasar, membaca not balok, dan memainkan Twinkle-twinkle Little Star?
Menurut kawan saya, yang belajar musik di Yamaha, cara yang saya gunakan sesat. Tidak sesuai pakem, katanya. Menurutnya, nantinya saya tidak akan mampu membaca kitab suci musik lainnya seperti Beethoven atau Brahms. Saya katakan, saya memainkan musik untuk menyenangkan hati saya. Dengan lagu Padi, Sheila on7, atau Mahadewi saya sudah bahagia, untuk apa menyiksa diri dengan kerumitan yang diusung Bach. Saya merasa, langkah yang saya lakukan sudah benar, bukannya sesat seperti kata kawan saya itu.
Menurut Epictetus, orang melakukan “kesalahan” (atau yang kita anggap kesalahan) bukan karena dengan sengaja ia melakukan kesalahan. Ia melakukannya karena merasa benar. Ada kebenaran yang ia pegang karena baginya itulah jalan yang terbaik untuk meraih kebahagian, apapun definisi kebahagiaan itu baginya. Lagipula, belum tentu yang kita anggap suatu kesesatan ataupun kesalahan, suatu saat terbukti sebagai ketidakbenaran. Bisa jadi kita yang tidak benar, tetapi merasa benar, dan memaksakan kebenaran yang kita anut kepada orang lain.
Ada yang berbahagia dengan memainkan musik kehidupannya berdasarkan partitur yang tertata, baik nada maupun temponya. Ada yang lebih suka berimprovisasi, tanpa melihat partitur, hanya mengikuti simfoni yang bermain di kepalanya. Apapun itu, keduanya sama-sama ingin berbahagia dalam kebenarannya masing-masing. Dan ketika keduanya saling berbincang, membicarakan musik tanpa saling menuding sesat satu sama lain, saya pikir, mungkin ini yang dinamakan kedamaian dan keselarasan, seperti Ping dan Jemima. Seperti saya dan Anda, eh. Semoga begitu.
***
*) Sasti Gotama, kelahiran Malang yang tinggal di Cilacap. Beberapa cerpennya dimuat di media Kompas, Tempo, Minggu Pagi, Fajar Makassar, Detik, Ideide, dll. Karya terjemahannya; “Bagaimana Berdebat dengan Kucing”, “Narsisme”, dan “Etika Ambiguitas” (Circa). Buku antologi bersama; “Mimpi-mimpi Erina” (Cerpen dan Puisi Nomine Anugerah Sastra Ideide.id 2020), “Pandemi” (ProsaDiRumahAja, Indonesia Kaya, 2020), “Hanya Cinta yang Kita Punya untuk Mengatasi Segalanya” (2020), “Gagak, Kelelawar, dan Firasat-firasat” (2020). Buku antologi tunggalnya; “Penafsir Mimpi” (2019). “Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?” (2020) menjadi salah satu buku Karya Sastra Rekomendasi Tempo 2020.