Junaidi Khab *
Lampung Post, 4 Mar 2018
Pada Minggu, 28 Agustus 2016 cerita pendek (cerpen) karya N. Mursidi berhasil tayang di salah satu koran Jogja. Ia menulis cerpen dengan judul Tiga Wanita yang Menangis untuk Sebuah Kematian (Harian Jogja). Membaca karya ini, kita akan melewati jalan melankolis dan kesedihan yang tiada henti. Substansinya, sebuah konflik fisik atau batin dalam sebuah kisah sangat lumrah. Begitu pula dengan sosok perempuan yang menjadi ulasan empuk untuk dijadikan kambing hitam dalam cerpen Mursidi.
Sebuah pukulan batin yang benar-benar menyayat hati dan mengiris perasaan. Dengan diksi yang tentunya melalui olah naluri yang tajam tentang sebuah pernikahan yang tidak dikehendaki, Mursidi berhasil membawa pembaca – tentunya – ke alam lara yang meledak-ledak dan penuh empati yang tinggi. Seorang Lusy yang sudah menanam cintanya selama tujuh tahun bersama Alex harus tumbang setelah kedatangan Handoko. Ayah Handoko memiliki piutang jasa penyembuhan ibu Lusy yang terkena kanker hati. Sehingga, ibu Lusy untuk membalas kebaikan ayah Handoko ia menikahkan anaknya dengan Handoko.
Dalam cerpen karya Mursidi ini, kita bisa menemukan dua dimensi pilu yang terus menghantui diri Lusy. Pertama, di saat malam bulan madu. Meski Lusy sudah berstatus sebagai istri Handoko, ia tak menemukan kebahagiaan di dalam dirinya. Di saat akan ditiduri, ia merasa sakit di selangkangannya. Tak ada butiran kenikmatan. Ia merasa sangat perih. Namun, ia pura-pura melenguh. Padahal, lenguahan itu palsu, tak ada gairah untuk tidur bersama Handoko. Kedua, hatinya sangat teriris karena kondisi kejiwaan dan hobi anaknya sama seperti Handoko. Bahkan, di saat Handoko sakit, anaknya pun sakit. Begitu juga ketika Handoko sembuh, anaknya pun sembuh. Suatu kejadian di luar nalar yang semakin membuat Lusy tidak senang hidup dengan Handoko.
Kisah-kisah kecut semacam itu kadang memang banyak dialami perempuan. Namun, tidak semua dari mereka menceritakannya. Di sisi lain, kisah ini mungkin akan sangat penting bagi orangtua guna mencari kesepakatan untuk menikahkan anaknya. Bukan memilihkan orang yang tidak disukai, karena siksaan batin sudah tentu dialami oleh anak yang menjalani kehidupan rumahtangga dengan lelaki yang tidak ia cintai, seperti halnya Lusy dengan Handoko.
Masyarakat mungkin beranggapan bahwa karya Mursidi ini menentang otoritas orangtua dalam menjodohkan anaknya. Orangtua kadang dengan tangan besinya menjodohkan anak gadisnya dengan lelaki pilihannya. Jika dilihat lebih dalam, perilaku demikian sungguh memalukan. Seorang perempuan hanya barang rongsokan belaka yang ditawarkan kepada tukang rombeng. Semua orangtua tentu menyadari pilu yang akan dihadapi anak gadis yang akan menikah dengan lelaki bukan pilihannya. Namun, keangkuhan dan rasa otoritas yang tinggi tetap tak mampu dibendung. Sehingga pernikahan yang tidak didasari rasa cinta pun terjadi. Kadang seorang perempuan menampilkan mimik bahagia, padahal tidak. Dengan kata lain, perempuan tetap dieksploitasi hak-haknya dengan melewati batas norma-norma, agama, dan tatanan sosial yang dibenturkan sebagai senjata ampuh untuk memaksakan kehendak orangtua.
Sebuah Komparasi
Begitu pula Mashdar Zainal, ia tak jauh berbeda dalam menorehkan ide-idenya melalui karya fiksi. Perempuan menjadi tumbal dalam kisahnya. Sosok perempuan memang unik, menarik, dan penuh dimensi eksotis untuk selalu dibicarakan. Namun, kisah pilu yang dibangun oleh Mashdar berbeda dengan kisah yang disajikan oleh Mursidi. Melalui cerpennya yang berjudul Ladang Ubi (KR: Minggu, 28 Agustus 2016), ia menampilkan sosok gadis yang selalu terasingkan, baik saat masih hidup dengan orangtuanya atau saat diadopsi oleh kerabat jauh yang tinggal di daerah lain.
Membicarakan tentang sosok perempuan memang tidak akan pernah akan ada habisnya. Para penulis fiksi berupa drama, cerpen, atau novel, selalu menjadikan sosok perempuan sebagai bumbu penyedap rasa karyanya. Begitu pula halnya Mursidi dan Mashdar Zainal yang menggunakan perempuan sebagai sembilu, guna menghasilkan karya yang benar-benar menyentuh perasaan para pembaca. Bahkan, bukan hanya karya dua penulis tersebut yang menjadikan sosok perempuan sebagai makanan empuk penikmat karya sastranya, tapi penulis-penulis lainnya pun tak jauh berbeda.
Jika membandingkan dengan karya-karya lainnya – tentu setiap penulis dan karyanya memiliki karakter masing-masing – masih tergolong karya klise. Tetapi, kisah yang dibangun dengan pilihan diksi yang tepat akan tampak menjadi sebuah karya yang aktual – sesuai dengan kondisi sosial saat ini. Kisah-kisah yang dibangun pun tak jauh dari persoalan kehidupan yang salah satunya memerankan sosok perempuan. Dilihat dari sudut pandang mana pun, perempuan memiliki eksotisme tersendiri. Sehingga, tak heran jika banyak penulis yang menautkan kisah-kisahnya dengan kehidupan perempuan.
Perempuan bukan hanya tokoh – baik sebagai orang pertama, kedua, ketiga, atau sampingan, tetapi perempuan menjadi umpan demi menjadikan sebuah karya agar memiliki ruh. Memang ada karya-karya yang lahir tanpa melibatkan sosok perempuan, tetapi hal itu masih bisa dihitung dengan jari. Kita dapat menyimpulkan bahwa sosok perempuan lebih tinggi daya tariknya dibanding lelaki dalam sebuah karya sastra. Sosok perempuan memiliki beberapa dimensi yang bisa dijadikan sebuah permenungan karena perangainya yang sangat sensitif.
Kadang, seorang penulis menjadikan sosok lelaki jika ada kaitannya dengan persoalan sosial, politik, dan budaya. Namun, kaum perempuan tetap dibutuhkan; sebagai penyedap, penikmat, dan bahkan bisa menjadi racun yang melenakan hingga mematikan. Begitulah sosok perempuan yang selalu menjadi tumbal (dieksploitasi) dalam sebuah karya menggunakan estetika dan moral yang tinggi. Maka dari itu, karya yang mengeksploitasi dengan menjadi tumbal sosok kaum perempuan harus dijadikan sebagai kaca cermin bagi peradaban kehidupan umat manusia untuk berbenah diri dan membangun peradaban kemanusiaan yang universal.
***
*) Penulis adalah Akademisi asal Sumenep, lulusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya. Sekarang Belajar di Yogyakarta.