Bernando J. Sujibto *
Jawa Pos, 17 Juli 2020
Setelah resmi mengembalikan fungsi Hagia Sophia sebagai masjid pada 10 Juli 2020, sosok Presiden Recep Tayyip Erdogan kembali menjadi magnet internasional. Beragam dukungan maupun kritik tumpah. Khusus negara-negara Eropa dan lembaga internasional mengkritik keras kebijakan Turki. Saya ingin menilik satu aspek menarik terkait langkah politik Erdogan yang telah menjadi bagian yang khas dan sekaligus melekat dengan dirinya, yaitu ”politik masjid”.
Sebagai bagian kebijakan penting sebuah negara (baik ketika situs itu menjadi masjid untuk kali pertama setelah Konstantinopel ditaklukkan Sultan Mehmed II pada 1453, diubah menjadi museum oleh keputusan parlemen Turki 1934, maupun menjadi masjid kembali pada 2020), keputusan terkait situs yang mempertemukan Barat dan Timur tersebut pada akhirnya menjadi kontestasi politik yang berimplikasi pada dinamika internal maupun eksternal Turki.
Pembacaan secara politik akan membantu memetakan isu-isu yang berkembang di balik keputusan itu. Meski rakyat Turki sudah jamak menyadari adanya kepentingan politik di balik keputusan tersebut, misalnya sebagai langkah populis untuk memperkuat dukungan dari basis Islamis, meninjau secara lebih dekat terkait ”politik masjid” akan memberikan arah yang lebih jelas dalam memahami keputusan penting itu.
Sudah mafhum, mempertahankan tampuk kekuasaan –dan bertahan selama mungkin– adalah bagian dari cara kerja politik praktis. Dalam pendekatan pluralis-tradisional (traditional pluralists’ approach), meminjam istilah John Gaventa (1980:vii), kekuasaan dipahami terutama dalam konteks siapa yang berpartisipasi dan siapa yang diuntungkan dalam pengambilan keputusan hal ihwal isu-isu utama. Dalam demokrasi, suara mayoritas dengan agensi dan figur yang mewakilinya akan memegang sirkulasi kekuasaan itu sendiri dengan memegang kendali pada keputusan isu-isu utama tadi.
Sebagai negara dengan demokrasi yang pasang surut (vibrant democracy), Turki masih terus mendapatkan catatan buruk di dunia internasional, dengan langkah-langkah politik internal negara yang secara brutal melawan nilai-nilai demokrasi. Turki dengan figur tek adam (the only man) Erdogan ingin tetap mendapatkan legitimasi khusus dari rakyatnya sendiri. Hasrat untuk mempertahankan kekuasaan dan sekaligus mengintervensi kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan ideologi Islamis telah mewarnai proses politik Turki dalam dua dekade terakhir.
Sebagai bagian politik strategis, pendirian masjid dan monumen (baca: museum, pusat kajian/studi, perpustakaan, pusat ilmu pengetahuan, nama-nama tempat dari tokoh-tokoh Islam) dengan identitas keislaman yang kental telah membetot risalah perjalanan politik Turki di bawah AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan). Dalam konteks internasional, masjid sebagai diplomasi politik khas Erdogan. ”Politik masjid” itu makin agresif ketika Erdogan menjadi presiden. Di Turki banyak masjid dibangun megah. Sebagai simbol dan identitas Islam yang paling kentara, diplomasi masjid terus dipakai Erdogan agar identitas dan pergerakan Islam yang ingin dikomandaninya terus bergulir.
Melalui lembaga formal dan organisasi yang disokong pemerintah, seperti Yayasan Diyanet Turki (TDV) serta Badan Kerja Sama dan Koordinasi Turki (TKA), Turki telah mendirikan masjid di berbagai negara. Misalnya, Masjid Cambridge di Inggris, Masjid Bishkek Kirgistan, Masjid Abdulhamid II di Djibouti, Masjid Abdulaziz di Somalia, Masjid Fatih di Filipina, Masjid Belarusia di Minsk, Masjid Boukman Buhara di Haiti, Masjid Raya Tirana di Albania, Masjid Eyup Sultan di Mali, dan yang membuat heboh adalah rencana untuk membangun masjid di Kuba. Masjid-masjid yang dibangun tersebut rata-rata berkapasitas besar dan bahkan kerap menjadi yang terbesar di negara masing-masing.
Erdogan sadar bahwa ”invasi” di era modern terletak pada kekuatan diplomasi itu sendiri, yang kemudian memberikan ruang dan legitimasi bagi negara untuk membangun masjid. Dari masjid itulah kegiatan-kegiatan keagamaan dan sosial bisa bermula. Masjid bisa menjadi sepaket agensi yang bergerak dengan ”mesin” yang sudah dipersiapkan; ia berevolusi menjadi pusat dakwah dan sekaligus kebudayaan di negara orang. Hadirnya masjid-masjid menahbiskan Turki dan Erdogan sebagai kekuatan regional yang terus menunjukkan taringnya di kancah internasional, dan khususnya di negara-negara muslim. Turki yang ingin menjadi alternatif sebagai negara muslim yang moderat mengimbangi Iran dengan misi Syiah maupun Arab Saudi dengan ideologi Wahabisme.
Bagi saya, keputusan terhadap Hagia Sophia menjadi masjid adalah bagian penting dari proses politik autentik yang telah membersamai langkah Erdogan hingga sejauh ini. Masjid telah menyertai jalan politiknya dengan kebijakan-kebijakan Islamis-populis yang disampaikan secara jelas, tegas, dan berwibawa. Keputusan Dan?tay Bakanl?? (Mahkamah Tinggi Negara yang membawahkan pengadilan administrasi di Turki) berdasar pada identitas Hagia Sophia sendiri sebagai wakaf, bernama Fatih Sultan Mehmed Han Vakf?, seperti dalam salinan keputusan: ….vakfedenin iradesi gerei sürekli ekilde cami olarak kullan?lmas? için (untuk digunakan sebagai masjid secara permanen sesuai kehendak pewakaf). Artinya, dengan surat wasiat yang sudah jelas peruntukannya untuk masjid, keputusan menjadi masjid sudah sesuai dengan koridor hukum.
Selain itu, dalam sebuah acara terbuka sebelum pemilu daerah 31 Maret 2019, Erdogan sudah sangat gamblang menyampaikan pesan tentang rencana dan keinginannya untuk mengembalikan Hagia Sophia sebagai masjid. Figur yang sudah menguasai Turki dalam dua dekade terakhir tersebut mengajak publik untuk melihat secara jernih identitas asli (asli künye) Hagia Sophia yang terekam dalam dokumen wakaf, yaitu masjid. Tentu saja beralasan ketika Erdogan mengidentifikasi Hagia Sophia ke asli künye karena situs itu sudah ditaklukkan Mehmed II.
Akhirnya perubahan identitas Hagia Sophia menjadi masjid bisa dikatakan sebagai puncak ”politik masjid” yang sudah mendarah daging dengan langkah politik Erdogan. Pernyataan itu sejalan dengan retorika yang pernah disampaikan Erdogan pada 2019: ”Kami memiliki ribuan masjid di berbagai tempat di belahan dunia. Apakah mereka berpikir apa yang terjadi pada masjid-masjid itu? Mereka berkomentar tanpa berpikir. Mereka tidak mengerti dunia. Mereka tidak tahu lawan bicara mereka. Sebagai pemimpin politik, saya tidak kehilangan arah terhadap permainan ini.”
Retorika di atas kembali menjadi topik hangat di tengah polemik dan kontroversi keputusan Hagia Sophia. Retorika yang masih multitafsir itu ingin menegaskan tentang cara Erdogan yang telah ”menginvasi” negara-negara lain dengan masjid-masjid; ada kehendak untuk menyebarkan paham dan ideologinya; dan sekali lagi, masjid-masjid itu bisa menjadi agen yang dengan mudah menjadi ujung tombak negosiasi dan kerja sama Turki dengan negara lain. Ekspansi kebudayaan dan agama tentu saja menjadi arus utama yang terus menjadi agenda penting bagi Turki untuk merebut pengaruh internasional.
***
*) Bernando J. Sujibto, Staf pengajar di prodi sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, peneliti isu-isu dan kajian sastra dan kebudayaan Turki.