MALAM LEBARAN
Kucoba cari bulan di atas kuburan
Yang kutemui suara-suara takbiran
Menggema bersileweran di atas angkasa
Memekikkan kenangan dari masa ke masa
Pada kedamaian hati kutangisi kepergianmu
Berharap kelak kita masih dapat bertemu
Ada dentun mercon dan percik kembangapi
Anak-anak di jalanan ramai mengusir sepi
Ramadhan yang datang membawa kedamaian
Ramadhan yang pergi meninggalkan kenangan
Tak ada bulan dan lelatupun telah padam
Dalam diam Ramadhan mengucap salam.
MAGRIB
Kulewati magrib-Mu dalam sholat yang sederhana
Aku imam dan anak istriku makmunnya
Sehabis salam aku berdoa tanpa getar suara :
Ya Allah ampunilah kami dari segala dosa dan salah
Dan anak istriku mengaminkannya.
MALAM
apa yang lebih gelap dari malam ?
adalah hati yang risau katamu
tapi malam dan hati risau bisa berdamai
hati yang risau bisa menjadi terang
sehabis kau bersimpuh
di atas sajadah malam.
MASSIARA *
selepas lebaran
anak-anak yang lugu itu
berombongan mendatangi rumah penduduk
dari pintu ke pintu
“Maasiaraaa !” teriak mereka di pintu
mereka tak perlu masuk sebagai tamu
karena mereka hanyalah para “pensiarah”
mereka tak perlu hidangan yang disiapkan
karena mereka hanya butuh uang
: uang receh pecahan 2000-an
anak-anak yang lugu itu
menikmati hari lebaran dengan sumrigah
lihatlah wajah-wajah mereka ceriah
mengharap pecahan 2000-an
lepas dari tanganmu
mereka bukanlah para pengemis
baju dan celana mereka masih baru
demikian juga dengan sandal dan kopiah
baru dibeli di pasar kemarin menjelang lebaran
anak-anak yang lugu itu
mendatangi rumahmu dari pintu ke pintu
jangan tolak kebahagiaannya
berilah mereka recehan 2000-an
dan ajari mereka mengucapkan terimakasih
anak-anak yang lugu itu
adalah kita di masa lalu
yang menikmati kebahagiaan hari lebaran
membayangkan betapa bijak orang-orang dewasa
yang memberi sedekah di hari lebaran
dengan receh uang 2000-an
“maassiara !” teriak mereka dari pintu ke pintu
Jangan ada kata “maaf, nak kunci lemari patah !”
___
• Massiara adalah tradisi anak-anak etnis Bugis pasca lebaran untuk mendapatkan hadiah lebaran, semacam ‘ampao’di perayaan Imlek bagi etnis Cina.
KURINDUKAN SEBUAH GUA TEMPAT AKU
BERDIAM DIRI SEPERTI DIRIMU MUHAMMAD
DI GUA HIRA DULU
kurindukan sebuah gua tempat aku berdian diri
seperti dirimu Muhammad di gua hira dulu
aku tak ingin diganggu karena barangkali diriku
segera jadi gila diusik oleh galau zaman dan
gelombang pancaroba
hari yang berlari demikian cepatnya tak terkejar
juga meski aku telah menunggangi cahaya, maka
kurindukan sebuah gua tempat aku berdiam diri
melebur jagadrayaku dan jagadkecilku dalam zikir
yang tertatih
maka ajari aku bagaimana dulu kau menerima wahyu
menatingnya tanpa aksara dan menghafalnya luar kepala
karena aku rindu lempengan-lempengan cahaya
yang segera akan kutulis dalam bait-bait puisi cinta
sebagai sembahsujudku pada-Nya
barangkali mataku akan buta merindu jatuhnya cahaya
dalam sebuah gua, tapi aku akan siap dengan sepasang
telinga menyimak galau zaman dengan kalam
dan kitab di tangan.
___________
*) BADARUDDIN AMIR lahir di Barru, Sulawesi Selatan, 4 Mei 1962. Pendidikan S1 diselesaikannya di FPBS IKIP Ujung Pandang tahun 1999, sedang Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dirampungkannya di Unimuh Makassar tahun 2010. Sejak 1981 mengabdi sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia di beberapa SMP Kabupaten Barru, dan sejak 2013 dipercaya sebagai Kepala SMP Negeri di salah satu SMP di Kabupaten Barru. Tahun 2017 diangkat sebagai Pengawas SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Barru. Di samping itu sebagai wartawan dan Kepala Biro Majalah Dunia Pendidikan Dinas Pendidikan Propinsi Sulawesi Selatan, dan pernah menjadi wartawan di beberapa mingguan yang terbit di Makassar dan tabloid yang terbit di Kalimantan.