Sujud Terlama di Dunia

Akhmad Sekhu *
kompas.id, 22 April 2021

APAKAH Anda bisa membedakan dua orang kembar? Maksudnya, bertemu dengan orang kembar benar-benar bisa langsung tahu kalau ini kakaknya dan itu adiknya, atau begitu juga sebaliknya.

Masalahnya, di desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, ada dua orang kembar, Bejo dan Sugeng namanya, yang wajahnya tampak persis sama. Begitu bertemu salah satu dari mereka dipastikan tak ada bisa membedakan mana Bejo mana Sugeng, karena wajahnya memang benar-benar persis sama, tapi kalau ditanya orang, apakah Bejo atau Sugeng, bukannya dijawab ya atau tidak, melainkan malah hanya ditanggapi dengan senyum yang makin membuat orang bingung, bahkan malah dibalik bertanya mengujinya, menurut Anda saya ini siapa? Tentu saja hal itu membuat orang bertambah jadi lebih bingung lagi, jadinya semakin dibikin keki.

Tampaknya memang tak ada orang yang benar-benar bisa tahu membedakan dua orang kembar yang selalu bikin keki orang itu. Sepertinya yang tahu hanya Tuhan dan diri mereka sendiri saja.

Bejo dan Sugeng, kedua kakak beradik kembar itu memang selalu bikin ulah, kadang bikin orang tersenyum, tapi kadang juga membuat orang jadi kesal. Tapi pada dasarnya, mereka berdua itu orang baik, niatnya memang baik, selalu ingin berbuat baik untuk menghibur masyarakat desa, hanya saja sukanya bercanda, dan parahnya bercandanya sering kelewatan. Seharusnya kadar bercandanya sesuai dengan porsinya saja karena segala sesuatu kalau berlebihan tentu tidak baik.
***

SAAT petang sudah menjelang malam, setelah selesai sholat maghrib berjamaah tampak Mushola Abdul Rohman pun sepi. Hanya terdengar suara jangkrik, katak, ngengat dan berbagai serangga lainnya, seperti musik alam yang alami

Dari kejauhan tampak tiga orang nenek berjalan tergopoh-gopoh begitu sangat buru-buru datang ke mushola itu, tapi berpapasan pulangnya orang-orang yang sudah sholat berjamaah. Ketiga nenek itu pun menjadi ragu untuk melanjutkan langkahnya, tapi begitu melihat tampak masih ada seorang lelaki yang berada di mushola, yang kemudian membuat mereka semangat dan semakin mempercepat langkahnya ke mushola.

“Ayo, cepat jalannya!” ucap Mbok Darmi, salah seorang nenek yang berjalan paling depan, tampaknya nenek yang paling cerewet dan paling tidak sabaran.

Berhenti sesaat dan kemudian merapikan mukena putih yang dikalungkan di lehernya, Mbok Darmi menunjuk ke arah mushola dan berkata, “Itu di mushola masih ada seorang lelaki yang bisa kita jadikan imam sholat, “

“Ya, ayolah!” sahut Mbok Siti tampak turut senang dan semakin tersemangati.

“Iya ini aku juga cepat jalannya, “ Mbok Rindiani juga turut tersemangati, tapi saking jalannya terburu-buru, terantuk batu hingga kemudian kedebug dirinya jatuh.

“Wah ini pakai jatuh segala!” Mbok Darmi mengomentari tampak kecewa begitu melihat Mbok Rindiani jatuh, yang baginya akan memperlambat jalan sampai ke mushola.

“Darmi ini aku jatuh bukannya ditolong tapi malah menyalahkan “ gerutu Mbok Rindiani bersungut-sungut raut wajahnya yang tirus.

“Maaf bukannya menyalahkan, “ bantah Mbok Darmi tampak tak terima, kemudian menyarankan, “tapi kalau kamu jalan hati-hati tentu tidak jatuh begitu.”

“Jangan terlalu cepat-cepatlah jalannya, “ protes Mbok Rindiani seraya berusaha keras untuk bangun, tapi tidak bisa bangun, karena itu ia perlu waktu untuk istirahat sesaat. Umur uzur memang tak bisa dibohongi yang membuatnya cepat lelah.

Mbok Darmi menghela napas panjang, kemudian pamitan, “Kita berdua duluan jalan ya agar lelaki yang masih berada di mushola tu tidak buru-buru pergi.”

Dengan penuh keterpaksaan karena masih belum bisa bangun, Mbok Rindiani langsung mempersilakan, “Iya, kalian berdua pergi duluan, aku nyusul karena encokku kumat.”

“Yuk, Sit, jalannya lebih dipercepat lagi,” ajak Mbok Darmi langsung menggandeng tangan Mbok Siti, tapi Mbok Siti tampak tak tega melihat Mbok Rindiani jatuh, tatapan matanya mengarah terus pada nenek yang sudah begitu sangat sepuh.

“Ayolah Sit, cepat jalannnya!” desak Mbok Darmi semakin tidak sabaran.

“Jalan nenek-nenek seperti kita ini ya ndak bisa cepat,” Mbok Siti memprotes.

“Jangan protes, ayo cepat kita jalan, “ bentak Mbok Darmi dengan suara meninggi sambil menarik tangan Mbok Siti. Mbok Darmi bertubuh besar gempal itu memang tenaganya kuat yang sekali tarik mampu menyeret tubuh Mbok Siti yang kurus kerempeng. Sehingga Mbok Siti terpaksa nurut kemauan Mbok Darmi.

Mbok Darmi bersama Mbok Siti pun cepat-cepat berjalan setengah berlari hingga dapat sampai mushola tepat berpapasan dengan seorang lelaki yang nyaris pergi kalau mereka berdua tidak buru-buru sampai ke mushola.

“Eit, jangan pulang!” teriak Mbok Darmi dengan suara menggelegar seraya tangannya merentang panjang untuk menghalang-halangi lelaki itu pergi.

“Lho kok jangan pulang, “ ucap lelaki itu menolak, serta-merta beralasan, “saya sudah sholat ya langsung pulang.”

“Eh, Darmi, ini siapa?” Mbok Siti membisikkan pertanyaan, tubuhnya yang kecil seperti berlindung di bawah naungan Mbok Darmi. “Bejo atau Sugeng?”

“Ndak tahu aku, orang kembar ini memang membingungkan, “ jawab Mbok Darmi sambil tangannya tetap merentang panjang untuk menghalang-halangi lelaki itu pergi.

“Hehehe, kalian bingung siapa saya,” lelaki itu tampak ketawa terkekeh melihat kedua nenek itu kebingungan tak tahu dirinya Bejo atau Sugeng.

“Bejo atau Sugeng ndak urusan, yang penting kamu mau menjadi imam sholat kita,” tegas Mbok Darmi tetap pada pendirian tak tergoyahkan digelanyuti kebingungan Mbok Siti. “Pokoknya jangan pulang dulu karena kita-kita butuh kamu jadi imam sholat!”

“Ndak mau ah, “ lelaki itu tetap menolak.

Mbok Darmi menerangkan keinginannya, “Apa kamu ndak kasihan sama kami ini nenek-nenek yang sudah uzur, sudah pikun dan sudah ndak bisa menghapal surat Al Qur’an untuk bacaan sholat, hah?!”

“Ndak bisa karena aku memang harus buru-buru cepat pulang, “ terang lelaki itu kini mencoba meyakinkan dengan alasan.

Mbok Darmi kini buru-buru mencopot sandalnya dan langsung mengacung-acung sandal yang bermerek Lily itu tinggi-tinggi sebagai tanda ancaman untuk siap menimpuk lelaki itu kalau tetap tidak mau menuruti kemauannya untuk menjadi imam sholat.

“Iya deh, aku mau jadi imam sholat,” lelaki itu kini menyanggupi tapi terdengar penuh keterpaksaan.

“Jangan pakai deh, kedengarannya terpaksa banget, “ protes Mbok Darmi, kemudian menerangkan, “padahal sholat berjamaah pahalanya sangat besar 27 kali lipat dibanding dengan sholat sendirian.”

“Ya, ayo cepat sekarang aku siap mengimami, “ ucap lelaki itu menyanggupi dengan memberi tekanan.

“Sebentar jangan terburu-buru banget begitu, “ cegah Mbok Darmi kemudian menunjuk ke arah kejauhan, “Tuh masih ada satu nenek lagi yang mau sholat berjamaah sama kita, kalau tambah satu orang lagi, mungkin juga Tuhan menambah lagi pahalanya.”

“Hehehe, “ lelaki itu ketawa terkekeh-kekeh, memberikan bantahan, “ibadah ndak bisa dihitung pakai ilmu matematika dunia begitu, “

“Sudah ah jangan membantah, “ tangkis Mbok Darmi, tampak enteng menanyakan,”Umurku sama umurmu tua mana?”

“Ya tua nenek-neneklah,” jawab lelaki itu.

“Nah, itu kamu mengakui kalau aku lebih tua, “ Mbok Darmi tampak menunjukkan keseniornya, “aku lebih berpengalaman jadi jangan bantah-bantah lagi.”

Lelaki itu menunduk, kali ini benar-benar dirinya dibuat takluk oleh nenek-nenek yang galak dan sangat konfrontatif itu.

“Tunggu, tunggu!” seru Mbok Rindiani tampak dari kejauhan mengacung-acungkan tangannya seraya mempercepat jalan, begitu sangat kepayahan menahan encoknya.

Begitu sampai mushola, Mbok Rindiani mengajukan permintaan, “Saya minta waktu untuk cuci kaki dulu.”

“Lho Rin, kamu tadi sudah wudhu dari rumah kan?” Mbok Darmi mempertanyakan.

“Iya saya sudah wudhu dari rumah, “ jawab Mbok Rindiani, kemudian menerangkan, “tapi karena tadi saya jatuh jadi harus cuci kaki dulu.”

“Sana cepat cuci kakinya!” perintah Mbok Darmi tampak paling tidak sabaran.

Mbok Rindiani buru-buru menuju ke tempat wudlu untuk cuci kaki dulu, setelah itu langsung ikut sholat maghrib berjamaah dengan diimami lelaki itu yang masih belum diketahui jatidirinya Bejo atau Sugeng.

Sholat maghrib berjamaah dimulai dengan penuh kehusyukan. Lelaki itu tampak begitu sangat serius mengimami ketiga nenek tersebut, mulai dari mengangkat kedua kanan dengan membaca “Allahu Akbar” yang suaranya begitu sangat fasih sekali. Setelah itu, membaca Al-Fatikhah dan surat pendek An-nas.

Kemudian, rukuk dimana lelaki itu begitu penuh pengertian menjadi imam dari ketiga nenek-nenek yang kesemuanya sudah senja lanjut usia jadi dilakukan dengan pelan dan perlahan-lahan penuh kekhusyukan.

Selesai rukuk, dilanjutkan dengan sujud dan kemudian duduk diantara dua sujud, juga dilakukan dengan pelan perlahan-lahan penuh kekhusyukan. Nah, pada saat akan sujud kembali, lelaki itu melakukannya semakin lebih pelan lagi, perlahan-lahan penuh kekhusyukan. Bahkan sujud dilakukan lama, begitu amat sangat lama.

Saat ketiga nenek tampak begitu sangat khusyuk dalam sujudnya, lelaki itu diam-diam bangkit dan berjingkat-jingkat pergi agar kakinya tidak menimbulkan bunyi. Matanya masih tetap menatap sujudnya ketiga nenek dan saat sudah dekat jendela mushola yang terbuka, ia dengan sigap melompat dan berusaha mendaratkan kaki begitu sangat hati-hati sekali.

Setelah itu lelaki tersebut mencari sandal dengan mata tralap-tralap begitu awas sekali hingga tak berapa lama dapatlah sandalnya langsung buru-buru pergi meninggalkan mushola, meninggalkan ketiga nenek yang sedang sujud begitu sangat lama sekali.

Lelaki itu pergi dengan menahan geli sekuat mungkin akan polahnya sendiri yang keterlaluan begitu tega meninggalkan jamaahnya yang nenek-nenek lama sekali dalam kekhusyukan sujudnya.
***

PADA awalnya, Mbok Darmi tidak curiga apa-apa dengan sujudnya yang sangat lama. Bahkan dirinya begitu sangat kagum pada lelaki yang masih muda itu meng-imaminya dengan gerakan pelan, tampak begitu pengertian pada orang yang sudah nenek-nenek seperti dirinya. Tapi lama kelamaan, ia jadi curiga juga karena sujudnya sangat beda, sangat lama.

Posisi Mbok Darmi yang berada di tengah-tengah antara Mbok Siti dan Mbok Rindiani itu memang strategis hingga praktis dirinya dapat melihat ke kanan-kiri, dimana kedua teman yang menua bersamanya itu masih tetap sama-sama khusyuk dengan sujudnya. Meski kemudian terlihat Mbok Siti sudah mulai tidak tenang, kenimgnya bergerak kesana-kemari karena saking sudah sangat lama sekali durasi sujudnya.

Mbok Darmi juga kini sudah mulai tidak kuat kalau harus terus-menerus sujud karena keningnya terasa sudah lekat sekali di ubin lantai mushola sehingga terasa mulai panas, maka mulai goyah juga konsentrasinya. Untuk itu, ia ingin segera mengingatkan imam agar secepatnya menyudahi sujud yang sudah sangat lama ini.

Pelan-pelan Mbok Darmi mengangkat kepala dengan tatapan matanya langsung tertuju lurus ke depan ke arah imam, tapi dimanakah imam yang memimpin sholatnya? Dengan lebih mempertajam tatapan matanya yang belo, ia pun mencari-cari ke sekeliling keberadaan sang imam, tapi tetap tidak ada. Ia bangkit dari sujudnya dan memang di depan sudah tidak ada lagi, dimanakah sang imam gerangan?

Menengok kanan-kiri tampak Mbok Siti dan Mbok Rindiani masih sujud terus, Mbok Darmo segera menepuk-nepuk pundak kedua temannya itu untuk segera membangunkannya. “Siti, Rindiani, bangun-bangun!”

Mbok Siti dan Mbok Rindiani pun bangun dari sujudnya dan langsung masing-masing tampak mengucek-ucek matanya.

“Imamnya tidak ada, “ Mbok Darmi memberitahukan.

“Lho kok tidak ada?” tanya Mbok Siti seketika.

“Hah?!” Mbok Rindiani terperangah heran dibuatnya.

Mbok Darmi geleng-geleng kepala penuh kegeraman mengatakan, “Rupanya kita dikerjain lelaki itu saat sujud yang lama sekali ternyata ditinggal pergi!”

“Hahh?!” Mbok Rindiani tampak masih tetap terperangah.

“Hah-heh-hah, hah-heh-hah, jangan bengong terus, Rin,“ Mbok Darmi mengingatkan, dan langsung mengajak, “Ayo cepat kita cari imamnya!”

“Kemana?” Mbok Rindiani sontak balik bertanya.

“Ya seputar mushola ini, “ jawab Mbok Darmi tampak sangat kesal, “Kalau ketahuan imam sembunyi, kita seret saja ramai-ramai!”

“Ngapain nyari-nyari imam yang tidak tahu kemana perginya, “ Mbok Siti mengingatkan, kemudian menunjuk jam, barulah mengatakan, “Ini sudah jam berapa? Bentar lagi waktu maghrib hampir habis, ayo kita cepat-cepat sholat lagi, biar aku yang jadi imam!’

Mbok Darmi dan Mbok Rindiani menurut saja ucapan Mbok Siti. Ketiga nenek itu memang terpaksa harus kembali sholat maghrib lagi, karena sholat mereka tadi tidak sampai selesai saat sujud ditinggal pergi sang imam. Kali ini yang akan menjadi imam adalah Mbok Siti yang lebih fasih bacaannya sesuai dengan makhraj-nya.
***

SEJAK kejadian itu, ketiga nenek tersebut berangkat ke mushola lebih cepat agar tidak ketinggalan waktu sholat berjamaah. Bahkan mereka jadi sering kecepatan datang ke mushola. Tapi ketiga nenek tersebut tidak mempermasalahkan datang lebih awal karena yang penting bisa berangkat bersama-sama sekalian bisa sambil cerita nostalgia.

Sedangkan, Bejo atau Sugeng, tampaknya masih tetap biasa saja seperti tidak terpengaruh kejadian itu, tingkah maupun polahnya tetap saja kocak, baik sebelum ataupun sesudah kejadian yang menggegerkan masyarakat desa setempat. Mengenai siapa sebenarnya yang mengerjai ketiga nenek tersebut, tidak ada yang tahu, bahkan Bejo dan Sugeng saling menutupi tingkahnya yang sungguh sangat keterlaluan itu.

Memang selalu ada hikmah di balik segala kejadian. Terlambat datang dan memaksa orang yang sudah sholat untuk menjadi imam hingga kemudian dikerjain sampai melakukan sujud terlama di dunia itu memang tidak bisa menyalahkan siapapun. Semua harus menyadari bahwa ibadah tentu ada aturannya sesuai yang ajaran agama.

Desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, 2021


*) Akhmad Sekhu, sastrawan dan juga wartawan, kelahiran desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, 27 Mei 1971. Bukunya; Penyeberangan ke Masa Depan (puisi, 1997), Cakrawala Menjelang (puisi, 2000), Jejak Gelisah (novel, 2005), Chemistry (novel, 2018), Pocinta (novel, 2021), Golden Scene (puisi, siap terbit), Semangat Orang-Orang Jempolan (cerpen, siap terbit).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *