Kabar buruk adalah bagian dari lirisisme kehidupan. Ada yang menginginkan kabar buruk sebagai pemercik kebahagiaan, terciptanya revolusi yang itu menjadi kabar buruk bagi kapitalisme. Ada juga yang tidak menginginkan kabar buruk, karena memukul langsung ke relung hati mereka seperti kecelakaan berdarah dan kematian. Perspektif psikoanalisis bekerja secara kritis dan mendalam mendedah bahwasanya seseorang yang menerima kabar buruk akan berlaku seperti seekor anjing yang kehilangan cara mengaum di malam hari. Maka, beberapa pilihan baginya muncul. Misal, mengendus tapak kaki ayam yang jika beruntung akan menemukan di mana mereka tidur, kemudian memangsanya. Di sisi lain, ayam yang tahu akan datang ancaman maut kepadanya, semampunya memberi tanda kepada si peternak dengan berkokok terus menerus. Jika beruntung, si peternak akan bangun dan segera mencabut tombak atau mengambil senapan laras panjangnya untuk mengamankan kepentingan perutnya. Jika tidak, ayam-ayam itu akan bernasib sama seperti seorang penulis pemula yang menyerahkan kehormatan kreatifitasnya ke tangan seorang redaktur koran. Le Cantate, Antonio Vivaldi!
Mamakku sedang sakit, tekanan persisnya – dia mengalami itu selama bertahun-tahun karena kehidupan baginya adalah rentetan kesedihan dan dia kehilangan cara untuk merayakannya – dan angin mendesir begitu saja. Perasaanku berkecamuk dalam diri dan aku tidak bisa menuliskan kata-kata selanjutnya untuk kabar buruk ini, karena Mamakku adalah korban rasisme gender, ketidakadilan Hak Asasi Manusia, kegagalan ekonomi-politik, dan impunitas demoCrazy. Akupun mengubah getir doa menjadi pandang mata untuk melihat dua sampai enam orang anak remaja, laki-laki dan perempuan, duduk termangu di tepi jalan Gresik-Surabaya menunggu lampu merah menyala sembari menjajakan bipang, tahu, kacang, dan koran yang mereka junjung atau jinjing; harap-harap cemas pada kekuasaan Tuhan untuk menjabah doa-doa dari nurani yang tercengkeram dalam suatu waktu sebelum sore tiba. Tata bahasanya nyaris sama, datar dan lirih. Begitu juga dengan wajah-wajahnya. Dalam bahasa pesakitan, menunggu, perasaan harap-harap cemas, tata bahasa yang datar dan lirih, dan raut wajah itu bukanlah sesuatu yang alamiah. Ada semacam kekuatan besar yang membayang-bayangi hingga menyebabkan harapan dan kecemasan ber metamorfosis menjadi ketakutan. Garis tegas pertama yang dapat ditarik dalam kondisi demikian adalah massifnya kejahatan kekuasaan negara dan pengambilan kebijakan oleh lembaga pemerintah tanpa menyerap unsur-unsur kebajikan. Ketika kejahatan kekuasaan negara dan pengambilan kebijakan tanpa menyerap unsur-unsur kebajikan dipilih menjadi tata cara berkehidupan, maka setiap waktu, di mana saja, orang-orang tersub-altern atau tertindih di dalamnya akan semakin mengering, layu, dan mati. Kemudian, adakah kepantasan, kesucian, dan kemuliaan baginya?
Sebelum catatan ketiga ini terbentuk dalam kepalaku, aku melakukan pertemuan dengan Penyair Penyendiri dari tanah sekarat, Lamongan. Meski sehari, pertemuan kami terasa berjalan panjang. Pembicaraan semakin menukik dan menohok tentang pergumulan “para pelacur” Sastra Indonesia di Jawa Timur. Jika pada pertemuan pertama kami melakukan perkenalan dan pemetaan “para pelacur” ini, pertemuan kedua kami merancang sistem dan pola menulis kritik. “Pelacuran” dalam dunia Sastra Indonesia merupakan kabar buruk yang selalu datang setiap hari, di mana saja, dan (selalu) hanya beberapa di antara kabar buruk itu dirombak habis para sastrawan komitmen. Maksudku, sastrawan yang benar-benar mencintai Sastra Indonesia dan menahbiskan hidupnya untuk cintanya itu. Selain itu, dalam perjalanannya, aku merasakan bahwa aku dan Penyair Penyendiri ini sama-sama hidup dalam satu lingkaran, pemiskinan. Namun demikian, pemiskinan tidak serta-merta menciptakan sekat. Justru pemiskinanlah yang melahirkan kesadaran kolektif bahwasanya seorang manusia harus meletakan kemanusian sebagai yang utama dan bahwasanya manusia merupakan cermin tanpa bayangan jika tidak ada manusia lainya. Ini pula yang menciptakan semangat derma dalam tindakan Penyair Penyendiri kepadaku dan semangat derma itu, setidaknya, membawaku ke dalam penghayatan hidup dan pemahaman atas kamus kehidupan.
Kamus kehidupan modern telah mendikte psikologi sekian (in)-telek!-(tual) untuk hidup sebagai, meminjam bahasa Edward Said, “yang berbeda” dari tatanan kehidupan atau pola berkehidupan di lingkungannya. Tragisnya, ketika sekian orang ini menjadi “yang berbeda” itu, justru menjadi (in)-telek!-(tual) yang percaya pada sistem kejahatan kekuasaan negara dan kaki-tangan lembaga pemerintah dengan harapan utopis, yaitu merubah sistem negara dan pemerintah dari dalam. Aku ingin mengatakan bahwa di antaranya adalah Megawati, Amien Rais, Fahri Hamzah, Fadli Zon, Adian Napitupulu, Budiman Sujatmiko, dan sejenisnya adalah sampah peradaban masa lalu yang berterbangan di peradaban masa kini dan sudah semestinya dibakar hangus. Melihat sampah-sampah ini bicara di televisi tentang “bagaimana semestinya berkehidupan dan bernegara”, membuat aku muak dan jijik. Mereka terlihat seperti ustad-ustad pseudomuslim yang berdakwah sembari secara tersirat mempolitisasi agama untuk mobil dan rumah terbarunya, sehingga menyebabkan dua sampai enam orang anak, lelaki dan perempuan, tertindas sedemikian rupa atau terjebak dalam mimpi Lelaki Tua dalam “The Old Man and The Sea”-nya Ernest Hemingway yang bermimpi mampu membawa seekor ikan paus ke daratan, tetapi melupakan ikan hiu yang kelaparan juga hidup di laut!
Faiz Ahmed Faiz, seorang Penyair Komunis dari Salkot, Pakistan menulis “Kita akan melihat/Tentu kita juga akan melihat hari itu yang telah dijanjikan kepada kita/Ketika gunung-gunung tinggi/Kezaliman dan penindasan ini berubah menjadi bulu dan menguap…/Dan kita tertindas/Di bawah kaki kita akan membuat Bumi ini bergetar, berguncang, dan memukul/Dan kepala para penguasa akan disambar/Dengan kilat yang berderak/dan guntur mengaum.” Bait pertama, kedua, dan ketiga puisi Faiz yang bertajuk “We Shall See” yang kuterjemahkan dengan kepayahanku belajar dan memahami bahasa Inggris membuatku katarsis dan secara progresif membelalak mata akal sehat dan mata nuraniku bahwasanya “Bumi, kilat, dan guntur” tidak akan tinggal diam terhadap penindasan yang terjadi tiada henti. Akan tetapi, secara tekstual Faiz menginginkan lahirnya kesadaran kolektif bahwa penindasan, apapun bentuknya, adalah “kezaliman” dan akan datang suatu “hari yang telah dijanjikan kepada kita” setelah kesadaran kolektif melahirkan pembangkangan massal.
Namun setiap pembangkangan memiliki konsekuensi logis dan sosial. Sisihkan dulu kata massal. Katakanlah, pembangkangan individual. Misal, ketika kau melakukan kritik terhadap nama baik presiden Negara Dunia Ketiga baik dengan teks atau non-teks, konsekuensi pertama yang akan kau terima adalah ancaman pidana dari polisi-siber (fuckin’ cyber-police) atau polisi tanpa martabat yang mendapatkan gaji kedua dari proyek fascism ini. Kemudian, media arus utama akan membuat berita dengan framing Bill Kovach dan Tom Rosentiel demi rating dan adsense. Oleh karena itu, sebelum menjadi massal terlebih dulu kita harus melakukan pemaknaan, pemahaman, dan pemetaan apa dan bagaimana kita menjadi pembangkang yang menjadi sementara kemunduran (in)-telek!-(tual) hukum yang tidak memiliki kemampuan membendung UU ITE dan Omnibus Law adalah kabar buruk lainnya. Setelah itu, jika kau seorang penulis, yakinlah dengan kata-kata yang jujur dan apa adanya yang lahir dari interpretasimu terhadap realitas sosial(is) akan memercikkan semangat anti-penindasan dan anti-penjajahan berkobar dalam akal sehat dan nurani pembacamu dan memunculkan semangat baru “Aku akan menulis hingga penguasa muntah darah!” Dengan demikian, pembangkangan individual akan menjadi massal.[]
Lekas pulih, Mamakku tercinta.
Surabaya, Juni 2021
* Ilustrasi dari University of Toronto Magazine
2 Replies to “Catatan Perjalanan dan Kabar Buruk (III)”