Muhammad Yasir
Aku sedang kelaparan dan harap-harap cemas karena anak kedua kami belum pulih betul. Keadaan seperti ini mengancam individualku sebagai manusia dan perspektifku sebagai seorang penyair yang kadang tidak hanya menulis puisi untuk meredam gejolak di dada dan pikiranku. Meski demikian, aku tetap duduk dan menahan di kursi kayu mewah milik keluarga besar Istriku yang baik kepadaku untuk menyelesaikan catatan ini dan kerja-kerja morilku sebagai bagian dari penindasan dan penderitaan yang terstruktur dan sistematis. Di awal ini, aku akan mengutip poin penting dari hasil wawancara MERIP bersama Mahmoud Darwish, seorang penyair Palestina yang eksil karena gejolak politik dan kekerasan kolonialisme di tanah-airnya.
“Situasi sulit yang dialami masyarakat Palestina saat ini telah mendorong sebagian warga Palestina putus asa. Tapi keputusasaan adalah kekuatan destruktif. Fenomena “martir”, untuk semua maksud dan tujuan, merupakan fenomena baru dalam konteks ini. Sebuah konsepsi kematian Syiah – sebuah model yang kita hubungkan dengan Lebanon selatan – telah ditransfer ke beberapa orang Palestina, dan itu harus diperhitungkan. Ketakutan akan fenomena ini mendorong Israel untuk mencari solusi politik, bukan hanya solusi keamanan, untuk masalah Palestina. Sampai saat ini, Israel telah membatasi diri pada wacana keamanan. Mereka tidak hanya berbicara tentang keamanan Israel, tetapi juga keamanan individu. Mereka menganggap Yasser Arafat bertanggung jawab atas keamanan setiap warga negara Israel. Tetapi tidak ada negara di dunia yang dapat menjamin keamanan warga masyarakat tetangganya. Masalah sikap baru Palestina terhadap kematian hanya dapat diubah jika kita membuka pintu kehidupan bagi orang-orang. Mentalitas bunuh diri tidak berasal dari beberapa penolakan teoretis terhadap solusi. Sejak saat itu, prinsip perdamaian telah berakar dalam semangat semua orang Arab. Ini adalah fakta fundamental baru, momen bersejarah. Ketika orang merasa benar-benar hidup di negara mereka, dan tidak di bawah pendudukan, ketika mereka diizinkan untuk hidup dalam kebebasan, maka kematian tidak lagi menjadi tujuan bagi dirinya sendiri.”
Hal pertama yang kurasakan adalah Mona Naim – pewawancara – telah melakukan pemadatan atas kegelisahan dan tragedi yang tersirat dalam setiap perkataan Darwish, sehingga poin penting ini terkesan memunculkan jarak ruang antara Palestina dan Darwish. Namun bukan itu tujuan dari catatan ini. Tentu saja, sudah dijelas pada judul bahwa inti dari tulisan ini adalah “Menciptakan Ruang”. Seperti yang dikatakan Darwish, “Masalah sikap baru Palestina terhadap kematian hanya dapat diubah jika kita membuka pintu kehidupan bagi orang-orang. Mentalitas bunuh diri tidak berasal dari beberapa penolakan teoretis terhadap solusi. Sejak saat itu, prinsip perdamaian telah berakar dalam semangat semua orang Arab. Ini adalah fakta fundamental baru, momen bersejarah. Ketika orang merasa benar-benar hidup di negara mereka, dan tidak di bawah pendudukan, ketika mereka diizinkan untuk hidup dalam kebebasan, maka kematian tidak lagi menjadi tujuan bagi dirinya sendiri.” Artinya, apabila semua upaya dilakukan untuk semangat zaman pembebasan ditaklukan oleh negara dan pemerintah melalui kriminalisasi, artinya harus ada upaya-upaya “membuka pintu kehidupan bagi orang-orang” yang dapat dimaknai harus ada ruang ditengah rezim kekuasaan di Negara Dunia Ketiga yang semakin menyempit dan eksklusif.
Di Kalimantan Tengah, tanah kelahiranku, aku menjalani kehidupan yang mencekam. Ruang milikku adalah rumah tanpa kamar dan kamar mandi. Keberadaanku hanyalah sebagian kecil dari debu pohon yang keluar dari dengung sensaw. Bahkan, aku sempat berpikir akan mati konyol di sana sebagai penulis buih yang tidak sempat menjadi gelembung untuk kemudian pecah di udara. Betapa tidak? Aku memiliki kelemahan yang menyedihkan. Kehidupan sehari-hari keluarga kecilku berdampingan dengan perkebunan kelapa sawit yang setiap hari meningkatkan produksi bahan baku margarin, mentega, kosmetik, dan sampo disaat bersamaan mereka juga menghisap buruh hingga ke sum-sum tulang mereka. Tidak hanya itu. Catat, rezim tanpa martabat seperti sekarang ini membiarkan kapitalisme berbasis perkebunan kelapa sawit menciptakan ide-ide atau gagasan penindasan permanen, tetapi juga menciptakan dunia baru, ide baru, dan cita-cita baru anak-anak dan pemuda kami. Mayoritas, mereka menahbiskan diri ke perkebunan dengan harapan mendapat gaji tertinggi, sehingga menciptakan pola ini: seorang buruh perempuan memiliki anak dan si anak sedang sekolah atas, setelah lulus si anak melamar menjadi mandor di perkebunan, kemudian bertahun-tahun berikutnya si anak menikah dan memiliki anak, lalu si anak ini dikarunia seorang anak yang ketika dewasa menjadi seorang Sarjana Perkebunan Kelapa Sawit dan akhirnya bekerja sebagai menejer yang memerintah bapak dan neneknya.
Aku terjebak begitu lama di sana, hanya sesekali suara papan ketikku yang berbunyi tengah malam ketika anak dan Istriku tidur lelap. Morilku menuntut pertanggungjawaban intelektualitasku, sehingga membuatku berpikir untuk menghentikan kreatifitasku dan memilih bekerja di perkebunan kelapa sawit. Akan tetapi, akal sehat dan nuraniku menolak keras. Kadang-kadang, saking tidak kuasa menahan aku marah kepada diriku sendiri. Bagaimana pun, aku tidak akan menyerahkan kehormatanku sebagai manusia dan penyair kepada lingkungan yang terbentuk dari darah leluhur dan rimbaku. Alhasil, aku memutuskan untuk kembali bertualang ke tanah Jawa yang begitu sempit dan ekslusif ini dengan tujuan agar aku tidak mati konyol dan mewujudkan cita-cita keluarga kecilku. Dan, sampailah aku di Surabaya yang perlahan-tapi-pasti juga akan menjeratku ke dalam sesuatu yang mengerikan.
Keluarga Istriku memberi kami sebuah ruang untuk dijadikan apa pun, terserah kami. Dengan ruang itu, aku menciptakan ruang baru untuk belajar, bertahan, dan bertindak sebagaimana nyanyian pembebasan dan seorang suami serta papa bagi anak-anakku. Istriku yang cantik mendukung keinginanku memiliki toko buku dengan catatan aku harus menjalankan tugasku sebagai seorang suami. Jadilah, toko buku itu meskipun di awal ini nampak sekadar dan kurang layak dikatakan sebagai toko buku. Paling tidak, aku memiliki ruang untuk menghayati kesalahan-kesalahan pekerjaan moril di kampung halamanku. Sore tadi, beberapa angkatan muda Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya bertandang ke toko buku kami. Kami bicara sebagaimana kami angkatan muda Sastra Indonesia. Mereka mencurahkan kegelisahan mereka terhadap ruang Sastra Indonesia di Surabaya ini mengalami penyempitan dan ekslusif. Selain itu, egosentrisme dan sikap patronistik juga kental dalam kelompok-kelompok yang tidak malu mendaku sebagai “Pemerhati Sastra”(?) yang justru menganggap “semakin menyempitnya ruang, semakin ekslusifnya kerja kreatif, tingginya egosentrisme, dan semakin berpatronya mereka, maka dengan begitu semakin tinggi dan mewah pula estetika mereka”. Benarkah demikian?
Di akhir pertemuan, di sebuah gang sempit menuju rumah keluargaku, seorang kakak yang kini hidup di Turki memberiku peringatan bahwa “di Surabaya itu orang-orang (Sastra-nya) arogan. Kritik sastra mereka alakadarnya. Kebanyakan dari mereka Chauvinism!” Aku akan mengingat dan mempelajarinya. Dan, oh! Anakku masih terbaring, terkulai di kasurnya. Maaf, Nak.
Surabaya, Juni 2021
2 Replies to “Catatan Perjalanan dan Menciptakan Ruang (II)”