: (sebuah catatan proses penciptaan puisi)
Amien Kamil *
Apapun bentuknya, setiap karya seni mencoba untuk memvisualisasikan ide, sekaligus cermin dari refleksi pengalaman batin. Karya yang tercipta tak hanya aksi reaksi terhadap apapun yang muncul ketika karya tersebut baru sekedar ide. Setiap penyair haruslah betul-betul merenungkan dan menimbang serta memutuskan setiap kata, tanda baca, ejaan, idiom, simbol, serta irama yang tepat, entah itu berupa metafora ataupun sejumlah tanda-tanda yang mewakili suasana batinnya. Suatu kali aku pernah terhenyak dan kaku, mulut bisu tak mampu bicara seakan terkesima sesaat mendapat pencerahan dari suara yang terdengar di tengah malam buta; “Tubuhmu memiliki ribuan daun telinga untuk membaca jutaan milyard tanda-tanda!”
Uuufff, memang setiap penyair haruslah terus terjaga mata batinnya dan ia juga harus tega dan rela untuk memangkas dan menggergaji setiap kata yang tak dibutuhkan atau kalau perlu membuangnya ke tong sampah setiap ide yang basi dan tak memberi impresi serta daya gugah bagi dirinya maupun orang lain. Seorang penyair tak gampang terpukau dan silau, ia mampu menahan dan merenungkan setiap pengalamannya lantas mengkristalisi dengan deskripsi puitis yang menggugah pembacanya mengalami keindahan indrawi dan hayati.
Minimal gagasan yang muncul haruslah diendapkan lebih dahulu, tentu saja ia juga punya notes untuk manuskripnya agar langsung menuliskan spontanitas pilihan kata ketika Ilham menghampirinya tetap sesuai dengan yang dikehendaki oleh karya itu sendiri. Diperlukan kontemplasi pada segala impuls-impuls yang menyertai “kutika” saat momentum penciptaan merangsangnya untuk mencipta puisi tersebut. Sekaligus ia haruslah juga menanggapi problematik suasana kehidupan di dalam dan di luar dirinya. Sehingga karyanya mempunyai warna dan karakteristik yang unik serta otentik serta sesuai dengan jati dirinya.
Setiap penyair ketika mencipta mempunyai proses kreatif yang berbeda-beda, tergantung dari karakteristik serta pemahamannya terhadap sesuatu hal, namun bisa pula berhubungan dengan kebiasaannya menghadapi ruang dan waktu atau kecenderungannya terhadap tema-tema dan kondisi tertentu. Sementara itu, wilayah ruang dan daerah penciptaan yang erat dengan citra sedemikian terbuka untuk dijelajahi oleh siapapun juga.
Namun paling tidak, aku meyakini bahwa dibutuhkan kepekaan artistik untuk mencermati serta menangkap gelombang dan sinyal-sinyal estetika yang bisa hadir kapan saja dan dimana saja. Seorang penyair semestinya haruslah selalu siaga dan membuka pintu imajinasinya untuk menampung apapun taburan gagasan yang bertebaran di alam raya. Aku teringat apa yang dikatakan oleh Rendra dalam sebuah sajaknya; “Kemarin dan esok, adalah hari ini. Bencana dan keberuntungan, sama saja. Langit di luar, langit di badan, bersatu dalam jiwa.”
Setiap gagasan haruslah secara intens pula digumuli terus menerus hingga karya itu “menjadi” kristalisasi diri penyairnya. Karya yang menjelma tak hanya memuaskan diri sendiri, tapi bisa menimbulkan inspirasi dan pencerahan bagi penikmatnya. Bahkan bukan tak mungkin, karya yang baik tak akan lekang dimakan jaman dan bisa pula menembus ruang waktu. Menurutku setiap ide tak hanya berhenti pada gagasan yang melambung atau hanya berupa letupan busa balon sabun semata.
Setiap puisi mempunyai berbagai dimensi dan multi tafsir, kita bisa menyerap apa yang tersirat dari yang tersurat. Dimensi tersebut berupa lapisan demi lapisan impresi puitik yang menukik ke kedalaman relung batin. Sejumput pesan yang mubazir untuk dilewatkan. Pabila kita mencoba menelaah kembali, bisa pula karya puisi tersebut memberi pencerahan dan merangsang inspirasi kita ketika memasuki gua imajinasi yang diciptakan oleh penyairnya. Sebuah ruang maha luas dan tak bertepi. Sebuah daerah yang tak ada dalam peta dunia. Bahkan bisa juga dari sebuah puisi, (bukan tak mungkin) sebuah planet tercipta!
Salam dari distrik puisi, kepulauan kata, Republik bahasa.
Jakarta, 5 Juli 2008.
*) Amien Kamil, lahir di Jakarta 1963. Tahun 1983, sempat belajar di Sinematografi Institut Kesenian Jakarta. Tahun 1986-1996, bergabung dengan Bengkel Teater Rendra, terlibat dalam beberapa pementasan di kota-kota besar di Indonesia. Tahun 1988, ikut serta dalam “The First New York International Festival Of The Arts”, sempat juga mengikuti workshop di “Bread & Puppets Theatre” di Vermont, USA. Tahun 1990, pentas di Tokyo & Hiroshima, Japan. Tahun 1999, Tour Musik Iwan Fals di Seoul, Korea. Lighting Design untuk konser musik Iwan Fals hingga tahun 2002, pentas di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Tahun 2003-2005, kolaborasi dengan penyair Jerman Brigitte Oleschinski. Pentas multimedia di Berlin, Koln, Bremen dan Hamburg. Selain itu juga memberikan workshop teater di Universitas Hamburg, Leipzig dan Passau. Mengikuti International Literature Festival “Letras Del Mundo” di Tamaulipas-Tampico, Mexico.
Tahun 2006, Sutradara “Out Of The Sea”, Slavomir Mrozek, Republic of Performing Arts, Teater Utan kayu, Jakarta. Tahun 2007, Antologi puisi “Tamsil Tubuh Terbelah” terbit dan masuk dalam 10 besar buku puisi terbaik Khatulistiwa Literary Award 2007. Tahun 2008, Poetry Performing “Tamsil Tubuh terbelah”, kolaborasi dengan Iwan Fals, Oppie Andaresta, Irawan Karseno, Toto Tewel, Njagong Percusion, Republic of Performing Arts, di Teater Studio, Taman Ismail Marzuki. Tahun 2009, Pameran lukisan & Instalasi “World Without Word” di Newseum Café. Tahun 2010, Sutradara Performing Arts “Elemental”, kolaborasi dengan pelukis mancanegara, Jakarta International School. Tahun 2011, Sutradara “Sie Djin Koei”, Republic of Performing Arts, Mall Ciputra, Jakarta. Di bulan April, Sutradara & Perancang Topeng “Macbeth”, William Shakespeare, Produksi Road Teater, Gedung Kesenian Jakarta. Mei-Juni, Kunjungan Budaya ke Denmark, Germany dan Norway. Juli, Mengikuti “ International Culture Dance Festival 2011” Sidi Bel Abbes, Algier, North Africa.