Dari Tour de France hingga Hemingway

Eko Darmoko
Koran Tempo, 5 Okt 2019

Bertahun-tahun yang lalu, ia berkelana mengiris garis khatulistiwa di Kalimantan. Ia punya banyak pilihan, tapi akhirnya tergelincir ke selatan. Memasuki Pulau Madura, baginya, seperti pengembaraannya di Turki ketika usianya belasan tahun. Wanita kebanyakan, yang dilihatnya, selalu berkerudung. Masjid juga menjadi bangunan yang selalu dilihatnya.

Kerudung pertama dibeli Celine di Istanbul. Dan kerudung itu dipakainya lagi ketika merayapi Madura yang panas. Di mata Kacong Madura, barangkali, wanita pirang bermata biru mengenakan kerudung adalah hal yang tidak umum. Apalagi Celine juga menggotong ransel raksasa. Jelas Celine bukan buruh angkut. Sebab yang dibawanya adalah barang pribadi miliknya.

Sebelum merayapi Madura, Celine menghabiskan waktu satu bulan di Lombok dan Bali. Tak ada yang spesial dari Lombok atau Bali, jika dibandingkan dengan Madura. Begitu pikir Celine waktu itu.

Berhari-hari di Madura, Celine menghabiskan waktunya di kendaraan yang ia tumpangi, tidur seadanya di kantor polisi. Yang paling sering adalah numpang tidur di masjid. Barulah, ketika kembali ke Bangkalan, Celine menemukan kamar.

Kamar ini bukanlah kamar hotel atau hostel. Lebih tepatnya, kamar ini adalah kamar nganggur yang terletak di komplek Madrasah Tsanawiyah dekat Pelabuhan Kamal. Dari cara bertanya-tanya, tentunya dengan Bahasa Indonesia pas-pasan, Celine mengetahui ada kamar nganggur di sekolah itu.

Ia memberanikan diri mendatangi pengelola sekolah—ia memohon agar pengelola sekolah berkenan menyewakan kamar itu untuk beberapa hari. Wajah Celine memerah bahagia ketika pengelola sekolah mengabarkan; Celine boleh meninggali kamar nganggur itu gratis. Dengan catatan, kata pengelola sekolah, Celine mau menjadi guru tamu untuk pelajaran Bahasa Inggris. Celine antusias menerima ‘pekerjaan’ ini, sebab ia memang menyukai anak-anak.
***

Ratusan gambar di laptop membuatnya bingung. Pekerjaan pamungkas inilah yang justru menyita banyak tenaganya. Enam kaleng bir dan sebungkus rokok sudah tandas. Namun, Celine belum juga memilih beberapa gambar dari ratusan gambar itu. Hanya satu gambar yang pasti dipilihnya: Aksi pembalap Christopher Froome saat melintasi garis finis di Puncak Alpe d’Huez di penghujung etape Tour de France.

Gambar Froome pasti diminta redaktur fotonya. Sebab, tahun ini, pembalap asal Inggris yang tergabung dalam Team Sky ini menjadi juara Tour de France. Froome tidak hanya berhak atas yellow jersey karena menjuarai general classification, tapi juga menyabet polka dot jersey sebagai King of the Mountain.

“Gambar Froome pasti naik cetak,” gerutu Celine dalam hati.

Celine meninggalkan laptop jahanam itu. Bungkus rokok ia remas, Celine agak terkejut—sebab masih terselip satu batang. Rokok yang nyaris putus itu ia sulut. Udara kamar bertambah pengap. Seperti mencari ilham, gambar mana lagi yang akan dikirimkan kepada redaktur fotonya, Celine tampak mondar-mandir merayapi kamarnya.

Jendela kamar lantai sembilan yang sedikit terbuka itu, kini dibuka sepenuhnya. Senja merambati Paris. Radio yang sedari tadi ngoceh tak jelas, hendak dimatikan. Namun, Celine mengurungkannya ketika mendengar suara Joe Dassin menyanyikan Les Champs Elysees. Di depan radio, penerawangan Celine menembus jauh.

Wajah Slamet tiba-tiba muncul di hadapannya. Celine berdansa dengan Slamet diiringi suara Joe Dassin. Senja ini begitu romantis. Namun, buru-buru ia membuang khayalan ini. Celine akhirnya ingat bahwa ia sangat membenci Slamet. Di dunia ini, Celine membenci banyak hal, dan kebenciannya kepada Slamet adalah kebencian yang paling besar sekaligus absurd.
***

Mengajar anak-anak Madrasah Tsanawaiyah, Celine lebih banyak melakukan obrolan ketimbang menerangkan struktur Bahasa Inggris. Di dalam kelas, tentu saja Celine didampingi guru pengampu mata pelalajaran Bahasa Inggris. Kadang, jika Celine kesusahan mendapatkan ‘kata’ Bahasa Indonesia yang ingin ia ucapkan, bertanyalah ia kepada guru pengampu itu.

Paling banter, Celine hanya masuk kelas sebanyak tiga kali dalam sehari. Separuh hari sisanya, Celine habiskan untuk kluyuran ke sudut-sudut Bangkalan. Celine suka memotret aktivitas masyarakat di sekitaran Pelabuhan Kamal. Sesekali, Celine juga menusuk ke sudut lain Bangkalan, memotret bukit-bukit kapur yang jarang ia lihat.

Guru pengampu Bahasa Inggris, Slamet, adalah orang yang sering mengantar Celine ketika berburu gambar. Slamet, memang belum setahun mengajar di Bangkalan, namun Slamet sudah lumayan paham tentang lekuk tubuh Bangkalan.

“Seberapa sering kamu pulang ke Surabaya?” tanya Celine sambil memotret kapal-kapal di Pelabuhan Kamal. Saat berbicara dengan Slamet, Celine sangat berhati-hati dalam mengucapkan kalimat—Celine tak ingin keliru. Ia perlu berpikir beberapa saat sebelum mengucapkan kalimatnya kepada Slamet.

“Biasanya tiap dua minggu sekali. Atau paling lama sebulan sekali aku pulang ke Surabaya,” jawab Slamet.

“Jika pulang ke Surabaya, dan kamu tidak keberatan, bolehkah aku ikut? Aku ingin mencari gambar di Surabaya. Barangkali ada yang menarik.”

“Boleh! Aku juga ingin pulang. Sekalian ingin membeli buku. Di Bangkalan, susah mencari buku. Belum pernah aku temui toko buku di sini yang selengkap toko buku di Surabaya.”

“Buku apa yang kamu suka?”

“Kebanyakan prosa.”

“Terakhir yang kamu baca?”

“The Old Man and The Sea. Seminggu yang lalu.”

Tawa Celine meledak. “Ketika aku kanak-kanak di London, aku sudah membacai buku-buku Ernest Hemingway. The Old Man and The Sea adalah buku pertama Hemingway yang kubaca.”

Slamet tersenyum kecut sambil menggaruk brewok tipisnya—yang sebenarnya tidak gatal. “Lantas, kapan kamu terakhir kali pulang ke London? Dari ceritamu sebelumnya, kamu sudah lama meninggalkan rumah untuk berkelana.”

“Yeay, kapan ya itu? Aku lupa!” ucap Celine diakhiri gigitan pada bibir bawahnya sendiri. “Oh ya, aku ada buku banyak di ranselku, mungkin kamu tertarik untuk membacanya. Kamu sudah baca Snows of Kilimanjaro?”

Slamet menggelengkan kepalanya sambil matanya menjelajahi wajah Celine. Bagi Slamet, wajah Celine sangat teduh. Mata birunya, alisnya, hidung, dagu, dan bibir Celine membuat Slamet berubah menjadi lelaki penuh gairah.

“Akhir pekan ini aku ke Surabaya. Mau ikut?”

Mendengar ajakan ini, Celine girang bukan kepalang. Dipeluknya tubuh Slamet sambil berjingkrak ria.
***

Senja yang merambati Paris berganti petang. Bulan yang menggantung di pucuk sana, seakan menari bersama ribuan kelip lampu Paris. Nun jauh di sana, Celine menangkap gemerlap cahaya Eiffel.

Usai mengirim gambar Christopher Froome, ia mengirim beberapa gambar hasil jepretan selama Tour de France kepada redaktur fotonya. Pekerjaan pamungkas sudah rampung. Kini, Celine akan memasuki cuti panjang. Biasanya, cuti panjang akan dimanfaatkannya untuk plesir atau paling tidak pulang ke London; mengunjungi orang tua dan adik-adiknya. Namun, gairah seperti itu telah hilang.

“Apa aku harus mengiris khatulistiwa lagi dan tergelincir ke selatan?” Celine meratap dalam hati.

Kamar di lantai sembilan yang sudah ditinggali Celine selama dua tahun di Paris ini, mendadak berubah menjadi kamar mungil di komplek Madrasah Tsanawiyah di dekat Pelabuhan Kamal, Bangkalan.

Buku-buku yang berjajar di rak dalam kamar lantai sembilan itu, sebagian pernah Celine bawa ketika merayapi Madura. Rak yang menyimpan buku Hemingway—menarik perhatian Celine untuk membelainya. Tangan Celine merasai debu tipis di jajaran buku Hemingway. Diraihnya Snows of Kilimanjaro.

Sambil memegang Snows of Kilimanjaro, air mata Celine menetes. Wajah Slamet kembali muncul di hadapannya. Snows of Kilimanjaro itu pernah dibawa Slamet berhari-hari. Celine meminjamkan buku itu kepada Slamet.

“Untuk apa aku harus menangis hanya karena lelaki pengecut macam Slamet?” Celine meracau. “Bahkan, mungkin Slamet tidak tahu soal kematian anaknya. Anak yang kukandung.”
***

Di Surabaya, setelah mengajak Celine ke rumahnya, Slamet pun mengajak Celine menyusuri Surabaya. Slamet meminjam dua sepeda kepada kawannya. Dengan sepeda ini, Slamet dan Celine menikmati senja yang turun di Surabaya.

“Sejak lama aku menyukai aktivitas bersepeda. Suatu kali, aku ingin terlibat dalam Tour de France. Aku ingin memotret kejuaraan itu,” ucap Celine.

“Kamu pasti melakukannya. Suatu saat nanti,” timpal Slamet.

Surabaya sudah menginjak tengah malam. Dua manusia ini memutuskan menyewa kamar hotel yang terletak di tengah kota. Di kamar hotel, Slamet mengulurkan Snows of Kilimanjaro kepada Celine.

“Terima kasih! Cerita dalam buku ini sangat hidup,” kata Slamet. Celine melemparkan senyum mungil.

Selanjutnya, tak ada lagi percakapan. Celine memutar Les Champs Elysees, berulang-ulang dari pemutar musiknya. Slamet dan Celine saling pandang. Sangat lama. Hingga akhirnya mereka menuntaskan hasrat di ranjang empuk.
***

“Slamet, aku di London. Sekarang aku mengandung anakmu! Usai melahirkan, aku akan bekerja di Paris sebagai fotografer,” kata Celine via telepon.

Mendengarnya, Slamet tak mampu berucap walau sehuruf. Air mata Slamet menetes deras—tentu saja Celine tak bisa melihatnya. Celine hanya bisa mendengar nafas berat yang dihembuskan Slamet.

“Celine… Aku… Aku senang mendengarnya. Tapi, tapi istriku juga sedang mengandung,” balas Slamet. Tubuh Slamet bergetar.

“Kamu sudah menikah?”

“Iya. Aku dijodohkan oleh orang tuaku. Aku tidak lagi mengajar di Bangkalan. Aku pindah ke Jombang.”

“Dasar lelaki pengecut. Aku benci kamu!”

Sejak percakapan via telepon ini, keduanya tidak pernah saling hubung lagi. Bahkan, ketika Celine melahirkan anak laki-laki, ia enggan memberitahu Slamet.

“Buat apa menelepon lelaki pengecut itu?” ucap Celine sambil menimang Hemingway—anak laki-laki yang wajahnya mirip Slamet.

Hemingway lahir prematur. Kondisinya tidak stabil sejak dilahirkan. Singkat cerita, satu bulan kemudian, Hemingway meninggal dunia. Celine memaksa diri untuk mengabari Slamet. Namun, ponsel milik Slamet tidak aktif lagi. “Dasar pengecut!” umpat Celine.

Sudah pasti ponsel Slamet tidak aktif, sebab pemiliknya sudah meninggal dunia. Slamet tewas ditabrak truk selepas pulang dari kantor imigrasi untuk mengurus paspor. Diam-diam, Slamet ingin membuat kejutan; ia ingin mengunjungi Celine yang sedang mengandung anaknya di London. Namun, kini tubuh Slamet sudah menyatu dengan tanah.

***

Leave a Reply

Bahasa »