GAIRAH KRITIK SASTRA


Budi Darma
Kompas, 21 Des 1997

Kritikus sastra tidak perlu dituntut terlebih dahulu harus tahu teori sastra, demikian kata Sapardi Djoko Damono dan Melani Budianta (Kompas, 16/12/1997). Menurut mereka, kritikus harus bergulat dengan karya sastra, bukan teori sastra. Pendapat Sapardi dan Melani tidak lain merupakan tanggapan atas makalah saya mengenai kritik sastra dalam PSN (Pertemuan Sastrawan Nusantara) IV/Persi (Pertemuan Sastrawan Indonesia) 1997, 6-11 Desember 1997, di Kayutanam, Padang.

Sapardi, Melani, dan saya, memang sejalan. Pendapat mereka tepat sama dengan makalah saya. Karena itu, dalam diskusi di Padang, Rachmat Djoko Pradopo menyatakan, seolah saya menyalahkan kritik sastra akademik. Tidak lain, karena kritik akademik terlalu menggantungkan diri pada teori sastra.

Mengapa kritikus sastra bergulat dengan karya sastra, bukan dengan teori sastra? Karena, beda antara kritik sastra dan karya sastra tidak sama dengan beda antara telur dan ayam. Karena ada karya sastra, maka, barulah ada kritik sastra. Teori sastra juga demikian. Karena ada karya sastra, maka ada teori sastra.

Berwawasan

Kritik sastra dalam arti sebenarnya, adalah kritik sastra yang visioner, yaitu sanggup memberi wawasan. Maka, kritik sastra semacam ini tidak sekedar membuat pembaca mengerti lebih banyak mengenai karya sastra yang dibahas kritikus, tapi juga membuat pembaca mengerti hakikat sastra secara komprehensif. Kritik sastra semacam ini, dengan sendirinya, tidak sekadar utak-utik karya sastra secara teknis mekanistis.

Kalau kita ingin tahu kritik sastra yang visioner, bacalah, misalnya, kritik sastra Sutardji Calzoum Bachri mengenai Sapardi Djoko Damono sebagai penyair imagis. Dengan membaca kritik ini kita bukan hanya tambah mengerti mengenai sajak-sajak Sapardi Djoko Damono dan mengenai imajisme, namun juga mengenai kepenyairan Sapardi Djoko Damono, dan gambaran komprehensif mengenai bagaimana peta perpuisian Indonesia sebenarnya. Gairah Sutardji dalam menulis kritik sastra semacam ini, tidak lain karena pergulatannya dengan sajak-sajak Sapardi, bukan dengan teori.

Pengertian “memberi wawasan” di sini dapat juga berarti memberi inspirasi. Dengan membaca kritik sastra visioner, pengarang dapat memperoleh inspirasi untuk menulis karya sastra, dan kritikus lain dapat memperoleh inspirasi untuk menulis kritik sastra lain. Contohnya bukan main banyak.

Mengenai kritik sastra yang sanggup memberi inspirasi kepada pengarang untuk menulis karya sastra, perkenankan saya memaparkan sebagian kecil proses kreatif saya. Novel, cerpen (juga esai) saya tidak lain saya tulis karena berbagai inspirasi dari berbagai sumber. Salah-satu sumber inspirasi tidak lain adalah kritik sastra. Olenka, misalnya, saya tulis antara lain karena inspirasi dari kritik sastra T.S. Eliot mengenai drama zaman Elizabeth I. Kritik sastra ini sama-sekali tidak detail mekanistis, namun karya pandangan.

Lalu, contoh mengenai kritik sastra yang memberi inspirasi kepada kritikus lain untuk menulis kritik sastra dapat kita lihat pada Goenawan Mohamad, bukan dalam kedudukannya sebagai penyair, namun sebagai kritikus. Dia pernah menulis kritik terhadap sajak-sajak Sapardi. Kemudian, kritik sastra Goenawan memberi inspirasi kepada Sapardi, dalam kedudukannya sebagai kritikus, untuk menulis kritik sastra mengenai sajak-sajak Abdul Hadi W.M.

Dari karya sastra

Asal-usul Olenka, kritik sastra Goenawan, dan kritik sastra Sapardi, tidak lain bersumber dari karya sastra. Dari karya sastra, meluncur kritik sastra. Dari kritik sastra, meluncur karya sastra. Namun, sekali lagi, sumber semula tidak lain adalah karya sastra.

Tentu saja, kritik sastra bukan satu-satunya sumber bagi pengarang untuk menulis karya sastra, dan bukan satu-satunya sumber bagi kritikus lain untuk menulis kritik sastra. Namun, di antara sekian banyak sumber, salah-satu sumber penting adalah karya sastra. Ungkapan klasik “karya sastra tidak jatuh dari langit”, sebenarnya menyiratkan, sebuah karya sastra terbentuk karena karya-karya sastra sebelumnya.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป