Ribut Wijoto *
beritajatim.com, 31 Des 2019
Mungkin kegiatan sastra di kota Surabaya belumlah sekencang di kota Yogyakarta dan Jakarta. Apalagi Surabaya sejak zaman Belanda lebih dikenal sebagai kota industri, kota dagang. Namun bukan berarti kegiatan sastra tidak bergeliat.
Tulisan ini mencoba merekam kembali kegiatan sastra di kota Surabaya dalam rentang waktu tahun 1972 hingga tahun 1991. Bukan perekaman yang mendalam. Sebatas sepintas lalu dengan mengambil data dari kliping koran dan beberapa sumber pustaka.
Jangkauan wilayahnya juga tidak terlalu luas. Bukan melacak kegiatan sastra di beragam lokasi atau gedung kesenian. tulisan ini membatasi diri pada kegiatan sastra yang terutama di kompleks Balai Pemuda Surabaya. Itupun sejauh terkait dengan institusi Dewan Kesenian Surabaya.
Sampai sekitar 15 tahun sejak berdirinya, lomba deklamasi adalah ajang paling efektif yang mendekatkan Dewan Kesenian Surabaya dengan khalayak ramai (baca: masyarakat). Ajang tahunan ini juga sukses menumbuhkan minat dan kecintaan anak-anak (bahkan siswa SLTA dan mahasiswa) terhadap karya sastra.
Merujuk pada buku tentang sejarah Bengkel Muda Surabaya (BMS), organisasi ini berdiri berkat ajang deklamasi. Waktu itu 4 April 1972, ada lomba deklamasi antar pelajar SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) dan Mahasiswa se Surabaya yang diselenggarakan Dewan Kesenian Surabaya (DKS). Melihat kemampuan anak-anak muda dalam lomba tersebut, DKS bermaksud melahirkan satu wadah guna menampung kegiatan kesenian mereka.
Lewat beberapa kali pendekatan, dilakukan pertemuan dan musyawarah antara DKS dan beberapa tokoh anak muda yang aktif bergerak di bidang kesenian. Saat itu 21 Mei 1972, terbentuklah wadah anak mudah bernama Bengkel Muda Dewan Kesenian Surabaya (BM DKS). Namun pada tanggal 20 Desember 1972, BM DKS memisahkan diri dari DKS dan berdiri secara independen dengan nama Bengkel Muda Surabaya. Meski begitu, dalam perjalanannya, banyak sastrawan dari BMS yang terlibat dalam kepengurusan DKS. Bahkan hingga sekarang.
Selama tiga hari, yakni 4 6 April 1975, Dewan Kesenian Surabaya menggelar lomba deklamasi tingkat SLTA dan mahasiswa. Lomba dilaksanakan di Balai Pertemuan Maranatha Surabaya. Lomba ini sangat meriah sampai-sampai banyak penonton yang berada di luar gedung.
Memperingati Kemerdekaan Republik Indonesia, sebuah acara bertajuk Malam Epos 74 digelar Dewan Kesenian Surabaya, 19 Agustus 1974 di halaman DKS. Acara ini berupa pembacaan puisi, musik, dan tari. Atik Koentjoro (istri Abdul Hadi WM) membaca puisi di acara ini.
Tahun 1975, Dewan Kesenian Surabaya mengeluarkan buku puisi bertajuk Antologi Puisi 25 Penyair Surabaya. Buku setelah 130 halaman ini dieditori oleh Suripan Sadi Hutomo.
Setahun berikutnya, 1976, Dewan Kesenian Surabaya mengeluarkan buku puisi berjudul Surabaya dalam Puisi Indonesia. Buku setebal 24 halaman ini berisi puisi-puisi tentang Surabaya. Uniknya, meski bertitel Surabaya, di buku itu tersebut ada karya penyair dari daerah lain. Salah satunya adalah puisi dari Linus Suryadi AG, penyair asal Yogyakarta. Penyair lainnya adalah Toto Sudarto Bachtiar, Kirdjomuljo, Sapardi Djoko Damono, Gerson Poyk, Wiwiek Hidayat, Matius Muda, Luthfi Rahman, dan lain-lain. Sedikit berbeda dengan antologi tahun sebelum, buku ini dieditori oleh Suripan Sadi Hutomo dan Muhammad Ali.
Tanggal 31 Juli 1977 berdiri Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS). Menurut sfaf Ahli dari Balai Bahasa Jatim, Yulitin Sungkowati, pendirian PPSJ tidak terlepas dari peran pengurus DKS. Setelah berdiri, kegiatan PPSJS juga kerap difasilitasi oleh DKS.
Pada tahun 1978, Dewan Kesenian Surabaya menggelar Pekan Seni Surabaya. Acara pembukaan tanggal 11 Desember 1978. Satu bentuk seni yang dinantikan dalam acara ini deklamatorium, sebuah pembacaan puisi dengan diiringi musik.
Pekan Seni Surabaya 1978 juga diisi dengan Sarasehan Sastra. Acara digelar di kantor DKS. Dalam diskusi ini, Muhammad Ali bertindak sebagai pembicara dengan mengusung tema Jalur sastra modern Surabaya dengan segala aspek dan jaringan impaknya.
Sekitar tahun 1980-an, terbit Majalah Loka Sastra. Beberapa edisi kemudian, Loka Sastra menjadi bagian dari Dewan Kesenian Surabaya. Majalah ini digawangi oleh Djoko Suud Sukahar, Jil P Kalaran, Amir Kiah, dan beberapa orang lain. Isi majalah mengutamakan bidang sastra namun juga memuat bidang-bidang seni lainnya, yaitu teater dan seni rupa.
Ketika itu, distribusi majalah ini telah mampu menjangkau ke wilayah-wilayah yang jauh. Termasuk ke Jakarta, Ledareo Flores, Arraniri Aceh, dan kampus-kampus yang dipenuhi aktivis. Tokoh-tokoh sastra di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta sangat mengapreasiasi tiap-tiap edisi majalah ini.
Mengapa majalah Loka Sastra lantas menjadi bagian dari program DKS? Ada cerita cukup unik. Ketika itu, redaksi majalah Loka Sastra hendak diusir dari gedung Loka Seni. Pengurus DKS tidak setuju pengusiran itu. Maka sebagai solusi, penerbitan majalah diakui sebagai bagian dari program DKS. Logo DKS dicantumkan. DKS juga berlangganan 25 eksemplar tiap edisi.
Tapi bukan sekadar dicantumkan. Pengurus DKS akhirnya turut membantu liputan dan juga kontribusi tulisan. Bahkan ketika Budi Darma ke IOWA, dia diminta untuk mengirim tulisan (paket surat).
Sepanjang tahun 1982, ada tiga kegiatan sastra yang tercatat di Buletin DKS edisi 7. Pertama, Sarasehan Seni. Sarasehan hasil kerjasama DKS dengan penerbit Sinar Harapan ini bertempat di Balai Pertemuan Unair, jalan Tegalsari Surabaya. Tiga pembicara mengetengahkan karya masing-masing, yaitu Henk Ngantung dengan karya sketsa, Pramono dengan karya kartun, dan Gatot Kusumo dengan novel Pita Merah di Lengan Kiri. Sarasehan dipandu moderator Satyagraha Hoerip. Meski hujan, acara dipadati oleh audien. Bahkan, acara baru selesai pukul 24.00.
Kedua, Dewan Kesenian Surabaya mengundang penyair Linus Suryadi AG untuk membicarakan prosa liris karyanya yang berjudul Pengakuan Pariyem. Linus banyak bercerita tentang proses kreatif kepengarangannya. Termasuk pula, dia mengimbau agar sastrawan muda untuk menulis dalam bahasa Jawa.
Ketiga, ajang Pekan Puisi DKS mengundang penyair dari berbagai wilayah tanah air. Terdiri dari penyair asal Medan, Pekanbaru, Padang, Tegal, Pekalongan, Solo, Kandangan, Banjarmasin, Denpasar, Sumenep, dan Ujung Pandang. Uniknya, acara ini justru tidak mengundang penyair dari Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung. Adapun penyair Sumenep yang didatangkan adalah D Zawawi Imron. Pekan Puisi DKS ini dimasudkan untuk menampilkan wajah baru perpuisian Indonesia.
Tahun 1982, lomba Deklamasi Dewan Kesenian Surabaya digelar di Loka Seni. Jumlah pesertanya sekitar 300 orang. Mereka berasal dari segala penjuru Jawa Timur. Pada saat final sekaligus penyerahan hadiah, lomba menampilkan juara 1 Erita (Surabaya), juara 2 Hermin Suud (Surabaya), juara 3 Yessy Tisnawati (Bojonegoro),
Juri juga memberikan penghargaan kepada peserta dedikatif dalam meraih prestasi. Terdiri dari Lestariningsih (Surabaya), Abd Muchni (Pamekasan), Neli Lubis, Sri Susilowati, Yani Th, ketiganya dari Surabaya.
Tahun 1985, lomba Deklamasi DKS diikuti oleh 224 peserta. Lomba dilaksanakan selama 4 hari, yakni tanggal 6, 7, 8, dan 11 Mei 1985 saat final. Tiga juri yang terdiri dari Anang Hanani, Sujak Amin, dan Hare Rumamper memilih 30 peserta yang bakal maju di final. Agar konsentrasi terjaga, ruangan lomba dengan ruangan penonton dipisah. Penonton disediakan 2 televisi sebesar 14 inc untuk menikmati peserta yang sedang berdeklamasi di ruangan dalam. Fasilitas kamera video dan televisi ini didapatkan berkat kerjasama DKS dengan BPM-TV.
Setelah menunggu 2 bulan, DKS mengumumkan para pemenangnya. Kelas Putri juara 1 Yudhita RC (Surabaya), Sherly Chandra (Surabaya), juara 3 Wiwin (Surabaya). Kelas Putra juara 1 Yayan KS (Pamekasan), juara 2 A Malik (Surabaya), juara 3 Misdianto (Surabaya).
Tahun 1986, M Anis sebagai Biro Sastra DKS merasa kegairahan kepenyairan di Surabaya menurun drastis. Jadi berbeda dibanding tahun 1970-an. Untuk merangsang kegairahan bangkit kembali, M Anis mengadakan acara baca puisi selama 2 hari, yakni 1 2 Mei 1986. Pada hari pertama, acara khusus diisi oleh Viddy Alymahfoedh Daery yang bakal membaca puisi dan cerpen. Acara dilanjut dengan diskusi. Sedangkan hari kedua, para penyair yang datang bebas membacakan karya puisinya.
Sastrawan Danarto selama 14 bulan melakukan perjalanan dari masjid ke masjid di Jawa. Di antara perjalanan itu, Danarto singgah di Galeri DKS, Kamis (16 Oktober 1986). Dia berbicara tentang sufisme. Menurutnya, ada sejumlah sastrawan Indonesia yang secara serius menggeluti sufisme. Namun ada pula, sastrawan yang menolak sufisme namun hidupnya sendiri tidak berbeda dengan cara hidup seorang sufi.
Budi Darma diundang ke Galeri DKS hari Jumat (24 Oktober 1986). Mantan Rektor Unesa itu berceramah tentang proses kreatif penulisan novel Rafilus. Sebuah novel yang dia tulis di Jakarta, Singapura, London, dan selesai di Surabaya. Selain ceramah, Budi Darma membacakan nukilan novelnya bersama Tengsoe, Setyo Yuwono, dan Budi Nuryanto.
Hari Minggu (26 Oktober 1986) siang, ada pemandangan tak biasa di area Balai Pemuda Surabaya. Ratusan anak dan remaja terlihat duduk-duduk di bawah pohon, di lantai emper, dan beberapa di antaranya tidur-tiduran. Mereka memegang kertas dan pena. Ternyata, mereka adalah peserta Lomba Mengarang yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Surabaya. Lomba diikuti 281 peserta.
Biro Sastra DKS Sirikit Syah mengundang penyair D Zawawi Imron membacakan puisi-puisinya dalam antologi Nenek Moyangku Airmata, di Galeri DKS, Jumat (19 Februari 1988). Buku tersebut pada tahun sebelumnya mendapatkan penghargaan dari Yayasan Buku Utama yang diketuai oleh Mendikbud RI. Selain pembacaan, acara juga diisi dengan diskusi. Narasumber diskusi Zawawi Imron sendiri dengan didampingi oleh Akhudiat.
Malam Sastra Surabaya digelar DKS menampilkan pembacaan 6 puisi terbaik tentang Surabaya, Kamis (2 Juni 1988). Pembacaan puisi dikemas dalam bentuk deklamatorium, yaitu musikalisasi puisi. Pertunjukan ini diiringi oleh kentrung Bengkel Muda Surabaya. Selain itu, acara dimeriahkan drama berjudul Bersamadi juga oleh BMS.
Malam Sastra Surabaya kembali digelar Dewan Kesenian Surabaya pada tahun berikutnya, yaitu Selasa (6 Juni 1989) di halaman depan gedung DKS. Acara ini dihadiri oleh Zawawi Imron, Muhammad Ali, Akhudiat, Rusdy Zaki, Hardjono WS, Sabrot D Malioboro, dan lainnya. Penyair Hardjono WS mendapat sambutan meriah berkat tampilannya membawakan puisi dengan iringan gitar dan harmonika.
Sebanyak 7 penyair muda membacakan karyanya di Galeri DKS, Jumat (7 Juli 1989) malam. Terdiri dari Roesdi Zaki, Jil P Kalaran, Ang Tek Khun, Herry Lamongan, Pudwianto Arisanto, Viddy AD, dan Aming Aminuddin. Usai pembacaan diadakan diskusi dengan pembicara Akhudiat.
Lomba Penulisan Cerpen DKS tahun 1989 dimenangkan oleh Adam A Chevni dengan judul Bekicot. Pemenang kedua M Shoim Anwar lewar cerpen berjudul Laki-laki Bercelurit dan pemenang ketiga Ng Restoe Prawiroe Ibrahim lewat cerpen Sang Lelaki. Pengumuman pemenang digelar di pelataran DKS, Kamis (6 Juli 1989) malam. Acara ini dimeriahkan pembacaan cerpen oleh rocker Jatim Ayu Wedhayanti, artis film Eva Rosdiana Dewi, dan dramawan Bawong SN.
Shoim Anwar kembali menduduki juara 2 dalam Lomba Cerpen DKS tahun 1990. Shoim menulis cerpen dengan judul Musim Gugur. Adapun juara pertama diraih Aang Efha dari Sidoarjo melalui cerpen berjudul Waduk. Juara ketiga direbut Leres Budi Santoso lewat cerpen Dialog Malam. Juri lomba cerpen ini adalah Setyo Yuwono Sudikan, Sirikit Syah, dan Mara GD.
Malam Sastra Surabaya (Malsasa) digelar Dewan Kesenian Surabaya bekerja sama dengan Kelompok Kerja Surabaya (Sufo), Sabtu (2 Juni 1990). Penggagas acara Aming Aminuddin menyatakan, acara ini selain untuk menggairahkan kesusastraan, juga sekaligus untuk memperingati hari jadi Kota Surabaya.
Tanggal 27 November 1991, Dewan Kesenian Surabaya menggandeng Kelompok Kerja Surabaya (Sufo) dan Teater Ragil dalam perhelatan Pembacaan Cerita Pendek Pahlawan di Galeri DKS. Dalam acara ini Leres Budi Santoso membacakan cerpen Soebagio Sastrowardoyo Kejantanan di Sumbing, Aming Aminuddin membaca Senyum Seorang Jenderal pada 17 Agustus karya Hamsad Rangkuti, Aan Tjandra membaca Maria karya Putu Wijaya, Bagus Putu Parto membawakan cerpen Danarto judul Nostalgia, sedangkan Meimura membaca karya sendiri berjudul Tenggelam.
Wiji Thukul membacakan karya-karya puisinya yang terkumpul dalam Mencari Tanah Lapang di Galeri DKS, Jumat malam (29 Juli). Acara ini atas prakarsa Kelompok Seni Rupa Bermain (KSRB) yang digawangi oleh Saiful Hajdar. Acara pembacaan puisi dilanjutkan dengan diskusi.
***
*) Ribut Wijoto, lahir di Tulungagung, 23 Maret 1974. Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda), anggota Teater Gapus, Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP), Bengkel Muda Surabaya (BMS), wartawan media online beritajatim.com, dan penjual buku bekas. Pernah mengeditori buku puisi ‘Ayang-Ayang’ (Gapus Press, 2003), ‘Ijinkan Aku Mencintaimu’ (Gapus Press, 2006), ‘Menguak Tanah Kering’ (Kumpulan puisi bersama Teater Gapus, 2001), ‘Permohonan Hijau, Antologi Penyair Jawa Timur’ (Festival Seni Surabaya, 2003), ‘Rumah Pasir’ (Festival Seni Surabaya, 2008), buku puisi ‘Pertemuan Penyair Jawa Timur’ (Disbudpar Jatim, 2009), ‘Wong Kampung’ (Festival Seni Surabaya, 2010), ‘Tenung Tujulayar’ (Gerilya Sastra, DK Jatim, 2014), mengeditori belasan buku puisi yang diterbitkan ‘Halte Sastra’ (DKS, 2009-2015), mengeditori buku puisi ‘Majelis Sastra Urban’ (DKS, 2018-2020), ‘Dan Di Genggaman Ini, Mengalir Sihir’ (BMS, 2019), ‘Di Tepi Jalan Pantura’ (Forum Sastra Maritim, 2020), dan beberapa buku puisi lain.