Taufiq Wr. Hidayat *
Penguasaan mencengkeram sampai pada yang privat. Kecantikan yang privat, pada wilayah yang publik dikontrol kekuasaan. Tetapi kecantikan—bagi Maxim Gorky, bukan sebagaimana ajaran iklan kosmetik. Bukan tubuh yang diciptakan sabun, sampo, pemutih ketiak, lulur, bedak, obat pelangsing dan penyubur payudara. Bukan busana yang dibentuk modal kapital sebagai “mode-mode tahayul” guna mengontrol kaum hawa dalam menentukan kecantikan dirinya. Namun ke-bunda-an. Kehidupan tak dapat tumbuh, lantaran nilai-nilai kebundaan tak menyifati tubuh yang memelihara. Tatkala kecantikan ditawan sudut pandang tubuh belaka, ia kehilangan daya bebas dan membangun kesadaran pembebasan.
Itulah Pelagea dalam novel Gorky. Ia tak cuma ibu bagi anak laki-lakinya, tapi ia membangun kesadaran sebagai perempuan—yang dengan segala keterbatasan fisik—menjadi ibu bagi semua anak manusia. Nilai-nilai keibuan itu setidaknya memegang fungsi vital bagi peradaban manusia. Namun kekuasaan seringkali membolehkan segalanya, menciptakan kecantikan yang tak ditegakkan dari nilai suci keibuan. Dan nasib kekuasaan—pada akhirnya, meratapi dirinya sendiri.
Dalam prosa Marquez, penguasa jatuh dalam kesepian. Mati dalam hampa. Kolonel Aureliano Buendia dalam “Seratus Tahun Kesunyian” menderita dalam keterasingan. Kekuasaan dicopot dari hidupnya!
Tatkala orang berada pada puncak kekuasaan, yang ia temui hanya sunyi. Tak ada yang sanggup lagi menyetarai. Ia memutuskan segalanya dengan dirinya sendiri beserta kekuasaan yang melekat padanya. Keputusan seringkali diputuskan dalam kegentingan. Alangkah rapuh manusia pada puncak kekuasaan, ketika segala otoritas mutlak berada dalam genggamannya. Pada posisi itu, ia perlu dialog, perbandingan, dan ruang untuk meletakkan kekuasaan guna mendengar. Jika tidak, maka ia sendirian! Bagai Harry S. Truman bersama Winston Churchill dan Stalin yang memutuskan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Tak ada dialog. Setiap usul ditolak. Segenap protes dibungkam. Dan manusia mengambil keputusan dengan keangkuhan.
Ketika segala pembicaraan hanya monolog, ia menutup rapat kemungkinan dikoreksi, dikritik, dipertimbangkan. Jurgen Habermas tidak percaya kebenaran lahir dari monolog. Benturan tak terhindarkan, sebab tiap orang dan kelompok menyimpan kehendak menguasai. Ada tujuan atau kepentingan yang tak mau dipecahkan dalam medan dialog, percakapan yang meniscayakan komunikasi, di mana setiap kehendak dan pandangan dipertimbangkan dalam perundingan, dalam aksi saling memahami. Dalam dialog, ada hubungan timbal-balik percakapan, saling mendengarkan, mengemukakan penawaran dan pertimbangan. Tercapainya konsensus dari setiap aksi komunikasi—bagi Habermas, adalah keberhasilan sebuah hubungan, baik di ranah publik maupun antar individu. Dialog yang berdiri di atas keterbukaan—bukan prasangka dan keangkuhan, manjur menutup peluang benturan fisik atau kepentingan yang merugikan masing-masing pihak. Dalam dialog, kalah-menang untung-rugi bukan tujuan. Melainkan upaya menemukan kesepakatan, pengertian, penjagaan tiap-tiap kepentingan dalam perbedaan. Ada konsekuensi-konsekuensi logis yang ditegakkan terhadap pelanggaran. Namun dalam monolog, tersemai benih totaliter, absolut, dan kecongkakan. Tanpa percakapan, segalanya bergerak sebagai fisik.
Perang terjadi lantaran dialog tak terselenggara. Masing-masing pihak telah bicara sendiri. Tatkala Basudewa menawarkan perdamaian dengan dialog, Kurawa menolak. Dialog tak terjadi. Kegagalan dialog karena salah satu pihak memasang prasangka sebagai pandangan dalam menyambut ajakan damai. Tak ada dialog. Tak ada keinsafan. Tak ada yang perlu lagi dipertimbangkan. Ketika seseorang menolak dialog, sesungguhnya ia telah mengurung dirinya sendiri dalam kesunyian yang mengerikan. Ia tertipu oleh prasangka. Ia menyiksa dirinya sendiri dengan kecemasan-kecemasan ganjil yang tak dimengerti. Lalu menemui kehancuran yang tak terhindarkan.
Tapi dunia selalu gagal berdialog. Apa yang mengemuka hanyalah diri yang berbicara sendiri-sendiri, ramai hasutan, dan peristiwa tiba sebagai potongan-potongan yang tak lengkap. Orang datang dengan prasangka, bahwa dirinya yang paling tak bersalah. Dan di sudut-sudut, kecantikan sangat profan, jadi tontonan yang dipenuhi sorak-sorai, riuh, gemuruh. Bukan keberhikmatan pada jiwa agung seorang ibu.
Tembokrejo, 2021
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.