Mohammad Sadam Husaen
bacatangerang.com, 9 Jan 2020
Dilahirkan di daerah pantai Pangandaran, Eka Kurniawan tumbuh sebagai seorang remaja yang akrab dengan buku. Petualangan sebagai pembaca dimulai Eka dengan membaca cerita-cerita silat karya Kho Ping Hoo, novel-novel horor Abdullah Harahap dan novel-novel perjalanan karya Karl May. Sampai sekarang pun Eka masih hidup sebagai pembaca berbagai novel dalam dan luar negeri, di samping itu pria kelahiran 28 November 1975 tersebut juga rajin menuliskan komentar-komentarnya mengenai novel yang dibaca di blog pribadinya. Menurut Eka, menjadi seorang pembaca dapat membuatnya tiba-tiba terlempar ke berbagai daerah yang menyeramkan seperti ke zaman Mataram atau zaman Majapahit.
Karir kepenulisannya sebenarnya sudah dimulai sejak Eka membaca Majalah Hai yang sering memuat cerita pendek karya-karya Hilman, Gola Gong, Arini Suryokusumo dan Zara Zettira, tetapi Eka belum beruntung karena tidak satu pun karyanya yang dimuat oleh Majalah Hai. Sejumlah puisinya kemudian terbit di majalah Sahabat, yang sering dibelikan oleh ayahnya. Dimulai dari masuknya Eka ke SMAN 1 Tasikmalaya, nalurinya sebagai pembaca dan keinginannya untuk menjadi penulis semakin kuat. Seperti yang dituliskan oleh Linda:
“Eka pergi dari Pangandaran ketika melanjutkan belajar di SMAN 1 Tasikmalaya. Di sana, ia tinggal dengan bibinya. Di masa ini pula ia mulai menyukai serial petualangan Old Shatterhand karya Karl May dan Balada Si Roy Gola Gong. Ia terinspirasi untuk jadi penulis, karena novel-novel ini. Lebih dari itu, ia ingin bertualang! Selama tiga bulan ia bolos sekolah, berkeliling Pulau Jawa. “Hasilnya, aku di keluarin dari sekolah,” ujarnya”.
Eka sempat berpindah-pindah sekolah karena sifat nakalnya. Akhirnya dia lulus dari SMA PGRI dan mempunyai keinginan untuk pergi meninggalkan rumah. Eka pun bersiasat dengan alasan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Eka kemudian lulus tes masuk Universitas Gadjah Mada di jurusan filsafat. Walaupun sempat memutuskan untuk bolos kuliah selama satu tahun, Eka akhirnya kembali meneruskan studi filsafatnya dan pada saat itulah bertemu dengan buku-buku karya Knut Hamsun yang membuatnya terpukau.
“Tokoh-tokohnya itu selalu agak keluar dari pakem-pakem kemasyarakatan, agak soliter. Kalau nggak pergi ke hutan, ya di kota, tapi hidup sendiri. Berumur sekitar 20 sampai 30-an, di Hunger seorang calon penulis, di Growth of the Soil meskipun lebih tua, tapi ketika tokoh ini datang ke hutan umurnya juga masih segitu. Dan aku merasa spirit Hamsun adalah spirit kebebasan. Dia juga punya selera humor yang agak gelap dan suka mengejek tokohnya sendiri. Kurasa humor dalam karyaku itu pengaruh dari dia.”
Komentar tersebut diucapkan oleh Eka dalam tulisan Linda setelah membaca beberapa novel karya Hamsun. Eka beranggapan bahwa Hamsun sebagai salah seorang penulis yang mempengaruhi karya-karyanya. Pertemuan dengan karya-karya Hamsun tersebut juga memantapkan keinginan Eka untuk menjadi seorang pengarang. Setelah pertemuannya dengan karya-karya Hamsun, secara berturut-turut kemudian Eka mengenal berbagai penulis lain seperti Gabriel Garcia Marquez, Toni Morisson, Yasunari Kawabata, Cervantes dan banyak penulis lain. Bahkan dapat dibilang, Eka lebih banyak membaca karya sastra luar negeri dibandingkan dengan karya sastra Indonesia.
Kecenderungan membaca karya sastra luar negeri tersebut yang membuat Eka dianggap sebagai penulis yang membawa nafas segar dalam dunia sastra Indonesia. Oleh beberapa orang karya-karya Eka dianggap menyuguhkan warna baru dalam kesusastraan Indonesia. Seperti yang ditulis oleh Bahrul Amsal dalam situs pribadinya bahwa cerita-cerita yang disuguhkan oleh Eka adalah suatu teks yang menolak sempurna, dalam arti suatu cerita yang dibangunnya tidak selamanya ingin mengafirmasi suatu dunia yang bersih dari cacat. Melalui kesan tersebut Bahrul Amsal merasa kecanduan membaca karya-karya Eka, sampai Bahrul Amsal mengatakan bahwa Eka dikutuk untuk membangun takdir sastra Tanah Air.
Situs berita Detikx melansir sebuah tulisan yang menyebutkan bahwa novel pertama Eka yang berjudul Cantik Itu Luka diterjemahkan oleh Annie Tucker menjadi Beauty Is a Wound dan diterbitkan oleh penerbit New Directions, Amerika Serikat. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa novel Cantik Itu Luka yang sempat ditolak oleh empat penerbit dalam negeri karena dianggap kurang mempunyai bobot sastra masuk dalam daftar 100 buku terkemuka versi The New York Times pada tahun 2015 dan pada 22 Maret 2016, Eka mendapatkan penghargaan World Readers Award gara-gara novelnya tersebut.
“Beauty Is a Wound dipuji sebagai novel yang gelap tapi menghibur. Novel ini disebut sebagai novel yang mencengkeram pembacanya sejak dari kalimat pertama pembukanya yang menggetarkan.
Beauty Is Wound telah diterjemahkan ke dalam 28 bahasa dan para kritikus menyandingkan novel ini dengan karya-karya Gabriel Garcia Marquez dan Fyodor Dostoevsky.”
Meraih peruntungan melalui Cantik Itu Luka Eka tidak ingin berhenti, ia kembali menerbitkan novel keduanya yang berjudul Lelaki Harimau yang juga sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Karya-karya Eka lainnya sudah disebutkan peneliti pada latar belakang. Dalam Lelaki Harimau, Eka kembali memberikan sebuah warna baru dalam karya sastra. Eka mencoba memunculkan kembali mitos-mitos serta legenda yang ada di dalam masyarakat dan membawanya sebagai sebuah ornamen penting dalam karyanya tersebut. Menurut Eka, Lelaki Harimau muncul karena latar belakangnya yang menyukai cerita-cerita horor, walaupun novelnya tersebut tidak menjadi novel horor tetapi menjadi novel psikologi.
Melalui novel pertamanya Cantik Itu Luka, Eka dianggap membawa aliran realisme magis dalam kesusastraan Indonesia. Seperti yang ditulis oleh Detikx bahwa Eka disejajarkan dengan Marquez, salah satu sastrawan dengan karya bergenre realisme magis. Eka meramu sejarah dan unsur-unsur magis dalam Cantik Itu Luka sehingga membawa namanya menjadi seorang sastrawan yang dianggap membawa aliran realisme magis di Indonesia. Majalah Horison juga memuji kecakapan Eka dalam mengisahkan kejatuhan sebuah keluarga inses dengan titik pusat pengisahan pada tokoh Dewi Ayu (lahir dari ayah Belanda dan ibu Nyai) dalam gaya berkisah yang dengan enteng mencampuradukkan realisme dan surealisme, mengawinkan kepercayaan-kepercayaan lokal dengan silogisme filsafat yang membobol semua tabu, dan memberikan hormat yang sama pada realitas sejarah dan mitos, merupakan pencapaian luar biasa mengingat novel ini merupakan novel pertamanya.
Sastra Indonesia dari Sudut Pandang Dunia
Menurut Eka kesusastraan Indonesia seharusnya dikenal oleh masyarakat yang lebih luas lagi, selain dikenal di mancanegara juga dikenal oleh masyarakat desa yang kadang sama sekali tidak tersentuh oleh khasanah kesusastraan Indonesia. Eka menurut berbagai referensi yang peneliti temukan tidak hanya sering berbicara mengenai perkembangan karya dan komunitas susastra di Indonesia. Eka selain membawa udara segar dalam kesusastraan Indonesia juga membawa nama kesusastraan Indonesia semakin dikenal oleh masyarakat yang lebih luas.
Beberapa penghargaan sudah didapatkan Eka melalui karya-karyanya. Antara lain pada tahun 2016 novel Lelaki Harimau mendapatkan penghargaan utama untuk kategori literatur fiksi di FT/OppenheimerFunds Emerging Voices Awards. Eka menyingkirkan dua penulis Tiongkok, Yua Hua dan Yan Lianke yang terpilih sebagai juara kedua. Pada tahun 2016 Eka pernah masuk dalam daftar panjang The Man Booker International Prize 2016 yang akhirnya jatuh ke penulis asal Korea Selatan, Han Kang, dengan novel The Vegetarian. Selain itu Eka bersama beberapa penulis Indonesia lain seperti Afrizal Malna, Andrea Hirata, Ayu Utami, Laksmi Pamuntjak, Leila S. Chudori, Oka Rusmini, Okky Mandasari dan Seno Gumira Ajidarma diundang sebagai tamu kehormatan dari Indonesia di ajang pameran buku terbesar Frankfurt Book Fair 2015.
Selain beberapa penghargaan tersebut, Eka sebagai salah satu penulis fiksi dari Indonesia juga mendapatkan berbagai pujian dari media mancanegara atas karya-karyanya yang dianggap memberikan dobrakkan bagi kesusastraan Indonesia. Jon Fasman, seorang yang menulis di The New York Times mengatakan bahwa Eka dapat disejajarkan dengan Pramoedya Ananta Toer dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. Menurut Fasman, Eka dan Pram mempunyai andil besar dalam kesusastraan Indonesia karena karya-karya yang dihasilkan oleh kedua penulis tersebut menyimpan hal yang memukau mengenai Indonesia. Selain itu Fasman juga membandingkan karya kedua penulis tersebut dengan kebanyakan novel Amerika kontemporer yang tidak memiliki dialog yang relatif sedikit seperti karya Eka.
Melalui berbagai ulasan mengenai Eka dan karya-karyanya, dapat dilihat bahwa Eka adalah salah seorang penulis fiksi Indonesia yang dapat mewakili kesusastraan Indonesia di mata dunia. Karena selain karyanya yang dianggap memberikan nafas baru di kesusastraan Indonesia, Eka juga dianggap membawa suara masyarakat Indonesia yang kurang terwakili dalam sastra dunia. Eka dalam Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau membawa sejarah, legenda, humor dan asmara khas Indonesia yang dapat dikenal luas oleh dunia luar. Selain itu menurut Annie Tucker, Eka juga berhasil menggabungkan tema kebinatangan, inses, pemerkosaan, pembunuhan, kegilaan, keganjilan melalui mayat hidup Dewi Ayu (dalam Cantik Itu Luka) sebagai sebuah kritik pedas pada masa lalu Indonesia yang bermasalah.
Ideologi Kepengarangan Eka Kurniawan
Eka Kurniawan sebagai salah seorang penulis fiksi di Indonesia dalam menciptakan sebuah karya sastra tentunya tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kehidupan maupun situasi yang terjadi dalam kehidupannya. Karena hal tersebutlah yang menjadi sebuah gagasan dan pandangan seorang pengarang yang secara sadar ataupun tidak sadar dimunculkan dalam karyanya, atau biasa disebut sebagai ideologi kepengarangan. Eka Kurniawan, dilihat dari berbagai karya yang telah dilahirkannya mempunyai tema yang lebih condong pada hal-hal berbau dongeng, legenda dan mitos. Hal tersebut menjadi kentara dalam novel Lelaki Harimau, bagaimana Eka Kurniawan menggabungkan permasalahan kehidupan sosial dengan legenda manusia harimau.
Dalam novel Lelaki Harimau terlihat bahwa pengaruh mitos, dongeng serta legenda tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan Eka Kurniawan. Tokoh Margio dalam novel Lelaki Harimau digambarkan secara real sebagai seorang remaja yang kehidupan keluarganya selalu didera berbagai permasalahan, selain itu kehidupan sosial Margio juga tergambarkan nyata dan tidak dapat dilepaskan dengan kenyataan yang ada. Kondisi keluarga yang berantakan karena perselingkuhan, remaja yang suka mabuk-mabukan dan bermain perempuan suasana perkampungan yang hampir seluruh warganya saling mengenal, sampai tragedi sakit hati karena cinta. Semua hal tersebut tentu ada dalam kehidupan nyata masyarakat Indonesia. Kenyataan tersebut dipadukan dengan legenda manusia harimau yang memang di beberapa daerah dipercaya sebagai sebuah ilmu yang diberikan turun temurun dalam satu keluarga.
Masyarakat Bengkulu adalah salah satu yang masih percaya bahwa ada harimau jadi-jadian yang menjaga salah satu daerah di Bengkulu yaitu Desa Ladang Palembang, Kabupaten Lebong, Bengkulu. Harimau jadi-jadian tersebut dianggap sebagai jelmaan atau reinkarnasi dari para leluhur masyarakat Lebong yang melindungi serta memberi peringatan jika ada warga yang melanggar adat atau berbuat amoral.
Eka Kurniawan menegaskan ideologi kepengarangannya dalam novel Lelaki Harimau dengan tidak memberikan nama pada latar tempat yang ada dalam penceritaannya. Cerita tersebut berjalan dalam sebuah kotak yang dibuat seakan-akan ada dan tanpa referensi tempat yang sesungguhnya. Sifat tersebut menunjukkan bahwa postmodernisme sudah masuk dalam novel Lelaki Harimau. Ideologi Eka Kurniawan menekankan pada kenyataan hidup manusia yang tidak dapat dilepaskan dari berbagai unsur yang ada di luar alam pikir manusia atau dapat disebut juga sebagai mitos.