Mempersoalkan Legitimasi Puisi-Esai

Leon Agusta *
Kompas, 13 Jan 2013

TAK ada yang baru di bawah langit. Begitu sering kita dengar banyak orang mengatakan. Namun, selalu ada cara pandang yang baru tentang apa atau bagaimana adanya sesuatu di bawah langit. Selalu pula ada cara pendekatan baru terhadap sesuatu yang sudah berlalu—terhadap sesuatu—misalnya karya dari masa silam. Dari segala sesuatu yang ada sebagian elemen sudah dieksplorasi, tetapi ini tidak berarti bahwa tidak mungkin ada elemen lain yang dapat dieksplorasi.

Setiap generasi baru dalam seni selalu melihat atau menyiasati apa yang sudah dilakukan oleh seniman generasi sebelumnya dengan cara pandang yang berbeda. Perbedaan konteks dan pengalaman akan melahirkan berbagai pertanyaan baru dengan fokus pada elemen-elemen tertentu. Semuanya ini mendorong mereka untuk melahirkan sesuatu yang baru di luar paradigma dan wacana lama. Hasilnya, adakalanya melahirkan paradigma baru yang pada gilirannya akan menghasilkan karya yang baru pula.

Dari eksplorasi semacam ini, lahirlah karya Denny JA, Atas Nama Cinta, yang disebutnya sebagai puisi-esai. Lalu, dari sebutan puisi-esai muncul pertanyaan: bagaimana mendefinisikan esai untuk membedakannya dengan puisi? Apakah perbedaannya terletak pada isi, bentuk, persepsi, atau perspektif? Kemudian muncul sebuah pertanyaan lagi: apakah puisi dapat berfungsi sebagai pemicu pemikiran rasional untuk menggerakkan lahirnya sebuah puisi-esai?

Jurnalisme dan statistik serta analisis mampu menghadirkan fakta atau kenyataan dari suatu situasi dan kondisi suatu kehidupan masyarakat di suatu waktu dan tempat tertentu. Hal ini tecermin pada bentuk tulisan yang didefinisikan sebagai esai. Adapun estetika memiliki potensi untuk mengungkapkan sensitivitas kemanusiaan, kedalaman perasaan, intuisi, dan imajinasi sehingga menghadirkan kesan mendalam terhadap pembaca bagaimana wajah nasib dan penderitaan manusia ke dalam rasionalitas melalui empati pada bentuk tulisan yang didefinisikan sebagai puisi. Jadi, apakah mungkin puisi-esai dapat mengantarkan pembaca pada penghayatan dengan warna perasaan yang kaya nuansa?

Dalam konteks di atas, puisi esai Denny JA berakar pada realitas masyarakat berupa kejadian dan peristiwa dalam berbagai kategori analisis dengan fokus tunggal pada problematik diskriminasi di Indonesia. Sejak awal, bentuk, konteks, dan isi karya Denny JA adalah esai dalam format puisi.

Bukan baru

Sebenarnya, dalam sejarah sastra Indonesia, upaya mempertemukan atau menggabungkan bentuk-bentuk tulisan yang berbeda dalam satu karya bukan sesuatu yang baru. Dalam hal ini mungkin sebaiknya ada sedikit perbandingan dengan karya Rendra. ”Si Burung Merak” ini menulis puisinya, seperti diakuinya sendiri, dalam bahasa pamflet. Ini dilakukannya untuk merespons kenyataan sosial politik pada waktu itu. Ungkapan-ungkapannya lugas, sama sekali tidak rumit. Begitu mendengar, maksudnya langsung bisa ditangkap. Pesan politiknya tampak lebih diutamakan ketimbang estetika puisi.

Denny menggali sumber kekuatan estetik jauh lebih dalam pada buku puisi-esainya Atas Nama Cinta yang merupakan gugatan terhadap isu sosial dalam bingkai diskriminasi. Dalam konteks ini, kekuatan estetika dalam narasi akan merupakan jembatan emas untuk menyampaikan pengalaman emosional, sedangkan catatan kaki memperkuatnya dengan pengalaman intelektual. Dengan demikian, ditemukan satu titik temu untuk mencapai keseimbangan antara penghayatan dan pengertian.

Dalam hal ini, pendekatan puisi-esai Denny, yang merupakan upaya menyatukan pengalaman emosional dan rasional dalam sebuah karya, mungkin bisa dikatakan lebih dekat dengan teknik penyair Toeti Heraty dalam Calon Arang (Yayasan Obor Indonesia Tahun 2000).

Seperti yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam pengantar buku ini, yang disebut karya ”prosa lirik” oleh penulisnya sendiri, tak pelak lagi, ini adalah karya seorang pejuang feminisme. Di awal pengantarnya Seno menulis, ”…setidaknya terdapat dua jalan menuju buku ini. Jalan pertama adalah tradisi Calon Arang. Jalan kedua, tentu kedudukan perempuan dalam puisipuisi Toeti Heraty.”

Jadi, prosa lirik Calon Arang karya Toeti Heraty dapat dimasuki melalui pintu dunia kepenyairan Toeti Heraty sendiri yang sikap dan pandangannya sudah diungkapkan, misalnya pada kumpulan puisi Sajak-Sajak 33 and Mimpi dan Pretensi.

Dalam buku Calon Arang, Toeti Heraty tidak memakai catatan kaki dalam memunculkan unsur rasional untuk mengimbangi narasi emosional. Dia lebih memilih mengarahkan kesadaran pembaca melalui anak judul ”Kisah Perempuan Korban Patriarki” dan mendedikasikan karyanya kepada ”setiap perempuan yang meredam kemarahan”. Dengan demikian Toeti Heraty menerapkan bingkai yang kuat dan ketat untuk menjaga agar fokus pembacaan sesuai dengan teks.

Dalam buku Atas Nama Cinta, Denny JA juga memberi petunjuk mengenai isi intelektualnya dengan anak judul ”Sebuah Puisi Esai: Isu Diskriminasi dalam Untaian Kisah Cinta yang Menggetarkan Hati”. Dengan demikian, isu sentral yang diajukan melalui lima kisah cinta pada buku ini disampaikan sekaligus dengan kriteria puisi esai.

Pemahaman tentang pendekatan dan alasan seorang penyair menulis puisi pamflet, puisi esai, prosa lirik, atau apa pun namanya, memang diperlukan. Pemahaman tentang keanekaragaman alasan para penyair dalam menulis puisi dapat membantu kita dalam upaya memahami keberagaman karya yang dihasilkan para penyair dari masa ke masa. Dengan ini, jika ada perbincangan, kita akan berada dalam jalur yang mengasyikkan. Konteks zamannya terjaga. Begitu pula dengan otentisitas masing-masing penyair.

Jika terjadi pencampuradukan dalam membandingkan, misalnya karena mengabaikan konteks zamannya atau otentisitas seorang penyair tak diindahkan, perbincangan takkan mengasyikkan lagi.

Penamaan puisi-esai, menurut Denny JA, adalah karena kebutuhan ekspresi kisah-kisahnya. Wujudnya adalah puisi dengan cita rasa esai, esai tentang isu sosial yang diungkapkan secara puitis.

Cita rasa

Untuk lebih mengesankan cita rasa esai, Denny JA juga secara sadar membutuhkan pencantuman catatan kaki, di antaranya ada yang sangat mengejutkan. Misalnya, catatan kaki (4) halaman 164 mengenai ”Tafsir Baru atas Nikah Beda Agama” tentang pernikahan Nabi Muhammad SAW dan beberapa sahabat dengan perempuan yang bukan panganut agama Islam (http//icrp-online.org/o82008/post-17.htmi). Ada banyak informasi ataupun pengetahuan berharga dari catatan kaki yang dapat mengantarkan pembaca pada pemahaman lebih mendalam tentang puisi esai. Catatan kaki ini berperan bagaikan paru-paru bagi kisah-kisah yang disajikan sehingga puisi esai hidup dan bernapas bukan hanya sebatas lingkungan masyarakat sastra, melainkan menerobos ke tengah masyarakat luas.

Semua topik yang disajikan Atas Nama Cinta jelas sekali lebih merupakan bahan baku untuk penulisan esai, yakni isu-isu sosial yang relevan dan aktual. Denny JA ingin menyajikannya dalam format sebuah esai yang lazim untuk mengisi otak. Dia juga memiliki dorongan kuat untuk memanfaatkan estetika bahasa yang mampu membuat pembacanya masuk ke dunia nyata melalui penghayatan seni.

Dengan demikian, Denny JA mempunyai pengalaman dan pandangan yang khas terhadap kehidupan sosial, terutama sastra. Mungkin ia merasa terhina jika dikatakan menjadi sekadar peniru atau seorang murid penurut terhadap fatwa-fatwa para guru. Penulis yakin, Denny JA sama sekali tidak merasa terlalu penting untuk dibandingkan kehadirannya dengan para penyair terdahulu.

Dengan puisi esai yang disajikannya, Denny JA sudah membuka jendela baru bagi masyarakat sastra Indonesia untuk melihat kenyataan sejarah peradaban dengan cara yang baru pula, kemudian mengungkapkannya dengan pendekatan yang juga baru. Masalah kemanusiaan dan ketidakadilan membelenggu masyarakat kita di mana-mana. Kreativitas seni berupaya membebaskan belenggu itu dengan memberikan pencerahan kesadaran terhadap kompleksitas kondisi zamannya. Di sinilah peranan puisi esai yang dilahirkan Denny JA.

Dalam konteks ini, tampaknya Maman S. Mahayana (MSM) tidak terkesan dengan kehadiran puisi esai Atas Nama Cinta.

Kritik MSM dalam artikel ”Posisi Puisi, Posisi Esai” (Kompas, Minggu, 30 Desember 2012, halaman 20) ada satu pertanyaan menarik seputar perbincangan puisi esai Denny JA: ”Lalu bagaimana dengan catatan Ignas Kleden, Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri dalam antologi itu? Apakah itu sebagai stempel legitimasi tentang konsep puisi esai?”

Pertanyaan ini langsung dijawabnya sendiri berupa kesimpulan dengan nada yang terkesan merendahkan: ”Catatan mereka adalah bentuk apresiasi yang tentu saja berbeda dengan legitimasi”.

Penulis jadi bertanya-tanya: apakah kehadiran puisi esai harus dilegitimasi? Apakah puisi esai mengganggu dunia kelangenan para penyair yang secara kultural harus memelihara tatanan, hierarki, ketertiban, dan kepatuhan?

Sekarang pertanyaan yang perlu ditambahkan adalah: legitimasi dari siapa? Siapa sesungguhnya yang berhak memberikan ”stempel legitimasi” terhadap konsep puisi esai atau konsep puisi penyair mana pun? Dari mana seseorang mendapatkan hak sedemikian? Apakah Denny JA memerlukan legitimasi seperti yang dipahamkan MSM? Sejauh pengenalan saya tentang cara berpikir dan sepak terjang Denny JA dalam dunia perpuisian yang dibangunnya, cara berpikir, pertanyaan, dan kesimpulan MSM sepertinya sudah jauh ketinggalan zaman.

Pertanyaan dan kesimpulan MSM itu membuat penulis terkenang pada satu komentar penyair yang menetap di Padang, Rusli Marzuki Saria (75), dalam satu perbincangan santai di sela-sela Pertemuan Sastrawan Indonesia 2012 di Makassar, akhir November lalu. Ia mensinyalir adanya ”budaya feodalisme yang menguasai dunia sastra kita”.
***

*) Leon Agusta (Ridwan Ilyas) lahir di Desa Sigiran, daerah pinggiran Danau Maninjau, 1938. Pernah mengikuti International Writing Program di Iowa University, tahun 1976 dan 1978. Karya-karyanya, berupa puisi, cerpen, esei, dan novel, dimuat di berbagai media massa, termasuk Horison, dan diterbitkan dalam sejumlah buku antologi. Walaupun usianya sudah kepala enam, Leon masih aktif menulis puisi, dan mengikuti berbagai forum sastra di dalam dan luar negeri.

Leave a Reply

Bahasa »