Mitologi Melayu dan Sastrawan Riau

Agus Sri Danardana *
Riau Pos, 4 Nov 2012

TANPA harus menyangkal bahwa lahirnya kesusastraan (puisi) Indonesia modern banyak dipengaruhi oleh kesusastraan (poetika) Barat, kita pun harus mengakui bahwa sebelum berkenalan dengan kesusastraan Barat, sebenarnya kita sudah punya konvensi sastra sendiri. Konvensi sastra itu, dalam kenyataannya, tak dapat dengan begitu saja ditinggalkan oleh para sastrawan kita. Dari segi bentuk, misalnya, kita masih dengan agak mudah menemukan puisi-puisi yang ditulis ala pantun, syair, gurindam ataupun mantra. Sementara itu, dari segi isi atau bahan-bahannya, kita pun masih banyak menemukan puisi yang ditulis berdasar mitologi-mitologi tertentu. Sekadar contoh dapat disebut di sini puisi Amir Hamzah yang berjudul ‘’Batu Belah’’ dan ‘’Hang Tuah’’ (masing-masing berdasarkan dongeng Batu Belah dan Hikayat Hang Tuah); puisi Chairil Anwar, ‘’Diponegoro’’ (diilhami dari sejarah perjuangan Diponegoro) dan ‘’Cerita Buat Dien Tamaela’’ (didasarkan kepercayaan orang Maluku); serta puisi Gunawan Mohammad, ‘’Gatoloco’’, yang diolah dari buku Gatoloco, sebuah kitab yang berisi ajaran mistik (Jawa).

Sedikit beda dengan judulnya, tulisan ini hendak melihat mitologi Melayu dalam karya sastra. Lihatan akan berfokus pada ‘pemanfaatan’ mitologi Melayu oleh sastrawan Riau dalam beberapa karyanya yang sempat penulis amati.

Mitologi: Untung-rugi Pemanfaatannya

Dalam salah satu tulisannya, Budi Darma (2004:130) berpendapat, sastra adalah kepanjangan dari mitologi. Seperti halnya dalam sastra, di dalam mitologi terdapat tokoh-tokoh yang mengalami konflik kejiwaan/masalah psikologis sehingga antara sastra, mitologi dan psikologi sesungguhnya saling terkait dan tak dapat dipisahkan.

Untuk mendukung pendapatnya itu, Budi Darma mencontohkan asal-usul istilah histeria dan narsisme. Konon, kedua istilah itu diambil dari dua nama tokoh dalam mitologi Yunani Kuno yang mengalami masalah psikologi: Histeria dan Narcissus. Histeria adalah tokoh wanita yang mengalami ketidakberesan pada rahimnya. Setiap kali ketidakberesan itu muncul, Histeria selalu berteriak-teriak, kadang menangis, kadang tertawa dan kadang marah-marah tak dapat lagi mengendalikan emosinya. Sementara itu, Narcissus adalah tokoh pria (?) yang mencintai dan mengagumi diri sendiri secara berlebihan. Kini, keduanya: histeria dan narsisme digunakan untuk setiap orang (baik pria maupun wanita) yang mengalami gangguan kejiwaan seperti itu.

Sebagai produk budaya, idealnya, mitos akan selalu hidup dan memberi pengaruh terhadap perilaku dan pandangan hidup masyarakat. Mitos bukan sekadar sebuah konsep/gagasan, melainkan suatu lambang dalam bentuk wacana. Mitos, dengan demikian, selalu menghadirkan sebuah sistem komunikasi yang menawarkan pesan masa lalu: ide, ingatan, kenangan dan bahkan keputusan yang diyakini masyarakatnya (Barthes, 1981:193). Karena itu, dalam kondisi yang benar, mitos dapat mengembangkan integritas masyarakat: memadukan kekuatan kebersamaan yang terpecah serta dapat membentuk solidaritas, identitas kelompok dan harmonisasi komunal.

Berkaitan dengan itu, Subagio Satrowardojo berpendapat (baca: mengaku) bahwa dirinya (juga sastrawan lain) memanfaatkan mitologi dalam berkarya karena tokoh-tokoh di dalam kisah demikian tetap dekat pada sumber kehidupan yang purba, manusia yang masih bebas tiada halangan-halangan batin, prasangka-prasangka, tanggapan-tanggapan rasional dan pertimbangan-pertimbangan yang membingungkan seperti yang terdapat di dalam masyarakat modern. Mereka berbicara dan berlaku sesuai dengan desakan yang sejati yang lurus datang dari perasaan serta bayangan batinnya.

Dan, penyair menemukan pada tokoh-tokoh itu jenis sesamanya yang lebih mula dan tua, yang seperti dia hendak menyaksikan dunia dalam keperawanannya, sebelum diwarnai pandangannya oleh kategori dan metode berpikir yang kini ada. Tokoh-tokoh itu dengan langsung menyentuh hakikat yang ada. (dalam Keroncong Motinggo, 1975:109).

Apa yang diungkapkan Subagio Sastrowardojo itu, rasa-rasanya, memang patut kita terima. Mengapa? Karena karya (puisi-puisi mitologis) yang sepintas lalu tampak seperti puisi naratif itu, jika kita amati sungguh-sungguh, ternyata merupakan puisi lirik. Mari kita lihat puisi Rida K Liamsi, ‘’Jebat’’, berikut ini.

Telah kau hunus keris
telah kau tusuk dendam
telah kau bunuh dengki tetapi, siapakah yang telah mengalahkan mu
Kami hanya menyaksikan luluh rasa murka mu
celup cuka cemburu mu
kubur rasa cinta mu
di bayang-bayang hari mu

Kami hanya menyaksikan waktu menghapus jejak darah mu
angin menerbangkan setanggi mimpimu
ombak menelan jejak nisan mu
di balik cadar mimpi-mimpi mu

Kami semua telah mengasah keris
telah menusuk dendam
membunuh dengki
meruntuhkan tirani

Tapi siapa yang telah mengalahkan kami
menumbuhkan khianat
melumatkan sesahabat
mempusarakan sesaudara

Kami hanya menyaksikan waktu yang berhenti bertanya
sejarah yang berhenti ditulis
kita hanya membangun sebuah arca

Sepintas puisi itu tampak sebagai puisi naratif karena mengambil salah satu peristiwa dalam Hikayat Hang Tuah, yakni kematian (Hang) Jebat oleh sahabat karibnya sendiri, (Hang) Tuah. Namun, jika diamati sungguh-sungguh, puisi itu adalah puisi lirik: Si aku lirik diobjektifkan menjadi mu, Jebat, yang sedang dan telah gugur dalam berperang. Dengan demikian yang dipentingkan bukanlah tokoh Jebat atau peristiwanya itu, melainkan penghayatan Rida K Liamsi terhadap tokoh dan peristiwa tersebut. Tokoh dan peristiwa hanya menjadi sarana untuk ikut serta dalam pengamalan batin si aku lirik (Teeuw, Tergantung pada Kata, 1980:48). Atau dengan kata lain, tokoh dan peristiwa hanya suatu alegori atau metafora untuk mengutarakan pikiran penyair yang bersifat personal tentang kehidupan.

Begitulah, dengan pemanfaatan mitologi dalam karya sastra, sesungguhnya sastrawan dan masyakarat/pembaca sama-sama dapat keuntungan. Setidaknya, sastrawan terbebas dari kewajiban untuk menerang-jelaskan sarana/peranti pengucapannya. Sementara itu, di samping memperoleh kemudahan dalam pemaknaan (karena sudah mengenal), masyarakat/pembaca juga memperoleh kesempatan mengeksplorasikan pemaknaannya.

Dalam ‘’Jebat’’, misalnya, Rida K Liamsi tak perlu lagi memberi penjelasan tentang ihwal Jebat. Sebagai tokoh yang sudah menjadi mitos, ihwal Jebat diasumsikan (dan seharusnya) sudah jadi pengetahuan umum bagi masyarakat (Melayu). Bahkan, adanya tanggapan beragam di kalangan masyarakat (Melayu) tentang etos kepahlawan Jebat (dan Tuah) pun tak perlu dikemukakan. Berkembangnya dua pendapat di kalangan masyarakat tentang etos kepahlawan Jebat dan Tuah itu (sebagian menganggap bahwa Tuah lah yang pantas disebut pahlawan karena berhasil mengembalikan ketenteraman kerajaan dan sebagian lainnya menganggap bahwa Jebat lah yang pantas disebut pahlawan karena gigih membela kebenaran) justru membuka kesempatan masyarakat/pembaca untuk memperkaya pemaknaan puisinya.

Pertanyaannya sekarang adalah seberapa tinggi tingkat apresiasi masyarakat Melayu terhadap mitologinya. Jawaban atas pertanyaan itu menjadi penting karena akan menjadi penentu kebermaknaan karya sastra yang memanfaatkannya. Jika tingkat apresiasi masyarakat rendah, pemanfaatan mitologi dalam karya sastra justru akan mendatangkan kesulitan tersendiri. Masyarakat yang tidak mengetahui ihwal keris tameng sari, syair ‘’Perahu’’ (Hamzah Fansuri) dan Hang Tuah, misalnya, akan mengalami kesulitan memahami puisi Taufik Ikram Jamil (‘’Tameng Sari Kuserahkan Kembali’’), puisi Idrus Tintin (‘’Perahu’’) dan puisi Kunni Masrohanti (‘’Lancang Tuah’’). Begitu pula orang akan kesulitan memahami cerpen Marhalim Zaini (‘’Amuk Tun Teja’’) dan cerpen Fedli Azis (‘’Nol Besar’’) jika tak memiliki apresiasi yang baik terhadap Hikayat Hang Tuah. Pendek kata, tanpa memiliki apresiasi mitologi Melayu yang baik, hampir dapat dipastikan masyarakat/pembaca takkan dapat menikmati kegamangan dan/atau keparodian dalam karya keenam sastrawan yang sudah disebutkan di muka.

Betapa tidak? Melalui ‘’Tameng Sari Kuserahkan Kembali’’, Taufik Ikram Jamil menampilkan kegamangannya atas eksistensi (keris) tameng sari; Idrus Tintin memperlihatkan kegamangannya atas karyanya sendiri, ‘’Perahu’’; Kunni Masrohanti memamerkan kegamangannya atas eksistensi Tuah (sebagai simbol Melayu) dalam ‘’Lancang Tuah’’; Rida K Liamsi (melalui ‘’Jebat’’) dan Fedli Azis (melalui ‘’Nol Besar’’) sama-sama gamang terhadap eksistensi Jebat: Rida gamang karena takut, jika waktu berhenti bertanya dan sejarah berhenti ditulis, Jebat justru akan menjelma menjadi arca. Sementara itu, Fedli gamang karena khawatir Jebat telah ter(di)lupakan oleh banyak orang; serta Marhalim Zaini meluapkan kegamangannya atas eksistensi Tun Teja melalui ‘’Amuk Tun Teja’’. Dalam cerpennya itu, secara simbolik, Marhalim bahkan telah memvonis bahwa Tun Teja tidak dikenal lagi oleh masyarakatnya (Riau).

Nah, apakah karya-karya mitologis seperti itu mendapat apresiasi yang baik dari masyarakat? Sejarah yang akan membuktikannya. Setidaknya kita masih bisa berlega hati setelah membaca tulisan W Halim, ‘’Teater, Tiga Karya Satu Cinta’’, di harian ini pada 28 Oktober lalu. Menurut catatannya, pementasan tiga lakon Melayu: Hikayat Puteri Puyu-Puyu (Hang Kafrawi), Melodi Pengakuan (Rina N Entin) dan Peri Bunian (Kunni Masrohanti) yang dibicarakannya itu mampu menyedot banyak penonton. Atas dasar itu, di tengah kegalauan era globalisasi, kita pun masih bisa berharap agar karya-karya mitologis terus ditulis. Jika harapan itu terwujud, kita pun akan semakin yakin bahwa pengembangan integritas masyarakat Riau untuk memadukan kekuatan kebersamaan dalam membentuk solidaritas, identitas kelompok dan harmonisasi komunal akan semakin mudah dilakukan. Semoga.
***

*) Agus Sri Danardana, Kepala Balai Bahasa Riau yang aktif mengamati dan menuliskan pemikirannya, terutama tentang karya-karya Melayu Riau. Bermastautin di Pekanbaru.

Leave a Reply

Bahasa »