Nudis Club *

Eko Darmoko

Tiap kali masuk kamar nomor 208 aku selalu melihat bra, celana dalam, dan buku-buku sastra Amerika Latin berserakan di atas ranjang nomer 6 yang spreinya selalu terlihat amburadul.

Tak habis pikir, mengapa gadis Perancis bisa begitu jorok dan acak-acakan? Apakah ini karena Laura terlalu lama melancongi Pulau Jawa?

“Hei, mengapa kamu serius mengamati pakaian dalamku?” Laura menyergapku, nyelonong masuk melewati pintu yang terbuka. Bahasa Inggrisnya terdengar sengau.

“Tengah malam begini kamu nekat mandi. Kata moyangku di Jawa, tidak elok mandi tengah malam,” jawabku.

“Ah, terlalu banyak aturan yang dibuat Orang Jawa,” balasnya sambil menanggalkan handuk yang melilit tubuhnya. “Kamu sendiri, jam segini baru pulang ke hostel. Habis dari mana? Dari Merlion Park lagi?”

“Iya. Aku bingung harus mencari Aisya ke mana lagi.”

“Secantik apa sih Aisya? Hingga kamu rela jauh-jauh dari Surabaya ke Singapura hanya untuk mencari perempuan yang dulunya pernah kamu sakiti,” Laura lagi-lagi menyerangku dengan pertanyaan itu.

“Entahlah, Laura. Susah melupakannya. Aku tidak menyakitinya!” timpalku.

“Apakah dia secantik aku?” ucapnya sambil memamerkan tubuh telanjangnya. Indah!

“Tak pantas membanding-bandingkan perempuan.”

“Ah, kamu lelaki Jawa. Selalu bertele-tele. Kebanyakan basa-basi.”

“Oh ya, sejak kapan kamu jadi anggota Nudis Club?”

“Sejak tujuh tahun lalu. Ketika usiaku belum genap 15 tahun.”

“Tidak malu melakukan ini? Maksudku telanjang di hadapanku dan di hadapan penghuni kamar 208 lainnya.”

“Tidak! Di kamar ini hanya ada delapan orang. Sedangkan kami sering telanjang di taman yang berisi ratusan orang. Biasa saja kok,” katanya sambil membereskan serakan buku dan pakaian dalam di ranjangnya.

“Taman mana?”

“Eropa.”

“Di mana?”

“Banyak tempat di Eropa yang menghargai Nudis Club.”

“Oh …” aku terbengong oleh suara klakson truk di jalanan yang menembus masuk ke kamar 208 di lantai 3 ini. “Sebaiknya kamu berpakaian. Aku risih dan malu.”

“Aku yang telanjang, mengapa kamu yang malu?”

Jawaban itu selalu kudengar dari mulut Laura ketika aku menyuruhnya berpakaian, sejak enam hari yang lalu aku menghuni kamar 208. Memang baru seumur jagung aku mengenal Laura, tapi bagiku serasa sudah mengenalnya bertahun-tahun.

“Selama ini aku yang selalu menceritakan kisahku. Gantian dong, kamu yang bercerita tentang kisahmu,” desis Laura merusak lamunanku. “Lekas ceritakan!”

“Ah, tidak ada yang menarik tentang kisahku, Laura.”

“Tentang Aisya saja kalau begitu.”

“Kan sudah aku ceritakan ketika kita ngobrol di kedai India depan hostel.”

“Tapi ceritamu bertele-tele. Tidak ada poin utamanya. Ah kau, lelaki Jawa memang selalu begitu …”

“Poinnya, aku ingin mencari Aisya. Aku ingin mengajaknya rujuk. Aku menyesal telah menceraikannya.”

“Itu bukan poin utama. Itu hanya sinopsis.”

“Kamu kebanyakan baca novel, Laura.” Balasku sambil melirik novel One Hundred Years of Solitude karya Gabriel Garcia Marquez yang ada di pangkuannya. “Mengapa kamu menyukai novel-novel Amerika Latin? Maksudku Marquez Orang Kolombia itu.” Tanyaku nyelimur.
“Kamu jangan membelokkan arah pembicaraan.” Laura memasukkan semua buku-bukunya ke dalam loker, kecuali yang dia pangku. “Jangan sok tahu tentang sastra. Tahu apa kamu tentang Marquez. Sudah, ceritakan tentang kisahmu saja.”

“Kamu kan sudah tahu. Aku ini pencerita yang buruk. Aku mudah risih, apalagi sambil melihatmu dalam kondisi seperti ini; telanjang. Ah, jangan paksa aku, Laura!”

“Justru malam ini aku ingin telanjang sampai pagi. Mumpung penghuni hostel lainnya sudah check out. Hanya kita berdua. Kita habiskan malam ini berdua. Ayo lekas, berceritalah!”

“Hah, kata siapa mereka sudah check out?”

“Tadi siang mereka pamitan. Lega rasanya melihat gerombolan pelancong Italia itu pergi dari hostel ini. Mereka jorok.”

“Kamu juga jorok.”

“Mananya?”

“Itu. Tadi. Segala macam pakaian dalam berserakan di ranjang. Spreinya juga acak-acakan.”

“Hah, kamu selalu memperhatikannya. Diam-diam kamu menyukai pakaian dalamku. Suka yang mana? Kuning atau merah muda?” Tawanya meledak.

“Mataku tidak bisa lepas dari pakaian dalammu, Laura. Karena, coba kau perhatikan, pakaian dalammu mencemari kamar ini.” Kataku sambil menunjuk beberapa lembar bra yang memenuhi sejumlah sudut kamar.

“Okay, aku akan lebih rapi lagi.”

“Kalau boleh tahu, seberapa banyak jumlah anggota Nudis Club di kotamu, Paris?”

“Banyak. Tak terhitung jumlahnya. Kami tidak hanya berasal dari Paris, tapi juga kota lain di Eropa.”

“Oh, sebegitu parah!”

“Ah, kamu rupanya tak suka dengan kaum kami?”

“Bukan tak suka. Tapi heran.”

“Berarti kamu suka melihat tubuh telanjangku?” Tawa Laura kembali meledak.

Tak ada kalimat yang bisa keluar dari mulutku. Semburat wajah Aisya tiba-tiba menyelimuti penglihatanku. Harum kerudungnya menusuk hidungku. Dan, keringatnya seakan sedang menempel di tubuhku seperti ketika persetubuhan terjadi di antara kita.

“Hei, kamu melamun. Pasti teringat Aisya lagi.”

“Susah melupakannya, Laura. Aku menyesal menceraikannya.”

“Selalu kalimat itu yang kudengar ketika menyinggung nama Aisya.”

“Ya begitulah.”

Tiba-tiba Laura meraih handuk di cantolan. Ia membungkus tubuh indahnya dengan handuk, kemudian meraih gagang pintu.

“Mau ke mana?”

“Ke kamar mandi. Buang air.”

Sedetik tanpa Laura di kamar 208, suasana mendadak hening dan suram. Yang terdengar hanya celoteh orang di jalanan bercampur bunyi klakson. Pendingin ruangan kumatikan. Jendela kubuka, kumoncongkan kepalaku keluar jendela. Kulihat wajah India melambaikan tangan ke arahku.

“Tumben tak makan malam di sini, kawan?” teriak pegawai kedai India. Bahasa Melayunya terdengar khas dibumbuhi dengan gerakan kepala enerjik.

Aku membalasnya dengan gelengan kepala, tapi tidak seenerjik gerakan kepalanya.

“Hari ini minuman gratis. Cuma bayar makan saja. Cukup bayar 2 Dollar saja.”

“Besok saja, kawan! Terima kasih. Malam ini aku masih kenyang.” Balasku sambil melengosi jendela.

Belum sepenuhnya kepalaku meninggalkan bibir jendela, Laura sudah muncul dari balik pintu.

Kemudian, sudah bisa ditebak, ia kembali menanggalkan handuknya, kembali dalam ketelanjangannya.

“Kau berteriak ke siapa?”

“Ke penjual nasi goreng di bawah sana. Katanya malam ini ada diskon.”

“Oh! Kamu sudah makan malam?”

“Sudah.”

“Di mana? Biasanya kamu selalu makan malam di tempat Orang India itu.”

“Tadi sebelum pulang, aku makan di dekat Stasiun MRT, di Rochor.”

“Ngomong-ngomong, sampai kapan kau di Singapura?”

“Sampai menemukan Aisya.”

“Kalau tidak menemukannya?”

“Aku pasti menemukannya!”

“Yakin?”

“Yakin!”

“Sejak kapan Aisya bekerja di Singapura? Kau boleh tidak menjawabnya. Aku sekedar bertanya saja. Yang kutahu dari ceritamu beberapa hari yang lalu, katanya dia jadi TKW di sini.”

“Sejak bercerai denganku. Dua tahun lalu. Ia memilih jadi TKW di sini ketimbang jualan rawon di Surabaya.”

“Seberapa besar cintamu kepada Aisya?”

“Tak terhingga, Laura.”

“Lalu, mengapa kau menceraikannya?”

Harum kerudung Aisya tiba-tiba kembali menusuk hidungku. Halus tangannya seakan mengelus tengkukku seperti ketika kita mengawali sebuah persetubuhan.

“Hei, kamu melamun lagi. Baiklah, jika kamu belum berkenan bercerita lebih detail kepadaku.”

“Iya, maafkan aku, Laura.”

“Sudah lupakan saja.”

“Kalau boleh tahu, sampai kapan kau di Singapura?”

“Mungkin seminggu lagi. Aku sedang menunggu kawan-kawan Nudis Club dari Munich.”

“Oh …”

“Di Munich ada sebuah taman yang memang diperuntukkan untuk Nudis Club. Kami bebas bertelanjang di sana sambil ngobrol-ngobrol tanpa ada gangguan dari kelompok sok moralis.”

“Oh …”

“Sepertinya kamu sudah ngantuk. Tidurlah. Simpan tenagamu untuk besok. Carilah dia sampai ketemu. Cinta memang harus diperjuangkan. Tapi ingat, jangan ada yang dikorbankan.”

“Dua kalimat terakhir terdengar sakral. Dari mana kau mendapatkannya?”

“Kalau pun kuberi tahu asal kalimat itu, kamu pasti tidak mengerti. Tahu apa kamu tentang sastra. Orang Indonesia kebanyakan, yang kupahami, selalu meremehkan sastra.”

“Demikianlah, Laura.”

“Sudah. Tidurlah. Ngomong-ngomong besok kamu akan mencarinya di mana?

“Di Garden By The Bay. Tadi aku dapat info dari kerabat Aisya di Surabaya, katanya dia bekerja di sana. Tapi entah bekerja sebagai apa.”

“Semoga beruntung mendapatkannya lagi. Tidurlah. Aku ingin mengekalkan ketelanjanganku sambil membaca novel ini,” jawabnya sambil mengacungkan One Hundred Years of Solitude.

“Satu pertanyaan lagi, kamu orang Perancis, mengapa menyukai buku-buku Amerika Latin?”

Sergapku ketika Laura membuka buku itu melalui apitan pembatas buku.

“Ah sudahlah. Meskipun aku menjawabnya, kamu tak akan paham. Orang Indonesia mana ada yang paham tentang sastra.” Kata Laura sambil melempar senyum mungil. “Sudahlah. Kamu sebaiknya tidur. Jangan ganggu aku. Aku ingin menuntaskan novel ini.”

Kubenamkan tubuhku dalam lautan selimut. Kupejamkan mata. Tapi bukan gelap yang kutangkap, melainkan benderang wajah Aisya yang menguasai seluruh inderaku. Aku susah tidur. Aku susah melupakan Aisya.

Tak lama kemudian, Laura naik ke ranjangku, menarik selimutku. Ada pancaran gairah di mata biru dan bibir merahnya.

“Kutuntaskan novel itu lain waktu. Sekarang aku ingin menerkammu,” bisik Laura.

Aku tak berdaya ketika dia menciumi wajah dan leherku. Tubuh telanjangnya mengambang menimpaku. Malam terasa amat panjang, dan pagi seakan tak pernah datang lagi.
***


* Terangkum dalam Buku Kumpulan Cerpen ‘Urbanhype’ Dewan Kesenian Surabaya (DKS) 2019, dengan predikat sebagai juara favorit.

Leave a Reply

Bahasa »