Pada tanggal 12 Juni 2021 pukul 14.33 sampai 14.34 WIB, saya mengirim foto via whatsapp ke nomor handphone pribadi Toeti Heraty Noerhadi, mengabarkan acara pernikahan anak sulung saya Havel Hardian dengan Rizky Savitri di Cilacap telah berlangsung dengan lancar, aman dan selamat. Pesan itu mulai bertanda centang biru beberapa jam kemudian, tanda telah diterima dan dibaca oleh Bu Toeti. Hampir sebulan sebelumnya, saat ayah saya Agustinus Lintoro meninggal (15 Mei 2021) pada usia 82 tahun, Bu Toeti menelpon saya dari handphonenya menyampaikan belasungkawa dan mengatakan: “Rudy kamu tabah, ya, memang orang lansia di usia 80 tahun ke atas kalau terjatuh sangat rentan sekali.” Bu Toeti lalu bercerita tentang suka duka menjadi lansia dan sempat tertawa kecil saat mengatakan bahwa ia belum lama terpiih menjadi contoh lansia sehat.
Saya mengenal Bu Toeti saat ia masih berusia 60an, yaitu pada tahun 1996. Perkenalan itu berawal dari keinginan saya sebagai seorang penulis muda berlatarbelakang Filsafat meminta kata pengantar kumpulan esai saya “Pelacur dan Politikus” yang akan diterbitkan oleh Graffiti Pustaka Utama. Begitulah kemudian pada suatu siang, seusai liputan, dengan mengendarai mobil Kijang hijau tua milik kantor majalah Jakarta Jakarta, saya menyerahkan draft naskah kepada sekretaris Bu Toeti, mba Ifa yang sampai bu Toeti meninggal tetap setia menemani. Perasaan saya waktu itu gamang, harap-harap cemas: apakah Bu Toeti akan bersedia menulis kata pengantar untuk buku kedua saya tersebut? Mengingat buku pertama saya Filsafat Sex, sudah terbit cukup lama, mungkin sekitar 3 tahun sebelumnya.
Saya sungguh terlonjak senang ketika tak sampai satu minggu kemudian, Ifa mengabarkan bahwa Bu Toeti bersedia menulis kata pengantar untuk buku Pelacur dan Politikus. Saya sangat bangga dan mungkin agak jadi besar kepala juga mendengar kabar itu. Tak mengira, filsuf perempuan hebat yang saya kagumi itu bersedia menulis kata pengantar untuk buku seorang penulis dan jurnalis muda yang masih mentah dalam pengalaman dan pemikiran. Ini bukti sederhana kebesaran hati seorang Toeti Heraty, sekaligus apresiasinya yang objektif dan jernih pada generasi muda. Saya katakan objektif dan jernih karena sebelumnya saya sama tidak mengenal bu Toeti dan jelas saya anak bawang alias bukan siapa-siapa dibandingkan dirinya.
Hanya dalam waktu sekitar seminggu lebih sedikit, kata pengantar yang membuat saya agak besar kepala itu diselesaikan Bu Toeti. Saya lalu diminta mba Ifa untuk datang mengambil di Jl. Cemara. Dan kepala saya jadi makin lebih besar lagi karena dalam kesempatan itu ibu menerima saya untuk ngobrol di rumahnya. Itulah perkenalan pertama saya yang sungguh menjadi momen sangat luar biasa dalam hidup saya. Saya bisa katakan merasa telah benar-benar menjadi seorang penulis saat itu. Jadi sebenarnya, Bu Toeti lah yang membabtis dan mentahbiskan saya sebagai seorang penulis meski saya telah mulai menulis sejak masuk kuliah di Fakultas Filsafat UGM tahun 1986.
Berikut saya kutipkan satu paragraf yang ditulis bu Toeti untuk buku Pelacur dan Politikus:
“Apakah persoalan tersebut (berbagai bentuk kekerasan dalam perilaku seks, red.) dapat diselesaikan dengan apa yang oleh Rudy diusulkan sebagai etika seksual? Etika merupakan refleksi terhadap moralitas dalam konteks interpersonal, tetapi bila suatu etika seksual hendak dikaji –kami anggap ini sebagai upaya terpuji, walau tentu diperlukan pemahaman perihal seksualitas yang komprehensif…” (hal. Xix, Pelacur dan Politikus, Graffiti Pers, 1997)
Pengantar itu sekaligus memperlihatkan betapa Toeti Heraty membaca setiap halaman naskah dengan cermat. Sebagai filsuf yang dibentuk dengan dasar pendidikan ilmu kedokteran selama 3 tahun sebelum ia kemudian memutuskan pindah belajar psikologi di Leiden sampai selesai, Toeti Heraty memiliki kecermatan dan ketelitian luar biasa. Ditambah dengan kepasitas intelektual yang sangat luas rentangnya sehingga ia bisa merambah berbagai disiplin ilmu sebelum berlabuh di dunia budaya dan filsafat. Hampir setiap esai saya dicermati dan dibahas dalam kata pengantar yang ditulis Bu Toeti. Ada kritik, ada pujian, ada saran dalam pengantar itu.
Lalu tiga tahun kemudian, pada tahun 1999, saat saya dalam proses meninggalkan majalah Jakarta Jakarta, Seno Gumira Ajidarma menawari saya untuk membantu Bu Toeti mengelola jurnal budaya dan filsafat “Mitra”. Jurnal yang didirikan bu Toeti itu sebelumnya dikelola oleh Eka Budianta. Tentu saja tawaran itu saya terima dengan antusias dan senang hati. Dalam hati saya berkata, kapan lagi bisa berkesempatan bekerja bersama dengan seorang Toeti Heraty? Saya kemudian berkantor di Jl. Tanjung yang saat itu masih menjadi gedung Yayasan Mitra Budaya. Di rumah tua yang memiliki perangkat gamelan tua di ruang belakangnya itulah saya kerap menghabiskan waktu sendirian sampai larut malam untuk mengerjakan jurnal Mitra. Terkadang saya mendengar gamelan itu berdenting tanpa ada yang menabuh saat malam sudah menebarkan nyanyi sunyi yang paling bisu).
Periode saya menjadi redaktur pelaksana jurnal Mitra (1999 – 2003) adalah periode paling intens dalam hubungan saya dengan Bu Toeti. Jurnal triwulan itu dibiayai dari kocek pribadi Bu Toeti dan mungkin menjadi satu-satunya jurnal budaya dan filsafat yang didirikan dan dimiliki oleh seorang budayawan sekaligus filsuf perempuan hanya karena kecintaan dan dedikasinya pada kebudayaan dan filsafat. Dalam menentukan tema utama setiap edisi, Bu Toeti sangat terbuka pada setiap usulan karena ia memang orang yang sangat open mind dan tidak selalu harus menjadikan dirinya sebagai pusat gagasan atau kebenaran. Saat agenda ngobrol gagasan awal tema Mitra, biasanya saya dipanggil ke Cemara dan berdiskusi berdua di ruang kerja sekaligus perpustakaan kecilnya yang nyaman.
Ruang itu non smoking, namun karena saya anak bandel dan perokok lumayan berat, biasaya setelah hampir satu jam ngobrol mulut saya mulai asem. Lalu saya akan sampaikan bahwa saya mau merokok dulu. Biasanya Bu Toeti langsung memanggil asisten pribadinya dan berkata: “Ambilkan asbak dan rokok ibu. Ibu mau merokok di sini.” Dengan wajah bengong karena ruang itu non smoking dan tak ada tamu yang merokok di situ, asisten itu segera memenuhi request bu Toeti. Terkenang hal itu, saya tersenyum sendiri. Saya sungguh seperti anak bandel yang kurang ajar pada ibunya sendiri. Tapi hal ini juga menegaskan bahwa Toeti Heraty bukan orang yang kaku. Ia fleksibel dan bahkan bisa melanggar aturan jika diperlukan.
Pernah ia mengatakan pada saya dalam sebuah obrolan sekitar 2 bulan lalu. “Kemajuan dicapai tidak melulu karena orang taat aturan, tapi juga karena keberanian orang untuk melanggar dan mendobrak aturan, terutama aturan-aturan yang tidak benar dan aturan-aturan yang terlalu kaku.” Meski ucapan itu ditujukan untuk masyarakat umum, entah mengapa saya merasa ibu juga secara khusus menyampaikan hanya untuk saya. Mungkin itulah kehebatan seorang filsuf seperti Toeti Heraty.
Saya merasa sangat terhormat dan bersyukur menjadi orang yang berkesempatan dekat dan langsung belajar banyak dari sosok Toeti Heraty. Dan karena kami sama-sama percaya bahwa hidup ini ajaib (kata ini menjadi tagline profile whatsapp saya dan menjadi judul fragmen biografi Toeti Heraty yang terbit tahun 2020 bersamaan dengan perayaan ulang tahun ke 87), maka kami pun secara ajaib dekat kembali dalam masa setahun terakhir hidupnya. Ya, ini sungguh ajaib karena sebelumnya saya tenggelam dalam berbagai gelombang kehidupan (kadang juga hanyut) sehingga selama bertahun-tahun tidak bertemu meski kami tetap saling memantau dengan berbagai cara.
Dalam sebuah pertemuan sekitar awal tahun 2021, saya bertanya pada Bu Toeti: Apa yang ingin ibu wujudkan dalam tahun ini? Bu Toeti langsung menjawab 5 gagasan yang sedang dipersiapkan dan mulai dikerjakannya. Saya langsung merespon dengan gaya agak galak: “Kurangi jadi tiga saja, Bu.” Sambil menajamkan tatapan mata tak kalah galaknya, bu Toeti menjawab: “Memangnya kenapa?” Saya pun menjawab dengan serius: “Kalau 5 gagasan ibu akan kecapekan dan itu tidak bagus untuk kesehatan. Jadi cukup 3 saja. Itu lebih masuk akal untuk dikelola secara produktif.” Bu Toeti pun mengangguk-anggukkan kepala, tanda setuju. “Baiklah, tiga saja.”
Selain tiga gagasannya, bu Toeti juga mendukung gagasan saya bersama Imran Hasibuan untuk memproduksi film biopict Ali Sadikin yang saat ini terus berproses. Jadi sampai akhir hidupnya, bu Toeti tak pernah berhenti berkarya dan bekerja. Ia mungkin adalah figur perempuan paling produktif di usia lansia yang seakan tak pernah kenal lelah. Ia terus mengalir seperti arus sungai yang tak pernah sama kecuali semangat perubahan yang menggerakkan arus itu. Dalam pertemuan terakhir saya pada awal Mei 2021, bu Toeti pun masih menanyakan progres film Ali Sadikin yang karena situasi ekonomi memang berjalan agak lamban.
Pada tanggal 13 Juni 2021 pukul 04.29 saat saya masih terlelap karena kelelahan seusai pernikahan anak sulung, handphone saya menerima sebuah pesan whatapps dari Bu Toeti. Saya terbangun sekitar pukul 07.00 dan setelah beberapa saat baru menghidupkan handphone. Sejumlah pesan masuk, namun satu pesan yang dihapus langsung menarik perhatian saya. Langsung menghilangkan sisa kantuk yang masih menyergap. Pesan yang dihapus itu dari Bu Toeti Heraty. Saya segera membukanya. This message was delated. 04.29. Saya tercenung. Bertanya-tanya, apa gerangan isi pesan yang dihapus itu? Mengapa ibu Toeti menghapusnya? Apakah ia baik-baik saja? Banyak pertanyaan langsung berkecamuk di kepala saya. Membuat perasaan saya jadi sedikit galau.
Pada pukul 07.20 saya menerima pesan WA dari Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid yang mengabarkan berita duka meninggalnya Toeti Heraty. Saya langsung terhenyak. Pikiran untuk beberapa saat serasa di-hack oleh penjahat cyber ganas yang keji. Antara kosong dan penuh berkelahi di ruang otak saya entah sebelah mana. Antara ada dan tiada saling tikam di bagian jiwa saya entah sebelah mana. Saya kembali membuka WA bu Toeti yang di kontak saya tertulis nama lengkapnya: Prof Toeti Heraty Noerhadi. Apa gerangan pesan yang engkau hapus, bu Toeti? Mengapa pesan itu kau hapus? Pada pukul 15.00 akhirnya saya tidak bertanya-tanya lagi. Saya sudah paham bahwa saya harus terus mencari jawaban sepanjang hidup saya sebagaimana bu Toeti melakukannya sebagai seorang filsuf dan budayawan.
Sanggrahan, 13 Juni 2021
*) FX Rudy Gunawan, penulis cerita pendek, esai, novel, dan artikel jurnalistik. Ia mulai menerbitkan karyanya dan bekerja sebagai jurnalis semenjak tahun 1992. Buku-bukunya telah diterbitkan Gramedia, Graffiti, Bentang Pustaka, Galang Press, Media Presindo, dan Gagas Media.
Photo: Toeti during her student days in Amsterdam in a play in 1957. (Photo courtesy of Toeti Heraty N. Roosseno)