Wawancara di bawah ini, diambil dari Grup Facebook Apresiasi Sastra (APSAS) Indonesia
Agus R. Subagyo: “Salam kenal Mbak Annie Tucker. Aku adalah seorang petani dari Nganjuk, Jawa Timur. Pertanyaan: Apakah ada kesulitan terkait kultur (budaya) dalam proses penerjemahan (pengalihbahasaan)?”
Annie Tucker: “Salam kenal Mas Agus, dan terima kasih untuk pertanyaannya. Sebenarnya ada banyak ya. Ini dua contoh saja.
Satu kesulitan terletak dengan menangani kata yang khusus, kata yang hanya berada dalam Bahasa atau Budaya Indonesia atau Asia Tenggara. Misalnya, di salah satu cerpen yang saya sedang kerjakan, ada kata “tuyul.” Di budaya USA, tidak ada tuyul. Nah, bagaimana? Kalau diganti ke mahkluk yang ada di USA, misalnya “goblin” itu sangat kurang pas, tidak memuaskan. Kalau dikasih footnote itu merusak irama pembacaan. Kalau dijelaskan kadang bisa, biasanya kalau ceritanya ditulis dalam “third person” ada caranya memakai kata asli bersama satu frasa atau sebagainya yang memberi sebuah definisi yang tidak terlalu mengganggu ceritanya, tapi di kasus ini kata tuyul itu muncul dalam dialog, jadi tidak mungkin. Kalau dibiarkan saja, pembaca akan bingung sebentar. Tapi kadang saya lebih suka pemilihan terakhir. Biar “rasa” Indonesia ditahankan, biar mungkin pembaca jadi penasaran, mencoba cari di google kata itu, terus dapat sedikit info tentang budaya Indonesia.
Juga harus ditimbang, bagaimana berkomunikasi aspek budaya yang ditanam dalam bahasa. Misalnya, kalau Bahasa Indonesia sering pakai struktur “pasif”: kalau menulis dalam B. Indonesia, sesuatu dilakukan kepada seseorang, atau hal-hal bisa “terjadi” tanpa subjek aktif yang melakukannya langsung disebutkan. Kalau B. Inggeris, lebih sering subyek melakukan sesuatu kepada objek, kalimat-kalimatnya aktif. Ini juga mencerminkan sebuah sikap budaya. Kapan rasa pasif itu bisa dipertahankan demi alasan budaya, jadi aspek budaya juga disampaikan, dan kapan lebih baik diganti demi lancarnya kalimat dalam B. Inggeris?”
Agus R. Subagyo: “Terimakasih Mbak Annie.”
***
Syaifuddin Gani: “Mbak Annie Tucker, bagaimana penerimaan karya sastra Indonesia yang telah diterjemahkan itu bagi pembaca luas di mancanegara? Bagaimana prospek sastra Indonesia, khususnya puisi bagi kerja penerjemahan dan penerimaan pembaca di mancanegara? Salam.”
Annie Tucker: “Syaifuddin Gani, terima kasih dan ma’af ya jawaban agak terlambat Mas. Ya, kalau menurut saya, prospeknya bagus sih! Memang puisi itu, dalam Inggeris asli atau terjemahan, akan jadi soal hati/jiwa, tidak akan mainstream, akan tetapi selalu ada ruangnya untuk puisi. Ada banyak penerbit indie yang berdedikasi kepada puisi terjemahan, termasuk beberapa penerbit baru, misalnya Tilted Axis Press yang sudah mengeluarkan karya tiga penyair Indonesia: Khairani Barokka, Norman Pasaribu, dan Intan Paramaditha (sebagai editor). Saya rasa ada gerakan ke Southeast Asia, kalau dalam sastra terjemahan di sini sudah terbiasa lihat judul dari Korea dan Japan, jadi pembaca sekarang mulai penasaran membaca buku dari negara/budaya yang sampai ini kurang terwakili, misalnya Indonesia. Nah, kalau saya boleh tanya balik, apakah ada tempat online khusus untuk puisi di Indonesia? Websites atau blog, surat kabar/majalah online yang bisa dibaca dari USA sini, biar penerjemah bisa lebih kenal puisi baru dari Indonesia? Terima kasih.”
Raudal Tanjung Banua: “Ada, antara lain hari puisi asuhan Juru Baca dan https://www.arsippenyairmadura.com/
Juru Baca: “Saya kelola antologi http://www.haripuisi.com/ juga mengelola majalah Mata Puisi diedarkan dalam pdf (mohon email, saya akan kirim nomor contoh). Dan Terimakasih, Raudal.”
Annie Tucker: “Juru Baca dan Raudal Tanjung Banua, Wow! Terima kasih, baru tahu tentang situs-situs ini, tidak sabar membaca!”
Syaifuddin Gani: “Terima kasih Mbak Annie Tucker telah menjawab pertanyaan saya. Mengenai “tempat online khusus untuk puisi di Indonesia”, sudah dibantu jawab oleh Raudal Tanjung Banua dan Juru Baca. Selebihnya, puisi-puisi Indonesia itu terserak di berbagai majalah sastra digital dan blog-blog pribadi para penyair Indonesia. Selain dua laman/blog yang sudah disebut di atas, ada majalah sastra berbasis digital yang selain memuat puisi, juga cerpen dan esai, misalnya https://basabasi.co/ , https://www.buruan.co/ , https://magrib.id/ , https://asyikasyik.com/ , http://sastra-indonesia.com/ . Sekadar menyebut beberapa saja. Terima kasih.”
Annie Tucker: “Terima kasih Mas! Dulu saya dikasih tahu tentang puisi Mas Syaifuddin lewat Lontar ya, majalah I-Lit yang sudah tidak ada lagi. Pasti situs-situs seperti yang disebut di atas bisa menjadi referensi hebat buat saya.”
Syaifuddin Gani: “Iya benar, Mbak. Sayang I-Lit sudah tidak aktif lagi. Selamat membaca puisi2 Indonesia pada situs2 di atas. Saya yakin masih sangat banyak situs di Indonesia yang memuat puisi Indonesia, yang terserak ke berbagai sumber laman. Nanti infonya bisa menyusul lagi, Mbak. Salam.”
Sigit Susanto: “Rokib M Kasmuri, seorang dosen sastra di sebuah universitas di Surabaya, kini sedang menulis tugas utk S3nya di Uni Goethe, Frankfurt bertema sejarah Sastra Cyber dari tahun 2000 sampai tahun 2006. Monggo Cak Rokib M Kasmuri bisa tambahkan situs2 cyber zaman brahula yang masih bisa diakses hingga kini.”
***
Andy Eswe: “Halow Mbak… Annie. Salam kenal, saya Andy Eswe. Mau tanya nih. Bagaimana proses kerja penerjemahan puisi itu? Apakah dibaca semua teks terlebih dulu lalu satu persatu diterjemahkan atau bagaimana? Dan terkait dengan makna-makna yang ada dalam puisi itu, bagaimana pendekatan bahasanya, agar diksinya tidak pudar ketika dialih bahasakan? Terimakasih Mbak..”
Annie Tucker: Halo Andy Eswa, ma’af ya jawabannya terlambat, di sini habis akhir pekan dan ada beberapa kewajiban keluarga. Terima kasih untuk pertanyaannya. Saya sangat menikmati menerjemahkan puisi, tapi kurang berpengalaman kalau dibandingkan dengan fiksi lain (novel). Tapi memang prosesnya mirip, saya mulai dengan penerjemahan “kasar” satu puisi atau satu kumpulan puisi, setelah itu memperbaiki penerjemahan pertama itu sedikit demi sedikit supaya rasa, makna, irama, dan suara bisa dipertahankan semaksimal mungkin. Ini tergantung puisinya dan caranya bisa berbeda-beda, bisa jadi sedikit seperti teka-teki. Kalau puisi aslinya itu bersajak, mungkin irama dan suara kata-kata harus diutamakan, kalau bebas mungkin rasa dan makna yang diutamakan. Saya banyak membacakan, kadang kepada teman atau suami saya, kadang hal itu memperjelas kata-kata atau baris yang belum pas. Karena untuk puisi pilihan kata harus lebih presis, mungkin saya kerjakan riset sedikit, untuk cari kata yang tepat; sejarah, atau dll yang tepat dipakai tergantung puisinya.”
Andy Eswe: “Waahh… Terimakasih Mbak Annie sudah mau berbagi. Dan senang bisa mulai mengerti proses penerjemahan puisi. Maaf Mbak, kalo boleh tahu, kumpulan puisi apa saja judulnya yang Mbak terjemahin. Saya ingin membacanya. Salam kreatif dan terima kasih juga kepada Tim Admin Apresiasi Sastra dan Pak Nurel yang telah membuka ruang sastra ini ya…”
Nurel Javissyarqi: “Bukan hanya saya saja Mas, tapi tim admin Apsas, dan kehadiran Mbakyu Annie Tucker berkat undangan Mas Sigit Susanto. Saya sekadar tukang posting, dan matur suwon sanget sudah berkenan mampir kemari…”
Andy Eswe: “Oke Mas, saya tambahin ya… Hehhe… Sip pokoknya… Saya nyimak trus.”
Annie Tucker: “Eswe, saya belum menerjemahkan buku puisi sendiri, tapi beruntung ikut proyek The Lontar Anthology of Modern Poetry. https://lontar.org/product/the-lontar-anthology-of-indonesian-poetry-the-twentieth-century-in-poetry/ . Dan ini mau sharing saja, ada virtual event kalau ada yang tertarik (gratis) https://www.eventbrite.com/e/world-premiere-staged-reading-in-english-translation-of-oh-by-putu-wijaya-registration-159739363737 .”
***
Sigit Susanto: “Helo, Annie Tucker, ya pertemuanku dengan Annie Tucker pertama di Yogya, kalau tak salah tahun 2015, saat itu 2 cerpen teman Apsas, Bamby Cahyadi dan Niduparas Erlang diterjemahkan oleh Annie dan dimuat pada buku A Graveside Ritual. Saat itu aku pinjam motor di rumah Puthut dan diantar Heri Chandrasantosa. Annie bilang, bahwa ia sudah menerjemahkan 3 bab dari CIL-nya kang Eka Kurniawan, sayang emailnya tak dibalas. Seketika itu aku telepon Kang Eka, dan esoknya ia datang bertemu di acara Apsas di Iboekoe, alun2 kidul. Hadir menemani Kang Eka, Mas Agus Noor. Yang ingin kutanyakan, Annie bilang, kalau menerjemahkan lebih suka di luar ruangan, lalu kubayangkan:
1). Bagaimana di musim dingin di USA, tentu tak bisa menerjemahkan di luar rumah? 2). Pertimbangan apa Annie menghadiahi 2 buku Joyce Dubliners dan A Portrait ke Wawan Eko Yulianto? Sebab ke 2 buku tersebut langsung diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, impianku Annie menghadiahi Ulysses, sehingga mungkin sudah diindonesiakan oleh Cak Wawan. 3). Bagaimana cara paling mudah membawa karya sastra Indonesia ke publik dunia: apakah pengarang harus aktif mencari penerjemah atau mengikuti berbagai lomba? 4). Adakah terjemahanmu yang gagal dan bagaimana mengatasinya? 5). Seperti apa selera pembaca Amerika yang diharapkan dari pengarang luar seperti dari Indonesia. Terima Kasih very big. Salam.”
Annie Tucker: “Terima kasih Mas Sigit Susanto, untuk pertanyaannya dan sudah mensupport perjalanan saya bagi penerjemah. Saya jawab satu per satu ya….
1). Walaupun orang New Yorker asli, saya tidak pernah cocok dengan musim dingin, makanya saya ke Indonesia terus menetap di Los Angeles hehe. Biar kerja di luar terus.
2). Waktu itu saya kirim yang 2 Joyce itu mungkin karena tidak terlalu tebal/berat hehe… saya sendiri belum membaca Ulysses seutuhnya! Kalau Mas Wawan Eko Yulianto atau yang lain tertarik, tentu saja saya siap mengirim.
3). Sampai saat ini, saya pernah dihubungi penulis langsung, tapi lebih sering oleh penerbit (Indonesia atau USA) yang mencari penerjemah. Bisa jadi juga saya sendiri yang menghubungi penulis. Jadi mungkin kesimpulannya adalah, kalau penulis aktif menerbitkan karya, itu paling penting. Akan tetapi, kalau penulis mencari penerjemah sendiri, bisa membantu juga, kenapa tidak? Memang, kalau penulis sudah dapat penghargaan di Indonesia, tentu saja itu memancing penerbit asing dalam langkah proposal, misalnya proposal dari saya, dari agent, atau dari penerbit Indonesia yang coba jual versi Inggeris. Kalau terlihat, oh, ini sudah menang penghargaan ini itu, berarti penulis sudah populer atau “terbukti” di Indonesia, pasti mereka mau paling tidak membaca samplenya. Tapi tidak harus seperti itu juga; khususnya cerpen, saya pernah menerbitkan beberapa penerjemahan di mana editor atau penerbit belum tahu tentang biodata penulis, mereka hanya suka ceritanya dan mau menerbitkannya karena tulisannya, CV penulis itu baru dikasih setelah karyanya diterima.
4). Kalau tulisan saya sendiri, memang pernah (sering?) gagal tapi semoga dari terjemahan belum ada yang gagal karena versi aslinya tidak gagal! Memang selalu ada “room for improvement”… kalau saya baru selesai menerjemahkan sesuatu dan sudah puas, hanya butuh menunggu beberapa minggu, atau bulan, atau tahun, kalau saya membacanya ulang pasti selalu ada kata atau kalimat atau paragraf yang saya ingin memperbaiki… tapi ada deadline, dan seperti dosen saya pernah bilang, kalau saya boleh ganti sedikit, “Penerjemahan yang bagus, itu penerjemahan yang selesai.” Jadi hanya tinggal hidup damai dengan “inner critic” dan terus mencoba membawakan sastra Indonesia ke pembaca B. Inggeris, itu saja.
Nah, mungkin perasaan gagal itu muncul ketika susah dapat penerbit. Ada salah satu buku yang sudah diterjemahkan, sudah dapat penghargaan di USA dalam rangka grant award, ada satu bab yang sudah diterbitkan di majalah, tapi untuk novel utuhnya, setelah beberapa tahun, belum bertemu penerbit yang cocok. Saya bingung, sedikit kecewa juga, karena saya sangat suka novel ini, dan sampai di sini, alasannya untuk tidak diterima yang kami sudah dapati adalah isu-isu yang dibahas di novel ini itu terlalu “spesifik” ke Indonesia untuk pembaca asing… tentu saja, saya tidak setuju! Tapi harus sabar, pasti ada penerbit yang tertarik.
5). Pertanyaan yang bagus Mas, apa jawabannya ya? Kenapa orang membaca buku dalam terjemahan pada umumnya? Mungkin untuk dapat jalan-jalan lewat sastra ke suatu tempat mereka -belum pernah mengalami, atau suatu tempat mereka ingin mengunjungi? Mungkin karena mereka mencari cerita, tokoh atau aesthetic yang lebih langka?
Untuk pembaca USA (dan ini tidak tentu sama dengan pembaca Australi, atau UK, atau pembaca B. Inggeris sedunia), mereka tidak terlalu kenal Indonesia, kalau dibandingkan dengan Perancis atau America Latin, misalnya. Jadi, saya lebih tahu apa yang saya ingin menyampaikan ke pembaca, memperkenalkan sesuatu yang rasanya “Indonesia” buat saya. Dan itu mungkin bisa jadi semacam kejutan. Misalnya, saya pernah membaca/melihat karya R.E Hartanto, kalau tidak salah direkomendasikan oleh Puthut EA. “Endorphin” itu bukunya. Pendapat saya adalah, humornya sangat khas, sangat Indonesia. Kalau membacanya, saya merasa seperti nongkrong dengan teman-teman, saling tukar candaan. Humornya sangat tajam, dalam makna positif. Rasa ini, saya kira bisa dinikmati pembaca USA. Atau contoh yang lain, saya pernah dapat membaca komentar di beberapa website tentang Nirzona oleh Abidah El-Khalieqey. Ada yang bilang, saya memilih membaca buku ini karena mencari cerita cinta, ternyata saya belajar banyak tentang sejarah Aceh.
Jadi, bagi saya, mungkin pembaca belum tahu apa yang mereka cari dari sastra Indonesia dalam terjemahan, tapi pokoknya ruangnya masih luas, tidak seperti sastra Jerman, Perancis, misalnya. Hampir semuanya dari Indonesi itu baru buat pembaca USA, jadi kesempatannya masih banyak. Danke shoen Mas.
Sigit Susanto: “Terima kasih sekali Annie Tucker yang meluangkan waktu menjawab panjang lebar juga menjawab ke teman-teman lain. Sukses ya.”
Annie Tucker: “Sigit Susanto, Nurel Javissyarqi dan teman-teman semua terima kasih, maturnuwun untuk kesempatan ini, ngobrol, dan informasi. Kalau ada yang mau ditanyakan lagi, silahkan DM saya, kalau ada yang kurang, saya minta maaf. Semoga bisa bertemu lagi di FB atau dunia nyata.”
Sigit Susanto: “Sepertinya Andy Eswe perlu dicarikan akses bisa pentas grup teaternya di USA. Dia sudah menelorkan banyak karya teater.”
Nurel Javissyarqi: “Amien… ya Robbal alamien…”
***
Sebagian buku-buku karya terjemahan Annie Tucker:
***
2 Replies to “Obrolan penerjemahan karya dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris bersama Annie Tucker (II)”