(Sebuah Laporan Hasil Baca)
Menulis puisi adalah sebuah kegiatan proses kreatif seorang intelektual handal: semacam kegiatan yang menuntut seorang penyair harus benar-benar bisa cerdas, harus benar-benar bisa menguasai bahasa, harus luas wawasannya, dan juga harus selalu bisa peka terhadap segala perasaan tentunya (Suminto A. Sayuti)
***
Barangkali, kita bisa membayangkan sejenak: di pagi yang cerah ini kita bersama-sama merasakan desau dan gemuruh riuh angin. Angin silir-semilir yang tengah menampakkan belaian-belaian lembutnya di ranting-ranting daun cemara. Tanpa disadari, beberapa helai daun cemara yang sudah tampak kering kecokelat-cokelatan itu gugur dan berjatuhan beriringan ke tanah. Lalu, tanpa kita sadari pula, sehelai dari daun cemara itu jatuh tepat di atas kepala kita.
Kita sama-sama mengetahui dan merasakannya benar —bahwa sehelai daun kering itu telah menempel perlahan, mengganjal, atau bahkan mungkin sampai menyelinap di ruas-ruas rambut. Dan pastilah akan ada satu pertanyaan yang harus sesegera kita jawab: bagaimana perasaan dan kesadaran kita akan fakta atau pengalaman empirik seperti itu?
Satu hal yang pasti akan muncul sekilas di benak-benak kita —pribadi masing-masing, tentulah pasti akan berbeda-beda kepekaan rasa dan kesadarannya akan fakta atau pengalaman empirik itu. Mungkin sebagian dari kita ada yang merasa cuek bebek atau membiarkannya begitu saja, mungkin ada salah satu di antara kita yang secara spontanitas marah dan menggerutu: memungut daun lalu dengan nada sinis memarahi si daun, mungkin ada juga sebagian di antara kita yang menyikapinya dengan rileks: memasang simpul-simpul senyum lalu dengan perlahan-lahan tapi pasti mencoba menafsirkan sejenak tentang peristiwa —mencari makna yang tersembunyi di balik peristiwa jatuh dan bergugurnya daun-daun cemara itu, dan lain-lain.
Hal semacam inilah yang terkadang dan pasti pernah dialami atau dirasakan oleh kita atau setiap orang. Semua keberagaman atas pengalaman-pengalaman empirik yang terkadang bisa menyentuh perasaan itu, dimungkinkan bisa memberikan sikap atau respons. Atau mungkin juga tidak. Dengan demikian, jika paparan sederhana ini harus saya pertajam lagi dengan kutipan Suminto A. Sayuti di atas (baca: sebelum prolog), maka bagaimana dengan seseorang yang telah menasbihkan dirinya menulis puisi? Apakah menulis puisi itu mudah? Barangkali saja secara bijak saya hanya memberi jawaban singkat: Ya, mudah jika syarat sebagai seorang penulis puisi telah terpenuhi.
Orang yang sudah selesai menulis puisi —sudah pasti akan disebut sebagai penyair yang tidak akan meremehkan semua peristiwa yang sudah pernah dilihat dan dialaminya. Segala sesuatu yang sudah dilihat atau dialami yang lebih lanjut umum disebut-sebut sebagai pengalaman, —bahwa seorang penyair tidak akan pernah luput atau lepas dari perhatian (kepekaan batin), yang menjadikan semua hal itu menjadi sesuatu yang bisa selalu memberi makna penting bagi manusia. Manusia yang memiliki kesadaran eksistensial tentunya.
Lalu, jika sudah demikian, bagaimana dengan proses kreatif Ragil Supriyatno Samid sebagai sosok seorang penyair? Melalui cipta sastra atau sebuah antologi puisi bertajuk Avontur yang diterbitkan Mozaik Books Malang tahun 2012 tentunya.
***
Avontur? Satu pertanyaan awal inilah yang pertama kali melingkungi urat-urat syaraf otak saya tatkala membaca judul antologi puisi Ragil Supriyatno Samid. Ya, Avontur. Satu kata yang memberikan penafsiran-penafsiran mendalam dan padat makna. Saya pun mulai membaca berulang-ulang judul, mengeja-eja: A-von-tur, Avon-tur, berharap sesegera mungkin saya bisa menemukan arti atau pemaknaan teks yang sebenar-benarnya. Di sela-sela mengeja, saya juga mencoba menafsirkan satu kata itu dengan cara mengorelasikan teks (judul) dengan ilustrasi gambar sampul depan yang tampak indah memesona.
Saya pun mulai melakukan pembacaan secara primitif, entah pemaknaan atau kaca mata saya memandang atau memaknai ilustrasi cover buku itu sudah benar atau salah. Di sampul depan (cover) saya mencermati sosok atau salah seorang —entah laki-laki atau perempuan yang sedang berdiri tegak, memakai topeng kayu, memakai jas hujan berwarna biru, dan kedua tangannya memegang payung berwarna merah menyala. Sebuah pemaknaan singkat tentang sosok manusia yang sedang berusaha mengeja alam raya, yang selalu ingin merasakan kebebasan dalam berekspresi dan merasa nyaman pada dunianya sendiri.
Pencitraan topeng lebih mengidentifikasi tentang sosok manusia yang idealis. Begitu juga kupu-kupu putih dan awan-awan berwarna hijau, menampakkan sisi terang-benderang tentang keindahan dan ke-glamour-an warna kehidupan di sekitarnya. Di dalam cover itu juga saya mendapati corak atau warna terang dan gelap di atas dan bawah. Dengan pemaknaan singkat bahwa ada dua sisi penting yang beroposisi—yang selalu bersinggungan dalam satu paruh waktu.
Alhasil, dengan sedikit berpikir panjang serta meleburkan diri pada sarana atau media eletronik (internet) saya pun akhirnya menemukan arti. Sangat jelas sekali, Avontur adalah kosakata yang mempunyai arti tentang pertualangan, pengembaraan, perjalanan, pelawatan, dan pengelanaan.
Buku Avontur karya Ragil ini menghimpun sebanyak 53 judul puisi, yang ditulis pada kurun waktu tahun 1999-2010. Dengan pemerincian: tahun 1999 sebanyak 7 judul, tahun 2000 sebanyak 5 judul, tahun 2001 sebanyak 10 judul, tahun 2002 sebanyak 2 judul, tahun 2003 sebanyak 1 judul, tahun 2004 sebanyak 2 judul, tahun 2005 sebanyak 6 judul, tahun 2006 sebanyak 11 judul, tahun 2007 sebanyak 2 judul, tahun 2008 sebanyak 2 judul, tahun 2009 sebanyak 2 judul, dan terakhir tahun 2010 sebanyak 3 judul puisi.
Pemerincian tulisan yang barangkali saja bisa saya maknai sebagai penampakan tentang produktivitas menulis, —bahwa produktivitas penyair lebih bertumpu pada proses kreatif di tahun 2006. Melalui pengalaman yang lebih beragam tentunya. Mengapa demikian?
Membaca dan mencermati setiap judul dan puisi Ragil inilah saya mendapati satu jalinan peristiwa yang terakumulasikan di dalam antologi, terlebih tentang pereduksian setiap peristiwa yang dialami si penyair dalam kurun waktu tahun 1999-2010. Melalui perjalanan atau pertualangan yang panjang tentunya. Hal tersebut bisa dibuktikan dari bagaimana penyair menata judul puisi sesuai dengan pola keruntutan tahun penciptaan puisi. Dan sebagai pembuktian nyata atas dipilihnya salah satu judul Avontur sebagai judul buku antologi.
Secara sederhana, saya bisa menyatakan bahwa antologi puisi Avontur ini mencakup tiga hal tentang jalinan peristiwa penting, antara lain (1) proses kreatif penyair sebelum berpetualangan (prapertualangan), (2) proses berpertualangan, dan (3) pascapertualangan (sesudah pertualangan). Bisa kita simak pada puisi pertama, sebagai bagian dari prapertualangan.
Bundaku Pertiwi
dalam atmosfermu, janinku
di bawah langitmu, lahirku
bersama pelukan hutanmu hidupku
bundaku pertiwi
kini tubuhmu menggigil
terkena kibaran angin warna warni
warna keserakahan
dan beribu warna kebingungan (Samid, 2012: 11)
Kutipan dua bait puisi di atas membuktikan bahwa nampaknya tipografi puisi-puisi di dalam Avontur secara keseluruhan merujuk pada bentuk yang sudah diusung oleh penyair-penyair terdahulu, —sebut saja penyair Chairil Anwar. Begitu juga tentang tema-tema yang diusung tiap-tiap judul puisinya, yang lebih banyak mengusung tematik-tematik tentang cinta. Utamanya cinta pada tanah air, cinta pada tempat-tempat persinggahan penyair dalam mempelajari dan memperoleh ilmu alam, dan cinta yang lain sebagainya.
Di dalam Avontur inilah proses kontemplasi atau perenungan secara mendalam sekaligus proses kepekaan si avonturir pun dimulai. Melalui perjalanan panjang serta melalui proses perenungan terhadap pengalaman-pengalaman empirik yang sudah dilihat atau dialaminya secara nyata, selama berpertualang pada kurun waktu tertentu.
Untuk perjalanan panjang sastra Indonesia sendiri —singkat setelah peristiwa Gagalnya Kudeta PKI 1965— kebebasan untuk merombak konvensi dan melakukan eksperimentasi yang cenderung ekstrim tampak begitu menggelora, hingga kini. Hal ini juga berimbas pada corak pernyair-penyair terdahulu, begitu juga hampir tampak pada keseluruhan judul puisi-puisi Ragil ini —yang secara keseluruhan larik-lariknya dimulai dengan huruf kecil atau bukan huruf kapital. Secara konkrit, puisi-puisi Avontur menggunakan bahasa figuratif. Tampak jelas pada setiap judul puisi beserta larik-larik yang diciptakannya. Misalnya pada teks judul-judul puisi Bundaku Pertiwi, Menyayat Bulan, Menggambar Bulan, Bulan Setengah Redup, Matahari Hijau, dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya coba kita perhatikan kutipan puisi berikut.
Avontur
kau ketuk tiap daun pintu di setiap
kota. kau singgah
mencuri oksigen dan menorah
jejak kemudian pergi.
lalu,
jejak siapa yang tinggal di kamarmu
(Samid, 2012:48)
Memaknai secara eksplisit salah satu teks puisi pamungkas di atas, sudah sangat tampak jelas sekali bagaimana isi atau larik-lariknya secara keseluruhan merujuk pada makna judul yang sebenarnya: pertualangan. Perhatikan larik yang berbunyi liris: kau ketuk tiap daun pintu di setiap kota// kau singgah// mencuri oksigen dan menoreh jejak// kemudian pergi// lalu, jejak siapa yang tinggal di kamarmu.
Dengan demikian, tampak jelas bagaimana si aku lirih (sang avonturir) melenyapkan atau menghilangkan diri pada konteks subjektivitas penyair (tentang ke-aku-an). Sang penyair (Si Aku) memosisikan dirinya sebagai kata ganti orang kedua (tunggal; kau) —sebagai bentuk seruan atau sapaan kepada dirinya sendiri. Tanda ‘daun pintu’ di setiap kota, mempunyai makna lebih bahwa sang avonturir sedang melakukan misi pertualangan panjang, sedang menyusuri lorong-lorong waktu, antardesa, antarkota, dan antarpropinsi— terlebih juga tentang antarpulau.
Sang avonturir tengah mengultuskan atau menasbihkan dirinya sebagai sosok perantau (Ex: Si Bolang), yang sedang haus dahaga akan ilmu atau pelajaran tentang kehidupan, pelajaran tentang arti penting kesetiakawanan, tentang kecintaan pada alam, manusia atau sesama, agama, dan lain-lain.
Pencitraan gaya bahasa Avontur karya Ragil Supriyatno Samid saya rasakan begitu lugas, baik dari sisi pemilihan diksi yang liris dan padat makna kata, pengimajinasian jalinan atau pondasi-pondasi teks yang kuat, termasuk kebervariasian permajasan (baik yang mencakup tentang lambang dan kiasan). Akan tetapi, sebagai pembaca yang masih awam hampir secara keseluruhan saya merasakan sedikit kekurangpaduan pada sisi versifikasi teks, baik dalam konteks ritma, rima, dan metrum.
Entah disengaja atau tidak oleh si penyair, —bahwa ada keganjilan yang luar biasa pada pemenggalan larik-larik di setiap bait puisi-puisi yang usai ditulis. Dengan demikian, pergantian turun naik, panjang pendeknya teks atau larik, keras lembutnya ucapan bunyi bahasa menjadi terkesan kurang menampilkan estetika dalam konteks persajakan. Perhatikan beberapa contoh kutipan larik pada beberapa puisi Ragil di bawah ini.
awanmu adalah asap hitam uap angkara tanahmu
memerah dengan sepoi angin yang
membawa segar anyir
darah anak anakmu (Samid, 2012:11)
kabut pekat menggiring buta sepasukan awan hitam
yang menyirami bumi dengan
angkara bersama
kebengisan purba (Samid, 2012:15)
ini mimpi orang aring tentang kemajuan zaman yang
berderak membisukan moyang koyak (Samid, 2012:17)
ada yang jatuh ketika aliran itu terus mengalir lepas atau
tersendat menghambat dan beku
lalu, sampai kapan harus
menetap pada gemuruh stagnasi sampai kapan terus
menyalahkan roda peradapan (Samid, 2012:19)
kita adalah anak nusa
yang disemai debu tanah kering dan
lambaian rumput-rumput coklat (Samid, 2012:20)
kita memang tidak akan pernah bisa
melepas semua arketip yang telah
mengakar dalam otak dan pembuluh darah tak
terkira perihnya memang jika
harus sendiri menikam, sendiri menusuk (Samid, 2012: 33)
karena cinta yang meluap kita jadi begitu
acuh. bahasa kasih yang terperi hanya
pasang gelombang dan banjir bandang melulu (Samid, 2012: 40)
Tentunya mencermati beberapa kutipan di atas, —terutama pada padanan-padanan kata penghubung, tampak kerancuan dan keganjilan, yang pada akhirnya bisa dinilai puisi menjadi kurang apik, kurang indah dipandang mata, atau kurang menjadi estetis dalam segi versifikasi. Utamanya versifikasi dalam pemenggalan kata pada tiap-tiap larik puisi. Tapi, hal sedemikian menjadi lumrah-lumrah saja, lantaran setip penyair mempunyai konsepsi berpikir dan kebebasan berekspresi. Konsepsi berpikir dan kebebasan berekspresi yang diproyeksikan ke dalam karya-karya tulis kreatifnya, agar karya puisi yang sudah dilahirkan menjadi lebih hidup dan tidak mati seketika seusai dibaca oleh para pembacanya.
***
Ya, permasalahan yang diangkat oleh Ragil Supriyatno Samid yang akrab saya sebut sebagai sang avonturir melalui Avontur-nya ini sejatinya adalah persoalan-persoalan tentang kehidupan. Utamanya dalam menempatkan atau memosisikan diri yang benar dan bermakna. Persoalan hidup yang sejatinya saja bisa diakumulasikan atau direpresentasikan melalui kepekaan-kepekaan estetis sang avonturir melalui proses pertualangan yang panjang. Baik persoalan yang berkenaan dengan nasib, persoalan yang mempunyai hubungan antara kebebasan dan keterpaksaan, persoalan tentang semangat hidup manusia, termasuk persoalan dalam memahami arti hadirnya alam raya.
Persoalan-persoalan yang barangkali bersifat religius dan mendangkal dalam lubuk hati atau perasaan seorang manusia, yang pada akhirnya menuntun kebijaksanaan sikap terhadap peleburan dosa dan keselamatan. Persoalan tentang perasaan terhadap alam, mitos, dan ilmu gaib, sekaligus tentang manusia yang berbudaya dan penuh cinta. Terlebih lagi pentingnya persoalan yang kompleks tentang arti keluarga, masyarakat, dan Negara.
***
*) Anton Wahyudi, bermukim di Dusun Jambu RT/RW: 2/2, Desa Jabon, Jombang. Mengelola Jombang Institute, sebuah Lembaga Riset Sejarah, Sosial, dan Kebudayaan di Jombang, Jawa Timur. Di samping aktif dalam kegiatan menulis, dan sebagai editor lepas, menjadi Dosen Sastra Indonesia di Kampus STKIP PGRI, Jombang. Buku terbarunya “Guruku, Ayahku, Kakakku Kwat Prayitno” (2020).