Dwi Pranoto *
“Plagiarisme adalah mempresentasikan karya atau ide orang lain sebagai karya atau idemu sendiri, baik dengan atau tanpa izin yang bersangkutan. . . Tindakan plagiarisme dapat dilakukan karena sengaja, sembrono/gegabah, atau tak sengaja” ( https://www.ox.ac.uk/students/academic/guidance/skills/plagiarism ). Lantas, apakah tindakan A.S Laksana yang mengirimkan cerpen karya Afrilia ke Jawa Pos – dan kemudian dimuat – tidak dapat disebut sebagai plagiarisme karena Afrilia menyetujui perbuatan AS Laksana tersebut? Apakah perbuatan AS Laksana tersebut tidak dapat disebut plagiarisme karena AS Laksana melakukannya (mungkin) untuk menguji redaktur rubrik cerpen Jawa Pos?
Jawa Pos dalam “Maklumat Pencabutan Konten Cerpen Bidadari Bunga Sepatu A.S Laksana”, 7 Juni 2021, pada poin 5 menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh A. S Laksana adalah plagiarisme. Namun demikian, meski Jawa Pos sudah memutuskan perbuatan A.S Laksana merupakan plagiarisme, beberapa pihak tampaknya bersikeras membantah bahwa apa yang dilakukan A.S Laksana adalah plagiarisme. Malkan Junaidi, sebagai misal, dalam postingan status facebook tanggal 9 Juni 2021, “Kolaborasi dan Plagiarisme”, menyatakan perbuatan A.S Laksana lebih sebagai tindakan kolaborasi daripada plagiarisme. Meskipun Malkan juga mengutip universitas Oxford untuk definisi plagiarisme, namun Malkan menyatakan definisi tersebut, “tak bisa dipakai secara ketat atau bahkan tak bisa dipakai sama sekali di dunia seni dan tulisan kreatif”. Lalu untuk apa Malkan mengutip definisi palgiarisme dari Universitas Oxford? Apakah untuk dilari-bandingkan dengan kolaborasi antara montir-master (pemilik bengkel) dengan montir-crew? Apakah untuk dilari-bandingkan dengan intertekstualitas? Apakah menulis bagian awal cerpen, mengedit, dan mempresentasikan cerpen “Bidadari Bunga Sepatu” – yang sebagian besar ditulis Afrilia – sebagai karyanya (A.S Laksana) dapat disebut upaya kreatif menulis karya intertekstual?
Sebagian (besar) pihak tampaknya memaklumi atau membantah plagiarisme yang dilakukan A.S Laksana dengan mendasarkannya pada “niat” menguji redaktur cerpen Jawa Pos. Ucapan A.S Laksana yang disampaikan pada peserta kelas penulisannya, status facebook “Pengakuan Terbuka”, 6 Juni 2021, “Jika cerpen kalian saya kirim ke koran dengan nama saya sebagai penulisnya, cerpen itu pasti dimuat”, tampaknya menjadi titik berangkat dari asumsi pengujian tersebut. Apakah A.S Laksana benar-benar berniat mau menguji redaktur cerpen Jawa Pos atau tidak – terlepas dari “cara kami bersenang-senang di tengah kesuntukan berlatih menulis” –? Jika ucapan A.S Laksana pada para peserta penulisannya kita pilah menjadi premis dan kesimpulan, kira-kira begini: “cerpen kalian saya kirim ke koran dengan nama saya sebagai penulisnya” (premis minor); “saya adalah penulis cerpen hebat” [(hidden)premis mayor]; “cerpen itu pasti dimuat” (kesimpulan). Jika kita berpedoman pada pemuatan cerpen “Bidadari Bunga Sepatu” oleh redaktur Jawa Pos, pernyataan A.S Laksana tersebut seolah terbukti. Tapi tunggu dulu, apakah A.S Laksana benar-benar mengirim “cerpen kalian” (dalam hal ini cerpen Afrilia) begitu saja ke Jawa Pos? Tidak!. A.S Laksana melakukan pengeditan, tidak hanya menyumbang paragraf pertama, agar, katanya, lebih bagus. Artinya, A.S Laksana melakukan “penyesuaian” agar cerpen Afrilia tersebut layak muat di Jawa Pos. Oleh karenanya A.S Laksana menyatakan bahwa Jawa Pos tidak kecolongan. A.S Laksana bukan hanya, seperti klaimnya, meringankan kerja redaktur/editor Jawa Pos, bahkan ia dengan gamblang menyatakan seruan penjaminan “Jika saya kelak mengirimkan cerita karangan siapa pun kepada mereka, mereka boleh meyakini bahwa saya sudah menjalankan fungsi editor untuk tulisan itu sebaik-baiknya”. Apakah perbuatan A.S Laksana tersebut dapat disebut melakukan pengujian atas kebijakan redaktur dalam pemuatan cerpen? Tidak! A.S Laksana melakukan pengujian atas dirinya sendiri. Ia ingin membuktikan diri sebagai penulis dan editor hebat dan, tentu, guru penulisan hebat.
Hari ini, A.S Laksana memposting status facebook yang mengapresiasi sejumlah orang yang merespon “Pengakuan Terbuka”-nya. Selain itu ia mengumumkan akan “menguji” redaktur sejumlah media dengan mengirimkan tulisannya ke media tersebut dengan nama samaran. Saya kira apa yang direncanakan A.S Laksana ini akan menarik jika tulisan/cerpennya yang dikirimkan tersebut, setelah statusnya jelas, baik dimuat atau tidak dimuat, dapat dibahas secara terbuka untuk didiskusikan bersama apakah keputusan redaktur media tersebut tepat atau layakkah tulisan/cerpennya itu mendapat keputusan dimuat/tidak dimuat. Tentu saja akan lebih adil jika redaktur yang bersangkutan dapat ikut ambil bagian dalam diskusi. Saya kira pembahasan tersebut lebih baik daripada menyatakan “cerpen Eep Saefulloh ini tidak punya alasan untuk dimuat kecuali nama penulisnya”, tanpa disertai argumen apapun.
14 Juni 2021
*) Dwi Pranoto, sastrawan dan penerjemah, tinggal di Jember, Jawa Timur.
One Reply to “PLAGIARISME & PENGUJIAN”