Akhmad Sekhu
Kompas, 19 Juni 2021
Lebaran Haji sebentar lagi. Banyak orang yang menjadi juragan kambing dadakan. Terutama di desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, yang banyak orang sontak menjadi aktif sekali mencari kambing kesana-kemari untuk dibeli dan kemudian akan dijual di Hari Raya Idul Adha. Keuntungannya lumayan, meski mereka harus bersaing dengan juragan-juragan kambing yang sudah bangkotan, sudah sangat pengalaman, yang pekerjaannya jual-beli kambing.
Bejo dan Sugeng juga ikut-ikutan jadi juragan kambing dadakan. Si kembar yang biasanya kerja serabutan, tak menentu, kadang jadi petani penggarap mengerjakan sawah orang, kadang pula jadi belantik motor, tapi kini beralih profesi sebagai juragan kambing dadakan. Dibandingkan dengan orang-orang kebanyakan, mereka berdua termasuk yang paling aktif mencari kambing kesana-kemari.
Modal kembar yang memungkinkan Bejo dan Sugeng dapat menguasai pembelian kambing ke berbagai penjuru kampung Jatibogor, bahkan sampai ke tetangga-tetangga kampung, hingga sekecamatan Suradadi, bahkan sekabupaten Tegal. Si kembar yang terkenal cerdik seperti Kancil itu menjadi juragan kambing dadakan akan mampu mengalahkan persaingan dengan juragan-juragan kambing yang sudah bangkotan.
Salah seorang juragan bangkotan, yakni Juragan Roji, yang sudah sangat terkenal kebangkotannya sampai kalah dalam penguasaan kambing.
“Maaf, Gan, tadi kambing-kambing saya sudah dipesan Mas Bejo,” ucap Pak Sanali pemilik kambing.
“Lho, bukannya tadi saya lihat Mas Sugeng yang kesini?” Juragan Roji serta-merta mempertanyakan.
Pak Sanali tentu jadi bingung dibuatnya dan hanya bisa garuk-garuk kepala karena memang tidak titen, tidak tahu persis, pada duo kembar, apakah tadi yang datang memesan kambing itu Bejo atau Sugeng? “Maaf Pak, saya tidak tahu persis yang datang kesini tadi Bejo atau Sugeng? Karena orang kembar memang sulit dibedakan,” kata Pak Sanali.
“Saya sangat senang kambing-kambing saya diborong semua,” imbuh Pak Sanali memperlihatkan wajahnya yang begitu cerah berseri-seri.
“Wah kok diborong semua?” Juragan Roji kembali mempertanyakan, kemudian protes, “Nanti Lebaran Hari saya jualan apa?”
“Pak Sanali terlambat datangnya sih!” Pak Sanali menyalahkan.
“Bukan saya yang terlambat, tapi si kembar itu yang licik,”
“Licik bagaimana?”
“Saya dan juragan-juragan kambing lainnya ke tempat orang yang punya kambing selalu saja keduluan dengan si kembar, apakah itu Bejo atau Sugeng, orang yang punya kambing mengaku tak tahu persis karena yang penting kambingnya diborong semua,” papar Juragan Roji. “Kalau begini, nanti Lebaran Haji kita jualan apa?”
“O,” Pak Sanali hanya bisa melongo.
“Atau, begini saja, bagaimana kambing-kambingnya dibagi dua?” usul Juragan Roji.
“Maaf tidak bisa, Gan, karena siapa cepat dia yang dapat,” Pak Sanali mengelak.
“Tapi saya kan sudah puluhan tahun langganan beli kambingmu,” Juragan Roji mendesakkan pendapatnya. “Jangan karena ulah juragan kambing dadakan yang sok borong kambing sana-sini membuat pasaran kambing jadi gonjang-ganjing…”
“Iya tapi sudah duluan si Kembar yang beli,” Pak Sanali kekeh, “Saya sudah pegang janji kalau kambing-kambing ini sudah diborong semua si kembar.”
Kalau diplomasi dalam transaksi sudah mentok begini Juragan Roji tahu sekali “syarat” sebagai tanda untuk menutup mulut dan dengan tanpa basa-basi lagi langsung ia selipkan beberapa lembar ratusan ribu ke saku baju Pak Sanali, “Sudahlah, kita tahu sama tahu.”
“Iya dah,” ucap Pak Sanali tampaknya tak bisa mengelak, apalagi saku bajunya tersisi, setengah pasrah dengan senyum cerah, buru-buru langsung serahkan sebagian kambing miliknya pada Juragan Roji.
“Kali ini saya minta Juragan Roji pegang janji, jangan bilang siapa-siapa ya,” imbuh Pak Sanali memohon pengertian,
“Tenang saja!” tegas Juragan Roji sambil kembali menyelipkan selembar ratusan ribu ke saku ke Pak Sanali untuk lebih memuluskan sebagai bentuk terima kasih.
***
Besoknya, salah seorang kembar mendatangi Pak Sanali, kedatangannya memang mengecek borongan pembelian kambingnya, tapi masih tetap menyembunyikan jati dirinya, apakah Bejo atau Sugeng, karena memang siasatnya sengaja dibuat demikian. Tapi sebagai juragan kambing dadakan terpaksa harus mengaku kalah siasat dengan juragan kambng bangkotan yang punya 1001 cara dalam transaksi pembeliannya.
“Wah, waha, Pak Sanali, kenapa kambing pesanan saya kok jadi berkurang?” ucap Sugeng tampak mencak-mencak tak terima melihat kambing yang sudah dipesan berkurang. Mata dan tangannya jelalatan menghitung kambing-kambing yang berjejalan tak tenang di kandang yang sangat sempit.
Pak Sanali tentu saja jadi kalang kabut dan sekenanya langsung mempertanyakan. “Pesanan kapan?”
“Ya, pesanan yang kemarin.”
“Sepertinya kemarin bukan kamu yang datang kesini,” selidik Pak Sanali dengan mata berkenyit-kenyit, “Tapi saudara kembarmu…”
“Kok Pak Sanali bicara begitu? Masa tidak mengenali saya?”
“Saya tidak tahu persis situ Mas Bejo atau Mas Sugeng.”
“Tapi saya masih ingat kalau saya pesan sebelas kambing tapi kok tinggal enam kambing, yang lima kambing lagi kemana?”
“Maaf, kambing milik saya hanya enam. Lainnya titipan orang.”
“Kemarin katanya semua kambing milik Pak Sanali.”
“Kambing saya memang hanya enam saja.”
“Ah, Pak Sanali tidak bisa dipercaya.”
***
Untuk tempat penjualan kambing juga si kembar lebih dulu mendapatkan tempatnya, yang paling strategis dekat sekali dengan pasar. Juragan Roji tentu jadi mencak-mencak lagi karena kembali didahului si kembar lagi.
Sayangnya sejak wabah Pandemi Covid-19 daya beli masyarakat berkurang sehingga beberapa hari menjelang hari H Lebaran Haji masih banyak kambing yang belum bisa terjual. Si kembar jadinya kebingungan dan sangat kewalahan untuk tempat penampungan kambingnya karena halaman rumahnya yang tak seberapa lebar sudah penuh dengan kambing, bahkan masih banyak kambing yang tidak tertampung.
“Kamu sih beli kambing banyak-banyak jadinya begini,” Sugeng menyalahkan.
“Ah, kau ini, kalau rugi sukanya menyalahkan aku, tapi kalau untung mana pernah mau memuji aku,” Bejo tak terima disalahkan.
“Mestinya kita lihat kondisi, pandemi Covid sekarang ini, orang-orang jangankan beli kambing, karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sekarang ini sudah sangat susah,” Sugeng semakin memojokkan.
Bejo tentu saja tidak terima, “Mana saya tahu keadaannya jadi seperti ini?!”
“Kalau sudah begini, mau ditaruh dimana kambing-kambingnya?”
Kening Bejo berkerut tampak berpikir keras untuk secepatnya harus dapat menyelesaikan masalah tempat penampungan kambing-kambingnya.
“Bagaimana kalau kambingnya ditampung di pos kamling?” Bejo mengusulkan.
“Pos kamling? Apakah boleh untuk menampung kambing?” Sugeng berulangkali memberondong pertanyaan karena ia sudah dibuat pusing dengan kambing-kambing jualannya yang harus secepatnya ditampung.
“Namanya saja kita dalam keadaan darurat jadi bisalah dimaklumi pos kamling untuk menampung kambing,” papar Bejo tampak berusaha keras meyakinkan saudara kembarnya. Untuk urusan berpikir, Bejo memang yang selalu diandalkan. Meski kembar tak selalu sama, masing-masing punya keahlian dan spesialisasi sendiri-sendiri.
“Okelah kalau begitu!” Sungeng kini terpaksa setuju, meski hatinya masih diayun keraguan.
***
Tak lama setelah diputuskan untuk menampung kambing di pos kamling, si Kembar cepat-cepat mengecek pos kamling. tapi ternyata sudah keduluan dengan Juragan Roji yang menambatkan kambing-kambing jualannya. Si Kembar kini kembali harus mengakui kekalahan dengan juragan bangkotan itu.
“Kamu sih yang beli kambing banyak-banyak jadinya begini,” Sugeng kembali menyalahkan saudara kembarnya. Tapi Bejo kini tak lagi terpancing emosi karena ia sudah punya rencana untuk bisa mengusir kambing-kambing milik juragan bangkotan itu. Bejo punya banyak plan, banyak rencana, kalau plan A gagal, maka secepatnya harus move on untuk menjalankan plan B, otaknya memang encer.
“Tenang saja, semua masalah serahkan sama aku, pasti beres semua,” bisik Bejo mendekat ke telinga saudara kembarnya yang tampak mengangguk-angguk langsung setuju-setuju saja.
***
Malamnya, Bejo segera menjalankan plan B dengan mengendap-ngendap di balik semak-semak dan tatapan tak lepas ke arah pos kamling untuk menunggu saat yang tepat langsung melancarkan aksinya. Anak buah Juragan Roji yang menjaga kambing di pos kamling tampak sedari tadi sudah mulai menguap-nguap terus diserang rasa kantuk yang amat sangat. Tinggal tunggu tidurnya barulah aksi plan B dieksekusi.
Dalam menjalankan plan B, Bejo memang tak hanya harus ekstra sabar menunggu orang yang jaga kambing di pos kamling itu tidur, tapi juga harus tahan menghadapi nyamuk-nyamuk liar yang begitu sangat banyak di semak-semak, meski sudah diolesi obat anti-nyamuk, tapi tampaknya masih ada juga nyamuk yang digdaya bisa menggigitnya.
Untuk mengeksekusi plan B, Bejo cukup dengan membawa cat pilox. Begitu orang yang jaga kambing di pos kamling itu tidur, Bejo buru-buru mencoret tulisan “Pos Kamling” dan kemudian langsung diganti menjadi tulisan “Pos Kambing”.
***
Besoknya, saat Juragan Roji ke pos kamling untuk memantau kambing yang akan dijual ke pasar, wajahnya tampak cerah, tapi begitu melihat papan yang bertuliskan “Pos Kamling” berubah menjadi “Pos Kambing” sontak ia jadi marah-marah.
“Siapa yang bikin ulah itu?” tanya Juragan Roji dengan nada suara meninggi tampak begitu sangat marah, tapi anak buahnya yang menjaga kambing di pos kamling itu diam saja.
Juragan Roji memang sangat tersinggung pada tulisan pos kamling yang diubah jadi pos kambing dan serta-merta hari itu juga langsung memutuskan untuk memindahkan kambingnya dari pos kamling.
Melihat kenyataan demikian, tampak dari kejauhan, Bejo yang merasa menang itu buru-buru memberitahukan kepada Sugeng. Tapi saudara kembarnya bukannya menyambut kemenangannya, melainkan malah kembali menyalahkan.
“Bejo, Bejo, memangnya dengan kamu bisa membuat Juragan Roji langsung memindahkan kambingnya dari pos kamling, kita bisa menampung kambing-kambing kita disitu?”
“Ya kan pos kamlingnya sekarang sudah kosong jadi tinggal kita isi dengan kambing-kambing milik kita.”
“Hahaha, Bejo, Bejo,” Sugeng tergelak menertawakan, kemudian menerangkan, “Memangnya kamu tidak malu dengan tulisan pos kamling berubah menjadi pos kambing?”
“Oh, iya,” Bejo menepuk keningnya menyadari diri.
“Apa yang kamu lakukan itu namanya ti-ji ti-beh, mati sji mati kabeh, mati satu, mati semuanya,” Sugeng menyimpulkan, kemudian langsung memberikan hukuman, “Beberapa kambing yang tidak tertampung di halaman rumah harus kau masukkan ke kamarmu sendiri.”
Bejo kini hanya bisa pasrah harus menanggung hukuman atas kesalahan yang diperbuatnya dan membayangkan bagaimana rasanya harus tidur bersama kambing-kambing yang akan membuat badannya bau sekali seperti orang yang tidak mandi berhari-hari.
***
Desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, 2021