Alex R. Nainggolan *
Lampung Post, 4 Nov 2012
Puan dan tuan yang terhormat,
Membaca puisi adalah membaca kata. Ketika isi kepala bercampur dengan segala pengetahuan, menyulingnya dari segala macam kisah, mendedahkan makna yang terkandung di dalamnya. Semacam masuk labirin yang panjang. Mengetuk di pelbagai pintu. Syukur bisa masuk dan bertemu dengan ragam makna dan kisah. Itulah, terkadang saat membaca sebuah puisi terasa berbeda antarpribadi untuk meresapinya. Mulanya adalah rasa, kemudian berlanjut dengan ketegangan. Jarak antarkata yang rapat, sepenggal paragraf yang sekejap menggugah kesadaran. Tak heran, setiap kali membaca sebuah puisi, justru pembaca menciptakan dunianya sendiri. Dunia yang dibangun dari pusaran kata-kata itu sendiri.
Pun sebuah puisi tak pernah alpa atau dusta pada realitas. Bahkan ketika imajinasi atau metafora yang disuguhkan begitu melebar, ia tetap menguntit realitas tersebut. Hamparan imaji yang terangkum dalam diksi seperti sebuah selimut, membingkai peristiwa -yang hendak diungkapkan. Sebuah karya mungkin bergerak seperti Sokrates yang senantiasa tampil sebagai sosok yang tak tahu dan senantiasa mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada lawan bicaranya (si pembaca) agar terus mencari dan mengolah pengertian yang lebih dalam tentang diri dan dunia yang dialaminya. Dengan kata lain, setiap sajak memang tak mesti mutlak mengatakan dengan pasti. Bisa saja, ia bermaksud begini, tapi maunya begitu. Dan segala macam bentuk tafsiran bebas ketika sajak dibaca. Pembaca dengan segenap pengetahuannya bisa mengembara dengan sendirinya.
Ia, sebagaimana yang pernah diungkap Goenawan Mohammad dalam sajak Kwatrin pada Sebuah Poci -berusaha untuk tidak retak, tampil sempurna dengan kependekan kata yang dimilikinya tapi berusaha menjadi abadi. Puisi yang baik memang berusaha untuk melawan lupa itu sendiri. Dengan gaung kata yang terasa ganjil dan gigil, ia memaknai segala yang terkandung di dalamnya. Dan perjuangan si penyair untuk menuliskannya memang dipenuhi dengan misteri yang ajaib pula, kerap dihantui oleh keganjilan itu sendiri.
Akhirnya, puisi memang tetap kukuh bersama realitas. Ia menempuh segala jazirah kata yang dimilikinya untuk tetap terkayuh, luruh tanpa mesti bersikap verbal terhadap bahasa. Dengan meneguhkan realitas, setidaknya puisi akan menjadi sebuah dermaga lalu memandang arah perjalanan selanjutnya. Puisi semacam biduk yang berlayar sendirian di antara samudera kata-kata. Meskipun banyak yang berharap bisa sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Membaca antologi puisi yang ditulis oleh rekan-rekan FLP (Forum Lingkar Pena) se-Sumatera, saya seperti diajak tamasya ke banyak peristiwa. Sejumlah kata yang hadir seperti tergelincir, lalu mengalir. Saya takjub, jika ternyata tradisi “bercerita” bahkan dalam puisi kita seperti abadi. Sebagian besar, puisi-puisi dalam kumpulan ini mendedahkan gaya bertutur. Karya yang terangkum semacam ingin menyuguhkan suatu kisah, yang mungkin luput bagi orang kebanyakan.
Saya memilih membaca puisi-puisi dalam kumpulan ini secara acak. Simak dalam puisi Alizar Tanjung, Menunggu Ibu (1):
Aku kelas dua, Bu, menyusun kursi, bangku,
menata bunga, vas kaca, alas, menanti riang
senyummu dan riak-riak bahasa “selamat pagi nak.”
Aku kelas dua, Bu, mengatur bahasa, “pagi bu.”
Membaca alif dan ya, menata “a” dan “z”,
di pinggiran bibir ibu, di kedalaman rindu.
Aku kelas dua, Bu, yang menanti hujan penuh pelangi
di matamu, di bibir pintu tanpa dada di tangan,
mengecup punggung tanganmu. “Harum” seruku
pada Tut Wuri Handayani di bibir Hadjar
di ruang itu, aku menunggumu, Bu, sendirian,
di meja, kursi: buku penuh coretan, puisi-puisi
yang kau ajarkan.
Terasa sekali apa yang hendak disampaikan dalam puisi ini. Seperti sebuah penebalan yang tak terengkuh, Alizar bertutur dengan cara yang sederhana. Bahasa keseharian, tapi yang tergambar banyak makna terengkuh di sana. Puisinya tidak menjelma khotbah. Namun, nuansa yang dibangun, dari imajinasi tentang seorang anak yang menunggu “ibunya” begitu kentara. Ada gigil kerinduan yang dalam terbangun di sana. Pemungutan realitas yang tampak dipungut dari keseharian. Dengan bahasa yang sederhana, justru bagi saya puisi ini memunculkan “bunyi”-nya sendiri.
Ada banyak kerinduan yang dibangun dalam kumpulan ini. Kerinduan pada Ibu, kekasih, kota atau Tuhan/religi. Untuk kerinduan pada Tuhan, saya teringat pada sejumlah puisi dari Amir Hamzah yang begitu takjub dan takzim dengan segala baitnya. Pula pada beberapa puisi yang ditulis Muhammad Asqalani eNeSTe dan Muhammad Hadi. Betapa penyair ini menjabarkan masalah hubungannya dengan Tuhan tanpa mesti verbal sehingga gerak kata yang termaktub di dalamnya begitu cair. Semacam dalam puisi Ayat-ayat Iftitah 23-24, Metamarfosa Sajadah dan puisi Muhammad Hadi, Empat Riwayat Merapal Zikir.
Wilayah religi yang dibangun pada sejumlah puisi di kumpulan ini, mengisyaratkan bahwa pada mulanya seorang penyair hanyalah sebutir debu, yang tak berarti -meskipun dalam memandang hidup secara penuh ia menjaga irama kata-kata puisinya. Mengabarkan sejumlah kenyataan yang tersirat, yang mungkin ditemui di keseharian pada perjalanan kehidupan itu sendiri.
Ihwal menunggu juga hadir di dalam puisi Skylastar Maryam, Kita Berdua di Gerbong Kereta.
Sampai saat ini, saya percaya jika karya sastra yang baik -entah bagaimana ia menuliskannya, dengan metode apa- akan meninggalkan serat pencerahan. Setidaknya seseorang ketika berhadapan dengan teks tersebut dapat merenggut, memeras intisari kandungan cerita. Ia bisa saja mempercakapkan hal-hal yang dipenuhi nilai positif dan aturan norma, sebaliknya ia bisa muskil, gelap, dipenuhi dengan hal-hal yang negatif. Memang segalanya terletak di tangan pembaca. Bagaimana pembaca bertemu hilir-mudik teks dalam karya sastra lalu mengambil kandungannya. Dan si pengarang turut berproses, tentunya dengan kekayaan literer, sejumlah imajinasi, mengambil awang-awang- yang sebagaimana Sutardji Calzoum Bachri sebutkan dalam pelbagai tulisannya, tetap berpijak pada realitas. Demikian dalam kumpulan ini, begitu nyata dan kentara pijakan realitas yang melingkupinya.
Puan dan Tuan yang terhormat,
Akhirnya saya mesti menutup sekadar catatan ini. Ini merupakan salah satu sisi membaca puisi. Memang tak semua puisi saya jabarkan, beberapanya saya pilih secara acak. Pada dasarnya puisi-puisi di kumpulan ini adalah suatu upaya memandang realitas dengan pintu imaji yang lain. Dengan pelbagai khasanah yang melingkupinya, telah menunjukkan kerja kreatif untuk tidak mengebiri kata-kata. Semacam yang terjadi di dunia keseharian kita, begitu banyak kata-kata yang ternyata berubah jadi slogan ataupun juru kampanye bagi kekuasaan. Selebihnya memang kembali pada pembaca. Semua puisi di kumpulan ini bisa dimasuki dari ruang mana saja. Anggap saja tulisan ini hanya bualan belaka -yang bisa diabaikan. Dan kita berharap dapat menemukan puisi-puisi yang lain dengan gairah yang berbeda dan kata-kata menjelma cahaya.
***
*) Alex R. Nainggolan, penyair.