Fakhrunnas MA Jabbar *
Riau Pos, 20 Okt 2013
Peluncuran buku puisi Rose karya Rida K Liamsi yang digelar di ball room sebuah hotel berbintang di Pekanbaru, 12 Oktober malam terbilang meriah dan gemilang. Selain acara itu dihadiri Menteri BUMN, Dahlan Iskan yang juga wartawan senior, juga muncul ratusan tokoh dan hadirin dari berbagai daerah. Dalam acara pembacaan puisi sebagai penanda peluncuran buku, tampil secara atraktif dan bergantian Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, aktris dan pemain teater Cornelia Agatha, penyair Murparsaulian dan Rida sendiri.
Suasana gemerlap ini, tentu saja sangat berbeda ketika Rida K Liamsi -waktu itu menggunakan nama pena Iskandar Leo- pertama kali membacakan sebagian puisi yang sama di Aula Universitas Islam Riau (UIR) tahun 1981. Pada waktu itulah lahir dan diluncurkannya kumpulan puisi Ode X yang selalu dikenang Rida sebagai peristiwa kultural dalam kepenyairannya.
Rida memang mengawali kepenyairan dan kesenimannya di Tanjungpinang (Kepulauan Riau) bersama sejumlah seniman dan wartawan lain seperti Hasan Junus, Eddy Mawuntu, Akmal Attatrick, Sudirman Backry dan Sutardji Calzoum Bachri -juga Ibrahim Sattah pada sebagian penggalan perjalanan- sudah terus menulis puisi. Sebagian puisinya dimuat dalam sejumlah media termasuk majalah sastra Horison yang menjadi barometer di Indonesia dan sejumlah antologi puisi di antaranya Jelaga.
Dalam acara pembacaan puisi tunggal Rida itu, saya bersama penyair Husnu Abadi terlibat penuh. Sebab, acara itu memang ditaja oleh Program Kreatif Yayasan Puisi Nusantara (YPN) yang kami kelola -Husnu sebagai Ketua dan saya sebagai Sekretaris- di bawah arahan Pendiri dan Ketua YPN, Ibrahim Sattah. Ada kebanggan lain bagi saya tatkala sayalah yang membuat desain cover buku Ode X yang sederhana dan kurang artistik berupa stensilan itu dan backdrop acara. Halaman-halaman buku puisi kami ketik dan sentil bersama.
Terus terang, bukan sisi historia itu yang hendak saya tuju dengan mengungkapkan kembali peristiwa yang berlangsung lebih dari tiga dasawarsa itu. Lebih jauh dari itu, licentia peotica kata dan judul sejumlah puisi ‘’Rose’’ di dalam buku Ode X dan dibacakan Rida dengan lengkingan suaranya yang khas dan deklamatis, sudah jadi bahan pembicaraan kala itu. Dalam diskusi pun, Rida sempat dicecar pertanyaan sederhana: siapakah Rose itu.
Saya sebagai penyair dan penikmat puisi pun, sejak dulu hingga kini masih saja terkesan dengan sejumlah puisi Rida yang bertajuk ‘’Rose’’ itu. Dan ketika saya menerima buku kumpulan puisi dwi-bahasa (Indonesia dan Inggris) Rida terbaru yang berjudul Rose terbitan Yayasan Sagang di bulan Oktober 2013 ini, saya bagai menemukan jawaban atas hipotesis saya sendiri. Rida menulis dalam Catatan Pengarang yang ditampilkan di halaman-halaman terakhir buku puisi ini, Rida berwujud pengakuannya secara tulus dan terbuka: ‘’ROSE adalah mahakata yang selalu membuat saya terbakar dan melihat hidup dengan gairah…’’
Siapakah Rose itu yang sesungguhnya? Pertanyaan ini pasti terus muncul dalam diri banyak orang saat menatap dan membaca buku puisi yang diselenggarakan oleh sastrawan/pelukis, Armawi KH -perkiraan saya termasuk desain cover- dengan warna yang tampak agak gelap-klasik. Rose boleh saja ditafsir sebagai sosok seseorang yang tak mudah dilupakan, ruh dan napas yang tak boleh raib begitu saja atau sebuah misteri panjang yang tak akan pernah terjawab.
Tapi izinkan saya membingkai puisi-puisi Rida yang dilambungkan ke permukaan lewat Rose bak seorang pemahat Melayu di terjal ngarai dengan melodius Ridakus Liamsus. (Maaf, sebutan ini terasa sangat bombastis namun cukup representatif untuk meneguhkan kepiawaian Rida dalam memahat situasi dan nasib Melayu lewat kata-kata yang melodius. Secara sederhana, prasa ini dapat dimaknai sebagai ‘melodi ke-Rida-an’. Kata ‘melodius’ ini saya pinjam dari Murparsaulian sebagaimana ditulis dalam catatannya di buku yang sama).
Terus terang, saya merasa nyaman menamakan melodius yang dinyanyikan Rida dalam hampir semua puisinya senyap dan teduh seperti desahan ode (baca KBBI: sajak lirik untuk menyatakan pujian terhadap seseorang, benda, peristiwa yang dimuliakan) yang selalu menghentak-hentak bak tancap tempuling atau merayap-rayap berirama bagai perjalanan kelekatu.
Ada 56 puisi tersaji dalam buku puisi Rose ini. Sebagian besar puisi-puisi pilihan sebagaimana dicantumkan di cover sebagai Rose – Selected Poems memang diambil dari tiga kumpulan puisinya terdahulu. Mulai dari Ode X, Tempuling hingga Perjalanan Kelekatu. Selain itu, Rida juga menyertakan puisi-puisi terbarunya yang ditulis di era tahun 2000-an hingga sekarang yang sebagian berkisah tentang perjalanan dan perenungannya di sela-sela kegiatan bisnisnya yang berkaitan dengan media.
Tentu bukan pula sebuah kebetulan bila penyair Sutardji Calzoum Bachri didaulat memberikan ulasan pengantar di buku ini. Sutardji memang termasuk salah seorang sahabat Rida yang sedikit-banyaknya mengikuti pengembaraan kreatif Rida dalam memahat kata-kata. Begitu pula sebaliknya. Persahabatan kreatif itu di antara Rida dan Sutardji masih terus berlangsung.
Oleh sebab itu, Sutardji dalam pengantarnya mengakui perubahan-perubahan mendasar dalam puisi-puisi Rida dalam jangka waktu yang panjang. Tulis Sutardji: ‘’….Bila pada sajak-sajak awalnya kadang ia kelihatan terpesona pada ungkapan dan larik milik para penyair lain, yang membikin saya agak terganggu dalam membaca karyanya, maka pada sajak-sajak mutakhir ungkapannya semakin khas personal, dalam dan indah, yang pada hemat saya menjadikannya sebagai salah satu penyair terbilang di negeri ini.’’
Dan kata pamungkas Sutardji tentang puisi dan kepenyairan Rida ditulisnya begini: ‘’Cukup saya katakan di sini, kepiawaian Rida dalam melukis suasana alam dan hati, bagi saya dapat disejajarkan dengan kemampuan Chairil Anwar dan Amir Hamzah dalam sajak mereka: ‘’Senja di Pelabuhan Kecil’’ (Chairil Anwar) dan ‘’Berdiri Aku’’ (Amir Hamzah).’’
Melodius Ridakus Liamsus yang mewarnai puisi-puisi Rida sejak dulu hingga kini, terlihat jelas dalam diksi dan pahatan kata-kata arkhais dan magis Melayu. Kadangkala diksi kata pahatan Rida itu sebagaimana kehebatan mantra Melayu -Sutardji mengukuhkan diri dengan genre ini- menjadikan pahatan kata-kata magis itu bermiripan. Sebutlah kata ‘mawar’ atau ‘gaung gaib’ dan masih banyak lagi.
Tapi kepiawaian Rida memahat tiap liku kata-kata menjadi sebuah frasa atau ungkapan ekpresi spiritual dan bunyi, cukup mengejutkan. Simak saja, puisi ‘’Ode X’’ di bawah ini:
Ada seribu mawar
seribu merah
seribu pagi
basah
Tapi aku mau pergi
dari satu ke lain malam
Luluhkan sukma dalam
gaung gaib
gua resahku
Karena seribu bunga layu
dalam genggamanku
Karena aku tak bisa berikan
selamat pagiku
pada kupu-kupu
Mawar merah
Pagi yang basah
Jangan berikan selamat pagimu
: Pada bumi
yang cemburu kupu-kupu
berikan bau peluhMu
(1975)
Pahatan kata-kata Rida selalu mengejutkan. Ada rima magis yang khas Melayu. Ada pula lompatan imaji yang tak terduga seperti: ‘’Karena aku tak bisa berikan selamat pagiku/ pada kupu-kupu’’ atau ‘’cemburu kupu-kupu.’’ Oh, betapa indah dan melodius kata ‘’kupu-kupu’’ setelah berada di genggaman kata-kata Rida.
Penggunaan kalimat ringkas dan sederhana namun mengandung arkhaisme yang Ridakus Liamsus dapat dirasakan dalam puisi ‘’Bulang Cahaya’’. Puisi yang ditulis tahun 1975 yang kelak dijadikan judul novel sejarah Rida yang fenomenal dan berkisah tentang kesultanan Melayu Riau-Lingga dan Johor di masa silam.
Rasakan kekhasan Rida yang sangat Melayu itu dalam bait-bait ini:
Terimalah cintaku
cinta tak berkeris
cinta tak bersuku
cinta yang tak tersurat
dalam lagu-lagu
……
Inilah cintaku
kudulang jadi timah
kupahat jadi patung
kurendam jadi rempah
kugulai bagai rebung
kusimpan dukaku
sampai ke ujung
Kata keris, suku, timah, rempah dan rebung tentu secara mudah ditemukan di dalam bahasa tulis dan tutur semua orang di negeri ini. Namun, dalam puisi ini, kata-kata pahatan Rida itu memberi rujukan pada makna dan nilai kultural Melayu. Kedalaman puisi ini akan begitu terasa bila disanding dengan bacaan dan kisah novel Bulang Cahaya yang diuncurkan tahun 2007 itu.
Puisi ‘’Hai Rasa Kepingin yang Lelah’’ lagi-lagi memperlihatkan suasana emosional dan magis yang dibancuh dengan spritual Melayu. Pahatan kata-kata pada kalimat yang ringkas membesutkan resonansi bunyi yang memukau. Simak saja:
Istirahatlah
sambil meminumkan sisa
anggur lukaMu
dan sekatkan diri dari
umbai mimpi siaMu
jangan bilang
sia
sia
nangiskan rasa
di rasa yang tak tangis
sedihkan siapa
yang tak sedih
Kemolekan pahatan kata-kata Rida sangat terasa dalam penggalan bait: nangiskan rasa/ di rasa yang tak tangis/ sedihkan siapa/ yang tak sedih. Melodius Melayu makin mengukuhkan betapa Rida begitu akrab dan terus berdekap dengan bahasa ibu Melayu.
Keakraban Rida dengan kalimat-kalimat magis yang ringkas hampir ditemukan di semua puisi yang dituis Rida pada periode awal kepenyairannya. Puisi ‘’Rose (I)’’ hingga ‘’Rose (V)’’ memperlihatkan kecenderungan itu. Tampaknya denyut kehidupan dan perjalanan panjang Rida yang terhimpun dalam buku ini secara keseluruhan terbingkai di dalam rangkaian puisi ‘’Rose’’ ini.
Melodius Ridakus Liamsus itu benar-benar terasa dengan kekhasan medium ekspresi Rida yang kaya dengan frasa, metafora dan arkhaise kata-kata Melayu yang sebagian sudah lama terkubur dalam bahasa lisan dan tutur. Simak saja penggalannya:
Rasa rinduku padamu ROSE
adalah kuda
di padang terbuka
tak henti lari
tak siang tak malam
tak panas tak hujan
tak perih tak luka
tak satu tak dua
tak
tak
tak
tak
tak nyerah
tak kallah
(Rose I)
Rasa rindku padaMu
adalah ragi
rapuhkan ranting ragaku
adalah racun
lecuhkan urat rabuku
adalah rayap
runtuhkan ruang rahasiaku
Ngapa kau jadi riak
tak jadi rakit
seberangkan rasa rinduku
Ngapa kau jadi resam
tak jadi rotan
anyamkan tali rinduku
(Rose II)
Coba rasakan melodius Ridakus Liamsus dalam puisi Rose (I) dan (II). Rasakan pula getaran repetisi kata ‘tak’ kala dibaca dengan gaya dan perasaan menghentak yang memperlihatkan suasana emosional yang khas orang Melayu. Begitu pula kalimat metaforik: Rasa rinduku padamu, ROSE/ adalah kuda/ di padang terbuka.
Atau kau mungkin tetap ingin seperti dulu:
Membiarkan waktu yang mencatatnya di karang
sehabis pasang, dan membiarkan semuanya menyimpan rindu
dalam lubuk kita yang dalam
Seperti segelas racun, meneguknya, meski dengan rasa
sesal dan takut, menjadi keputusan keputusasaan
Mengapa terjadi ketika rindu sudah sampai ke ujung tunggu
(Rose IV)
: O, mampuslah kau
Akhirnya kalah
Tak lagi mencacak pancang
Tak lagi menggelinyang pasang
Tak lagi menggelenyar gelombang
Siapa yang bisa melawan
Sang kala
Sang lelah
Sang lejuk
Sang hianat
(Rose V)
Repetisi (pengulangan) kata-kata bernuansa magis dan arkhais itu benar-benar mendominasi hampir semua puisi Rida periode awal. Rasakan dalam kalimat: ‘’Ngapa kau tak jadi riak/ tak jadi rakit’’ atau ‘’Ngapa kau jadi resam/ tak jadi rotan.’’ Diksi dan metafora yang digunakan Rida memperlihatkan keakraban Rida tidak hanya secara kultural-spiritual melainkan juga dari sudut naturalisme yang mengangkat situasi alam Melayu pada masanya.
Puisi-puisi Rida yang terlahir di awal milenium baru memang cenderung lebih naratif. Rida cenderung bertutur dan berkisah. Sikap Rida pun mulai keluar dari pergulatan hati dan perasaannya sendiri. Meski upaya keras untuk memotret diri dari lensa kejauhan tak terhindar. Kegalauan baru muncul begitu leluasa saat menatap sekeliling yang terus berubah dan berubah. Semua ini sejalan dengan mobilitas Rida terkait urusan bisnis dan jalan-jalan ke mancanegara.
Modus perenungan Rida pun tentu sedikit berubah dibanding dulu masih berkutat dengan kegelisahan diri dan kampung halaman. Bila dulu Rida melakukan kontemplasi itu di bilik-bilik sunyi atau malam yang penuh kunang-kunang, kini Rida menemukan locus yang berbeda.
Sejumlah puisi terakhir yang lahir dari kegundahan baru kejiwaannya tak jarang ditulis dan direnungkan saat duduk di kursi pesawat dalam perjalanan panjang Jakarta-Los Angeles atau Jakarta-Belanda yang selanjutnya mengembara di kota-kota besar lain di Amerika, Eropa atau pun Asia.
Temukanlah melodius lain dalam puisi-puisi: ‘’Suatu Siang di Penghujung Abad’’, ‘’Di Stockholm’’, ‘’Di Seberang Gedung Putih’’, ‘’Shang Hai Bab’’, ‘’Cerita-cerita dari Korea’’ dan ‘’Di Great Wal’’ dan sejumlah puisi lain yang ditulis pada era bersamaan.
Suatu siang, penghujung abad
Bahang melinia menyentuh gerbang
terbangkan beratus gagak
derukan beribu dingin
Tuhan, aku saksikan zelzah gemetar menatap angin
dan aku gemetar menangkap dingin
(Suatu Siang di Penghujung Abad)
Adakah kau di sana
mendengarkannya
tapi pintu pagarmu
menelan suara
Aku juga di situ
di depan gerbangmu
mengunjuk puisiku
membacakan petisiku:
(Di Seberang Gedung Putih)
Di Najing Lok, ujung semi menyisakan gigil
Plaza basah, sehabis renyai
Dan kau datang dari sudut yang hiruk
Dari balik trem dan kereta turis
: Sir,
Aku tawarkan sebatang rokok dan sejenak kehangatan
Punyakah anda 100 yuan?
(Shang Hai Baby)
O, kesetiaan yang dihunjam benci dan ketakutan, dapatkan
cinta bertahan ketika airmata telah jadi salju, dan kerinduan
telah jadi batu, ketika sebut telah jadi lumut
(Di Great Wall)
Kedalaman spritualitas Rida dalam beragama, terlihat pula dalam sejumlah puisi bertema pencarian akan kebenaran dan perjalanan di tanah suci seperti ‘’Di Masjid Amir Hamzah’’, ‘’Di Jabbal Rahmah’’, ‘’Di Masjidil Haram’’ setelah ‘’Menara Zamzam’’ dan beberapa lagi.
Meski Rida sedang berada jauh, namun keakraban dan kerinduannya pada kampung halaman dan ribuan orang yang mencari dan menemukan diri tak pernah luput dari tatapannya. Begitu pula, pemunculan kata-kata arkhais Melayu yang khas menunjukan kesebatian Rida yang takkan terpisahkan dengan tanah ibu Melayunya.
Tak cukup kata-kata untuk membongkar semua misteri yang terkandung dalam puisi-puisi Rida. Sebab, galibnya sebuah puisi memang selalu menjadi misteri yang kadangkala dibawa mati oleh penyairnya. Masyarakat pembaca diperbolehkan melakukan multi-tafsir yang tak terbatas kala membaca puisi itu di tempat, ruang dan waktu yang berkebedaan.
Akan halnya sosok dan wujud buku puisi Rose ini, boleh jadi tersebab terburu-buru dalam pengerjaan atau pun terlalu berhati-hati akan khliaf-keliru dalam penulisan atau pengetikan. Masih ditemukan sedikit-sebanyak kekeliruan dalam pengetikan yang sesungguhnya tidaklah mengganggu penampilan sekalian kandungannya. Sebutlah, penulisan nama Sutardji Calzoum Bachri pada halaman cover menjadi: ‘’Soetardji Qalzoum Bachri’’. Ini boleh jadi terkait gaya hiperkoreksi (terlalu takut salah) pada seseorang yang mengetiknya.
***
*) Fakhrunnas MA Jabbar, budayawan dan sastrawan, lahir di Airtiris, 18 Januari 1959. Menulis dan menerbitkan sejumlah buku (5 buku puisi, 3 buku cerpen, 4 buku cerita anak, 2 biografi dan satu buku teks perikanan). Saat ini mengajar di Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau.