Afrizal Malna *
Media Indonesia, 6 Jan 2013
DI Berlin, seorang anak muda membuat pembayangan sebuah bangsa melalui restoran. Ia menawarkan daftar menu masakan Maroko. “Usia saya 20 tahun,” katanya. “Saya lahir di Berlin.” Ia hidup di dua dinding. Dinding latar identitasnya justru tidak berada bersamanya, tapi terus direproduksi melalui keluarga. Latar yang telah menjadi pabrik pembatalan aku dari konteksnya, reproduksi identitas yang berlangsung secara mekanis.
Identitas hanya bermakna melalui pembatalan latar dan munculnya negosiasi baru dalam ‘demokratisasi aku’. Aku tidak lagi didefinisikan dari latar, tapi dari konteks aku-aku lain di sekitarnya. Pascareformasi 1998, berlangsung kolaborasi baru antara pergeseran pasar dan otonomi politik di Indonesia. Hubungan sastra dengan reproduksi media berlangsung kian linear. Media printing dan internet memungkinkan seseorang menerbitkan karya sastra dalam edisi terbatas maupun digital, tanpa kurasi. Pengantar buku bukan catatan kuratorial atas karya itu, melainkan seremoni media saja. Pasar menempatkan karya sastra sebagai komoditas dengan label best seller, new arrival. Lepas dari pembacaan publik maupun kritik. Tenggelam sebagai sampah kegenitan intelektual.
Linearitas itu mengonstruksi ruang sastra hanya sebagai dua dimensi seperti ruang dalam foto; objek dan latar. Objek berusaha mendapatkan riwayatnya melalui latar. Seolah-olah latar mampu membuat bayangan baru terhadap objek, padahal tidak. Ia dicetak dan berlalu. Latar yang mengeksternalkan objek berada dalam representasi mimesis, lalu mengesternalkan ruang-waktu. Identitas bentuk (estetika) menjadi syarat reproduksi ruang (sastra).
TV dan media cetak ikut bergantung pada selebritas media. Menggunakan sub-sub kultur urban (fesyen, arsitektur, musik pop) sebagai kendaraan utama. Demokrasi nilai yang pernah dibawa posmodernisme dan menempatkan sub-sub kultur urban sejajar dengan dunia seni, kian kehilangan pembacaannya. Sub-sub kultur urban hanya halaman luar dari kapitalisme. Halaman dalam kapitalisme adalah pengontrolan seluruh gerak kehidupan melalui mesin ATM, kartu kredit, telepon seluler, internet. Maka, arus eksternalisasi kebudayaan menjadi kian dominan dalam mereproduksi aku-eksternal. Ikut menyeret kebergantungan sastra pada latar, dan pembacaan aku dibiarkan berhenti dalam status kebangsaan dan agama. Sastra kehilangan pertanyaan untuk dirinya sendiri. Ia diterima sebagai produk. Era keterbukaan membuat sastra menyerbu narasi-narasi sejarah yang digelapkan Orde Baru. Narasi-narasi itu telah menjadi bagian dari ‘pembesaran sejarah’. Sifat konsumtif terhadapnya, terutama peristiwa pembantaian komunis 1965, dan lembaga pembesaran sejarah yang tertanam dalam memori kolektif, ikut membawa hubungan sastra dan sejarah secara linear antara aku dan latar. Ia seperti bisa masuk ke narasi yang pernah digelapkan, tapi sebenarnya hanya membolak-balik balon yang sama dalam mesin mimesis pembesaran sejarah. Sastra yang seharusnya bisa melawan arus, justru menjadi bagian dari eksternalisasi kebudayaan. Ketika sastra kehilangan pertanyaan untuk dirinya sendiri, ia hanya hidup sebagai media representasi latar. Bentuk sebagai identitasnya, bahasa sebagai geraknya. Posisinya bahkan lebih rendah daripada bahasa. Sebab, bahasa tidak bekerja di tingkat representasi latar.
Proses kurasi pernah berlangsung melalui ideologi lembaga-lembaga sastra seperti Balai Pustaka, Pujangga Baru, maupun Lekra. Masih berlangsung setelah berdirinya Pusat Kesenian Jakarta (Taman Ismail Marzuki, 1968) yang dilakukan Dewan Kesenian Jakarta. Koong karya Iwan Simatupang, Telegram (Putu Wijaya), Dukamu Abadi (Sapardi Djoko Damono), Godlob (Danarto), atau Amuk (Sutardji Calzoum Bachri) merupakan hasil kurasi dari sayembara sastra yang mereka gelar. Setelah itu, sastra kian kehilangan pertanyaan terhadap dirinya sendiri, dan latar menjadi lebih penting.
Forum Penyair Internasional Indonesia 2012 merupakan salah satu peristiwa penting dalam sastra kita. Berlangsung hampir sepanjang April di Magelang, Pekalongan, Malang, dan Surabaya. Hadir dengan tema Apa itu puisi di tengah agresi pasar yang menjadikan semua ruang penciptaan sebagai komoditas?, Martin Glaz Serup (Denmark) menjadikan puisinya sebagai ladang pembatalan identitas. Aku dipersonifikasi bukan lagi sebagai seseorang, melainkan ladang yang bergerak. Puisi Gracia Asri melepaskan diri dari latar waktu dan ruang, hingga narasi puisinya bergerak dalam tirai daripada dalam bingkai pemaknaan. Puisi Mikael Johani, Ratri Ninditya, Stephanie Mamonto dengan lantai yang terus bergerak, pecah. Michael Augustin (Jerman) melihat puisi sebagai objek. Ulrike Draesner (Jerman) yang menggugurkan ‘aku-internal’, seperti menguret janin dari rahim. Pengguguran aku-internal dari tekanan aku-eksternal untuk menemukan kosmologi ‘yang di sini’, bukan ‘yang di sana’.
Di tengah pabrik pembatalan aku melalui eksternalisasi kebudayaan, puisi masih menawarkan dramaturgi untuk terus melakukan demokratisasi aku. Aku yang menarik diri ke ruang personal atau ruang maya seperti dilakukan Puitri Hesti Ningsih, Vivi Adriani, Sartika Dian Nuraini. Kehadiran karya-karya mereka yang tidak mengisi media utama kesusastraan Indonesia masih memperlihatkan bagaimana penyair melakukan kurasi terhadap masa kini mereka. Aku jadi setiap kata yang mengalir dalam dirimu, dari puisi Dian Nuraini. Tak membiarkan masa kini terlembaga sebagai bagian dari pembesaran sejarah, yang telah membunuh waktu ‘di sini’.