Putu Fajar Arcana *
Kompas, 03 Nov 2013
Verencya Oktoviani ingin ada pertukaran antarpelajar. Bahkan, Nurul Fadillah Fahrul mengusulkan adanya perkawinan antarsuku. Keduanya adalah siswa SMA yang tinggal berbeda pulau. Verencya sekolah di SMA Kristen Immanuel, Pontianak, Kalimantan Barat, sedangkan Nurul bersekolah di SMA Negeri 1 Watansoppeng, Sulawesi Selatan. Masih ada 10 anak muda lain yang menjadi finalis Lomba Menulis Esai Sosial Budaya, Puslitbang Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang diselenggarakan pada Senin (28/10) di Jakarta.
Anak-anak muda itu adalah Taufiqurrahman (Jawa Timur), Christ Daniel Soselisa (Maluku), Anastasia (Jakarta), Luh Putu Eka Yani (Bali), Herman Palani (Sumatera Selatan), Alfi Fatona Putri (Yogyakarta), Nico Rizaldi (Riau), Hotma Tiurmaida Manullang (Jawa Timur), I Gusti Ayu Cintya Adianti (Bali), dan Maulidia Rohmah (Yogyakarta). Sekadar kabar bahwa ke-12 anak muda ini disaring dari 1.387 naskah esai yang masuk ke meja panitia. Panitia merancang, untuk menentukan pemenang para finalis tak hanya dinilai dari sisi tulisannya, tetapi diwajibkan melakukan presentasi di hadapan juri dan undangan.
Peristiwa ini bagi banyak orang barangkali sekadar berkompetisi untuk memperebutkan hadiah yang jumlahnya lumayan. Taufiqurrahman yang keluar sebagai pemenang pertama meraup hadiah Rp 10 juta, Christ mendapatkan Rp 9 juta, dan Anastasia Rp 8 juta, dan seterusnya. Namun, secara substansial kita bisa mencermati beberapa hal yang menarik.
Pertama, bentuk esai dan bukan karya tulis ilmiah sebagaimana biasanya menjadi perangsang penumbuhan kreativitas yang tak terduga. Para pelajar seolah menemukan wahana yang sesuai untuk menumpahkan gagasan mereka tanpa takut dikekang oleh bentuk. Kedua, bentuk esai juga memungkinkan para pelajar lebih jujur dalam melihat realitas di sekitar mereka. Ketiga, secara substansial kita mendapatkan suara hati yang sesungguhnya yang kini menghinggapi kaum muda. Oleh sebab itulah, tema ”Hidup Harmonis di Tengah Perbedaan” memperoleh respons positif dengan berbagai studi kasus di daerah asal para peserta.
Verencya secara tidak langsung mengkritik pertukaran pelajar antarnegara yang lebih diminati siswa ketimbang menyelenggarakan lebih serius program pertukaran pelajar antardaerah. Pertukaran ini, katanya, lambat-laun akan menumbuhkan perasaan saling menghargai dan saling menghormati di antara begitu banyak perbedaan bangsa ini. Nurul lebih ekstrem, ia bahkan setuju adanya kawin campur di Indonesia.
Memang belum bisa digeneralisasi bahwa ribuan esai yang menyuarakan tentang pengakuan terhadap keberagaman dianggap mewakili suara kaum muda. Tetapi setidaknya, kita sedang menangkap tanda-tanda baik bahwa pluralisme diterima sebagai keniscayaan, sebuah realitas hidup di negara bernama Indonesia.
Dalam banyak esai yang ditulis para pelajar, realitas lokal bahkan dijadikan model yang bisa dikembangkan untuk kemudian diterapkan dalam level nasional. Luh Putu Eka Yani mengangkat filosofi menyama braya, sebuah kesadaran menjadikan orang terdekat sebagai saudara. Kesadaran ini telah hidup dalam masyarakat Bali sejak berabad-abad lalu dan inilah salah satu yang menyebabkan kelenturan sikap orang Bali.
Penerimaan perbedaan yang dibawa oleh para pendatang telah berlangsung sejak masa ekspedisi Majapahit ke Bali, pada kisaran abad ke-8 Masehi.
Herman Palani punya gagasan menarik. Pelajar asal Sekayu ini punya gagasan tentang ”sewakul”. Sewakul tak lain perpaduan dua kesenian Melayu dan Jawa, yakni senjang dan wayang kulit. Kedua artefak kebudayaan itu masih hidup lestari di Sekayu dan didukung oleh masing-masing etnis. Di dalam mencapai tujuan kebersamaan dalam perbedaan, kata Herman, ada baiknya sewakul dipakai sebagai medium yang mewadahi pertemuan intens antara dua kebudayaan.
Cemerlang
Gagasan yang muncul dalam esai para pelajar ini membuat dewan juri Bambang Widiatmoko, Setiawati Intan Savitri, Riwanto Tirtosudarmo, dan Dloyana Kusumah harus mengakui bahwa persemaian Bhinneka Tunggal Ika yang dirancang Mpu Tantular pada masa Majapahit dan Sumpah Pemuda 85 tahun lalu sudah tumbuh di lahan Indonesia. Anak-anak muda ini, kata Intan, menerbitkan harapan cerah bagi bangunan negara Indonesia. ”Gagasan mereka cemerlang karena berangkat dari pengakuan terhadap realitas,” kata Intan.
Kejujuran melihat, mengakui, dan mengatakan realitas itu menjadi ciri khas yang menonjol pada anak-anak muda. Ini mengingatkan kita pada peristiwa Sumpah Pemuda dalam konteks masa berbeda. Jika Sumpah Pemuda meletakkan dasar-dasar berbangsa, bertanah air, dan berbahasa yang satu sebagai tekad melawan kolonialisme, anak-anak muda di masa kontemporer berimajinasi tentang silang budaya. Persilangan kebudayaan dalam benak mereka adalah jalan paling cepat untuk menemukan keindonesiaan yang multikultural. Negara harus berperan aktif dan cepat mengatasi berbagai konflik berbau suku dan agama yang sudah meledak di mana-mana.
Peledakan itu setidaknya menjadi satu indikator bahwa keputusan 85 tahun lalu menjadi satu bangsa, satu tanah air, dan bahasa satu itu ”baru” sampai pada keputusan politik semata. Waktu itu jelas, keputusan politik memang dibutuhkan untuk menyatukan tekad dan persepsi melawan kolonialisme. Anak-anak muda ini resah melihat bangunan bernama Indonesia sedang goyah, oleng-kemoleng, di mana pendekatan keamanan tidak sanggup menyelesaikan persoalan. Christ Daniel Soselisa, walau semasa konflik Ambon masih kecil, mengaku masih trauma. ”Saya masih trauma sampai sekarang,” katanya. Trauma berkepanjangan bisa berkembang menjadi kecurigaan, yang oleh api sekecil apa pun bisa meledak menjadi konflik lagi.
Benang merah 12 finalis bertumpu pada silang budaya yang sangat diharapkan menjadi jembatan emas menuju Indonesia yang multikultural. Pertukaran pelajar, perkawinan antarsuku, perpaduan dua kesenian, pembenihan multikulturalisme di pesantren, kesadaran bersaudara bagi tetangga terdekat, serta toleransi perayaan hari raya di sekolah menjadi simpul-simpul yang bisa dijadikan dasar pijakan mengembangkan konsep multikulralisme.
Negara tidak boleh ”cuma” menunggu akulturasi yang terjadi secara alamiah. Konsep akulturasi sudah dibenih lewat Bhinneka Tunggal Ika dan kemudian Pancasila. Negara tinggal merancang satu konsep dan wadah besar untuk menampung kegelisahan anak-anak muda bangsa ini. Kebinekaan itu bukan cuma jargon politik, tetapi keniscayaan yang mesti diamalkan, dirawat, serta terus dikembangkan menjadi rumusan-rumusan yang lebih operasional. Apa salahnya sesekali belajar dari yang muda…. ?
***
*) Wartawan Kompas.