Djoko Saryono *
/1/
Menulis sering dipandang sebagai sebuah kegiatan. Sebagai sebuah kegiatan, menulis diperlakukan sebagai kegiatan mengemukakan atau menuangkan gagasan-gagasan, pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, pandangan-pandangan, pendapat-pendapat atau kesan-kesan ke dalam lambang kebahasaan tulis. Kegiatan ini bersangkutan dengan pemakaian ejaan dan tanda baca, diksi dan pemakaian kosa kata, penataan kalimat, pengolahan gagasan atau sejenisnya, dan pengembangan model tulisan. Hal ini berarti bahwa kegiatan menulis bersangkutan dengan isi, organisasi, dan bahasa tulisan. Isi tulisan bersangkutan dengan ihwal pengembangan topik ke dalam gagasan-gagasan, pikiran-pikiran atau sejenisnya yang relavan. Organisasi tulisan bersangkutan dengan penataan dan pengaturan gagasan-gagasan, pikiran-pikiran atau sejenisnya ke da-lam tatanan tertentu. Kemudian bahasa tulisan bersangkutan dengan pemakaian tatabahasa, kosa kata, ejaan dan tanda baca untuk mewadahi gagasan, pikiran atau sejenisnya yang sudah tertata atau terorganisasi.
Selain itu, menulis juga sering dipandang sebagai sebuah proses. Sebagai sebuah proses, menulis diperlakukan sebagai proses menulis bagian-bagian, mempertimbangkan bagian-bagian itu melalui pembacaan kem-bali, memperbaiki atau merevisi bagian-bagian yang telah ditulis, merencanakan kembali bagian-bagian tulisan dan seterusnya. Pada akhir tahun 70-an, Murray menyatakan bahwa menulis merupakan proses menemukan dan menggali gagasan-gagasan untuk dituangkan atau diekspresikan. Proses ini dipengaruhi oleh pengetahuan dasar yang dimiliki oleh seorang penulis. Sementara itu, pada awal 90-an Kelly mengimbuhi bahwa menulis merupakan usaha menghasilkan gagasan dan pikiran melalui bahasa sebagai wadah penuangan atau pengekspresiannya. Hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan dasar yang dimiliki oleh seorang penulis. Meskipun belum banyak diteliti ihwal ini, beberapa penelitian sudah menunjukkan adanya pengaruh pengetahuan dasar terhadap kecakapan menulis seseorang. Misalnya, penulis yang mengenal secara baik topik tulisannya ternyata dapat menghasil-kan tulisan lebih baik dibandingkan dengan penulis yang kurang mengenal topik tulisannya.
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa kecakapan menulis adalah kesanggupan menuangkan atau memproses gagasan-gagasan, pikiran-pikiran, pendapat-pendapat atau sejenisnya dengan menggunakan lambang-lambang kebahasaan ke dalam organisasi tertentu. Dengan kata lain, kecakapan menulis menunjuk pada kesanggupan menuangkan atau memproses sesuatu (gagasan, pikiran, pendapat, dan lain-lain) ke dalam suatu wacana karena tulisan yang dihasilkan oleh penulis pada dasarnya selalu berupa wacana. Di sini wacana merupakan wujud nyata kegiatan atau proses menulis sekaligus cerminan kecakapan menulis seseorang. Di dalam wacana ini pula dapat dilihat aspek pengembangan topik (isi tulisan), organisasi tulisan, dan bahasa tulisan (tatabahasa, kosa kata, dan ejaan dan tanda baca).
Ada bermacam-macam wacana. Berdasar pada maksudnya, Keraf – dan diamini oleh sebagian besar teoretisi dan praktisi menulis –membedakan 4 macam wacana, yaitu (1) wacana eksposisi, (2) wacana deskripsi, (3) wacana narasi, dan (4) wacana argumentasi termasuk di dalamnya wacana persuasi. Wacana eksposisi dimaksudkan untuk menjelaskan suatu masalah. Wacana deskripsi dimaksudkan untuk menggambarkan sesuatu sebagaimana adanya. Kemudian wacana narasi dimaksudkan untuk melukiskan sesuatu sesuai urutan kejadiannya. Selanjutnya wacana argumentasi dimaksudkan untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain berdasarkan penalaran. Lebih sederhana sedikit, dengan mengutip pendapat Kinneavy, Lloyd-Jones membedakan wacana menjadi 3 macam, yaitu (1) wacana ekspresif yang berorientasi pada penulis, (2) wacana eksplanatoris yang berorientasi pada subjek atau masalahnya, dan (3) wacana persuasif yang berorientasi pada pembaca. Tampaknya (1) wacana ekspresif di sini sepadan dengan wacana narasi, (2) wacana eksplanatoris sepadan dengan wacana eksposisi dan wacana deskripsi, dan (3) wacana persuasif sepadan dengan wacana argumentatif. Pada masa sekarang, seiring dengan penggunaan saling menggantikan antara wacana dan teks, kategori wacana sudah semakin banyak, di antaranya wacana eksemplum dan wacana prosedural.
/2/
Sepadan dengan kecakapan berbahasa lainnya, kecakapan menulis seseorang dapat dinilai dengan menggunakan cara (1) nontes dan (2) tes. Yang dimaksud dengan cara non-tes di sini ialah menilai kecakapan menulis peserta tes tidak melalui pengukuran, melainkan, misalnya, melalui pengamatan atau wawancara. Dalam hal ini pengamatan difokuskan pada tulisan-tulisan yang dibuat oleh pengikut tes dalam rentang waktu tertentu, kemudian wawancara dapat dilakukan terhadap orang tertentu yang berkewenangan terhadap kecakapan menulis peserta tes. Kemudian yang dimaksud dengan cara tes di sini ialah menilai kecakapan menulis pengikut tes dengan jalan melaksanakan pengukuran dengan alat tes. Jadi, boleh dikatakan bahwa tes kecakapan menulis ialah pengukuran terhadap kesanggupan peserta tes untuk menuangkan atau memproses gagasan, pikiran, atau sejenisnya dengan menggunakan lambang-lambang kebahasan tulis ke dalam suatu organisasi tertentu. Di sini tes kecakapan menulis merupakan pengukuran kemampuan menulis sebab tes merupakan alat pengukuran.
Pada umumnya dibedakan dua macam pengukuran kecakapan menulis, yaitu (1) pengukuran secara tidak langsung, dan (2) pengukuran langsung. Para ahli mengemukakan bahwa pengukuran secara tidak langsung menuntut pengikut tes untuk mengunjukkan jenis pengetahuan khusus tentang menulis guna menjawab pertanyaan, sedangkan pengukuran secara langsung menuntut pengikut tes untuk menulis tulisan atau komposisi aktual dengan mengurutkan, mengorganisasikan, dan menyelaraskan unsur-unsur wacana seefektif-efektifnya demi tujuan komunikatif khusus. Di samping itu, para ahli juga menyatakan bahwa pengukuran secara tidak langsung dilakukan dengan jalan memberikan tes objektif tentang beberapa pengetahuan yang berhubungan dengan kegiatan menulis, sedangkan pengukuran secara langsung dilakukan dengan jalan menilai contoh tulisan atau komposisi yang dibuat oleh pengikut tes.
Baik pengukuran tidak langsung maupun pengukuran langsung memiliki kekurangan. Pengukuran secara tidak langsung memiliki kesahihan (validitas) rendah karena tidak mengukur sampel atau contoh tulisan yang sebenarnya. Dalam pada itu, pengukuran secara langsung memiliki keterandalan (reliabilitas) rendah karena banyak kemungkinan kesalahan yang dibuat oleh si penilai karena pengaruh kerapian tulisan, mutu tulisan yang dibaca sebelumnya oleh penilai atau ketidaksenangan pengikut tes terhadap topik yang harus ditulisnya. Meskipun demikian, dewasa ini tumbuh anggapan bahwa pengukuran secara langsung paling tepat untuk menilai kecakapan menulis. Alasannya, pengukuran ini mengukur tulisan sebenarnya yang dibuat oleh pengikut tes. Pengukuran secara tidak langsung sering hanya mengukur pengetahuan tentang menulis, bukan kecakapan menulis.
***
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
One Reply to “TES KECAKAPAN MENULIS (1)”