Antologi Puisi Terbanglah Cenderawasih
Orang-orang yang pernah kutemui selalu menghindar diri ketika Papua menjadi topik selanjutnya. Orang-orang ini adalah intelek yang tahu dan tidak perlu lagi diberitahu tentang bagaimana Papua dianalogikan sebagai seorang anak perempuan kecil yang dipukul, diikat alar, kemudian diperkosa secara bergiliran.
Setelahnya, perempuan kecil yang cantik ini, tidak dilepaskan begitu saja. Kekuasaan orient, memaksa dirinya untuk menyerahkan diri ke Bank. Para petugas Bank-lah, kemudian secara bergantian, memukul, mengikat, dan memerkosanya. Aku sempat berpikir, karena itukah mereka menghindar ketika bicara tentang Papua?!
Namun Papua, bukan hanya anak perempuan cantik ini seorang. Ada anak perempuan cantik lainnya sebagai Papua. Termasuk anak perempuanmu dan anak perempuanku. Layaknya anak-anak perempuan, mereka tidak akan memiliki kebebasan untuk, bahkan sekadar, mengimajinasikan dunia mereka saja.
Hidup mereka lebih terancam dari anak perempuan yang pernah ditemui Eduardo Galeano dalam gerbong kereta yang penuh dengan karung-karung gandum di India yang terjebak dalam pemiskinan. Lebih dari itu! Anak-anak perempuan yang cantik ini adalah nafas perjuangan bagi kemerdekaan individu dan tanah-air. Tetapi, peluru, granat, tank, dan media massa mengancam mereka, bahkan ketika mereka melihat bayangan diri sendiri.
Kekuasaan orient, dibantu media massa yang konon, membingkai anak-anak perempuan yang cantik ini sebagai insan yang harus diselamatkan dari semangat perjuangan kemerdekaan mereka. Dalam kepala mereka dibentuk semangat kesatuan dan kebangsaan yang abstrak dan absurd.
Aku tidak kenal Papua secara langsung. Ekspansi, eksodus, pembunuhan, dan peluru yang mengganti awan-awan di atas kepala anak-anak itulah yang membuat morilku bekerja. Selebihnya, Papua dan Kalimantan – tanah-airku – adalah tumpukan daging yang lezat dan sayang jika dibiarkan membusuk begitu saja.
Morilku bekerja karena aku menginginkannya. Dua tahun lalu, dipertemukanlah aku dengan beberapa penyair Papua dan penyair Timor Leste. Dasar pertemuan ini adalah bahwa kata-kata dan semangat yang diteriakkan atau dituliskan dalam poster protes dirasa tidak cukup kuat. Kami pun bersepakat untuk mengumpulkan puisi tentang Papua, anak perempuanmu yang cantik itu.
Pekerjaan ini sungguh tidak semudah menggerek bendera merah putih ke tiang. Ini semacam, bagi saya, mengambil bintang kejora di malam hari. Sehingga yang diperlukan bukan hanya pengetahuan, kekuatan puisi, dan sikap politik. Akan tetapi, kesetiaan terhadap semangat yang sama, anti-penindasan.
Dan, baru tahun ini, kami berhasil mengumpulkan, menyusun, dan memantapkan bahwa puisi-puisi dari pelbagai penyair di Indonesia untuk diterbitkan sebagai propaganda lain. Tetapi, aku tidak terlibat dalam pemilihan judul, “Terbanglah Cenderawasih”. Walau demikian, ini harus diluas dan ditinggikan. Atau bahkan, dibaca anak-anak perempuan kita di Indonesia.
Sekarang, aku ingin mengajakmu untuk melihat bagaimana anak perempuan cantik ini setelah kehormatannya dimangsa kekuasaan orient. Dan, apakah juga engkau akan menghindar seperti orang-orang yang pernah kutemui?!
Surabaya, 2021