Fragmen dari Novel Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong

A. Syauqi Sumbawi *

( …. )
Aku melihat Bapak berdiri di beranda depan. Ia mengenakan baju seperti yang dipakai para tetangga saat pergi ke kota. Barangkali rasa bosan yang akhirnya membikin Bapak pagi itu terlihat hendak menghirup udara segar di luaran. Celana yang membungkus bagian bawah tubuhnya seperti mengisyaratkan bahwa dirinya sedikit pulih dan menerima kepergian Ibu. Aku senang dengan keadaannya itu. Dan sejak saat itu, Bapak kerap pergi.

Sementara itu, aku mulai mengepakkan sayap. Sepanjang hariku tidak hanya kuhabiskan di rumah keluarga Marijan. Malah, bisa dikatakan aku sedikit sekali meluangkan waktu untuk bermain dengan Uma. Aku merubah pola permainanku dengan menggabungkan diri pada anak-anak laki-laki tetangga yang bermain di jalanan. Kumpulan anak laki-laki yang berumur beberapa tahun di atasku. Tentu saja, sebagai yang terkecil dan punya kelainan sosial, aku selalu diremehkan. Terlalu sering dijadikan sebagai korban dalam setiap permainan mereka. Jika engkau mengalami apa yang terjadi padaku, barangkali engkau akan memilih untuk meninggalkan mereka. Berada di rumah dengan menghabiskan bertumpuk-tumpuk komik, di mana engkau tak dipandang setengah mata. Bahkan dilambungkan sebagai seorang superhero, yang akhirnya tanpa sengaja menjadikan engkau sebagai ‘kutu komik’. Akan tetapi, tidak. Aku selalu datang dan ikut dalam permainan mereka. Meskipun aku yang selalu menjadi pencundang. Aku terus melayani kesenangan mereka untuk berbuat sewenang-wenang. Engkau bisa saja menganggap aku mempunyai penyakit psikologis turunan dari Ibu. Ketegaran dan kesabaran yang mendekati masochis. Namun dengarkan apa yang aku katakan, bahwa aku ingin mendapatkan suatu perasaan yang positif dari apa yang kaubayangkan.

Sebenarnya bukan masalah aku selalu menjadi yang terkalahkan atau dikalahkan. Aku bisa mentolelir kecurangan-kecurangan mereka dalam permainan. Namun, aku tak bisa menguasai sesuatu yang selalu membakar amarah saat mereka mengolok-olok Bapak yang pernah menjadi aneh setelah kematian Ibu. Memaki-maki aku dengan sebutan anak orang sinting. Kuakui, memang Bapak pernah bertingkah seperti orang gila. Tapi, hanya beberapa bulan saja, selebihnya ia banyak termenung pada sebuah amben tua di beranda depan. Bagiku, apa yang mereka lakukan kepadaku merupakan sebuah kecurangan yang derajatnya paling rendah dan paling memalukan dibanding kecurangan-kecurangan lainnya. Olok-olok. Ejekan. Itulah dia. Aku pun menerjang mereka. Dan tentu saja, aku yang kemudian malah dihajar oleh mereka.

Akhirnya seorang dewasa datang melerai kami. Menyelamatkan aku dari amukan massa yang masih berumuran kepala nol. Pada saat seperti itu, Uma kerap berlarian datang dengan perhatian yang besar. “Aku tidak apa-apa,” itulah yang selalu kukatakan, menjawab semua pertanyaannya. Kemudian Uma membimbingku ke rumahnya seraya terus-menerus memintaku untuk tidak bermain dengan mereka. Sesampai di depan rumah, Uma lantas memanggil-manggil Ibunya yang segera keluar dan mengungkapkan kepeduliannya. Tidak lupa pula menyiramku dengan nasehat untuk menghindari dan tidak mengulanginya lagi. Namun, aku tetap saja kembali kepada mereka dan berkelahi lagi. Inilah yang kumaksudkan dengan perasaan perasaan positif dari yang kaubayangkan; bahwa aku dapat menguasai rasa takut.

Di pihak lain, aku senang Bapak tidak lagi linglung pada amben tua di beranda depan. Kerap terlihat keluar rumah dengan bercelana. Sebuah kenyataan yang menjadi jawaban atas olok-olok mereka. Akan tetapi, perubahan yang baik itu belum juga diikuti dengan perubahan sikapnya kepadaku. Ia benar-benar tak peduli kepadaku.

Entah. Ke mana saja Bapak selama ini pergi, aku tak tahu pasti. Ia kerap baru pulang ketika malam telah datang. Selebihnya bermalam di luaran. Ia sudah benar-benar meninggalkan sabit, cangkul, dan lumpur sawah. Sebelumnya, ketika Bapak ada di rumah, sungguh aku enggan pulang. Aku suka berlama-lama di rumah keluarga Marijan. Bermain bersama Uma. Ingin tidur di sana. Akan tetapi, Bapak Marijan selalu mengantarkan aku yang sedang tidur ke rumah dalam gendongannya. Dan setelah Bapak jarang di rumah, entah, kenapa aku tiba-tiba ingin pulang ketika hari beranjak malam. Aku tidak takut sendirian berada di rumah. Bahkan aku merasa layaknya seorang anak dewasa yang menjaga rumah. Pada amben tua di beranda rumah itulah, aku duduk-duduk memandang malam. Menunggu Bapak pulang. Setelah Bapak terlihat di jalanan depan rumah dengan langkahnya yang goyah, aku pun beranjak masuk. Pura-pura tidur.

Kata para tetangga, Bapak telah menjadi seorang pemabuk. Penenggak minum-minuman keras yang sudah lebih dari sekedar kegemaran. Ia kehausan. Dan suatu malam ia pulang dengan meracau. Ngomong tak karuan, mengumpati sana-sini. Kemudian dalam keadaan mabuk itulah, ia mengungkapkan apa yang selama ini tak pernah diungkapkannya kepadaku.

“Hai, kau, drakula kecil! Ayo, bangun! Kau harus memijit punggungku,” katanya di liang pintu. “Kalau tidak…” Aku beranjak bangkit dari tidurku yang pura-pura.

Sebenarnya Bapak tidak perlu mengeluarkan paksaan kalau hanya untuk memintaku memijit punggungnya. Karena sebuah paksaan malah membuktikan seorang tidak mempunyai energi untuk merebut simpati. Maka supaya menuruti, harus dengan mengancam. Bahasa kekerasan. Jika saja ia berkata; “Ah, punggungku capek. Maukah kau memijit punggungku?” Tentu saja, aku lebih bersenang hati untuk melakukannya. Akan tetapi, aku cukup senang. Ternyata ia peduli kepadaku, meskipun dengan sebuah ancaman yang ditegakkan di hadapanku dalam pengaruh minuman keras.

Aku kemudian memijit punggungnya yang tengkurap di atas amben tua di beranda depan hingga ia terlelap. Sejak malam itu, aku sering memijit punggungnya.

Masih terlalu pagi saat ia membangunkan tidurku hari itu. Dengan mata terkantuk-kantuk aku kemudian mengikuti langkahnya. Entah, ke mana ia akan mengajakku pergi untuk pertama kalinya sejak aku lahir dan menjadi anaknya. Namun, nampaknya kepergian kami kali ini cukup jauh, yang tertunjukkan dari mobil angkutan umum yang membawa kami. Lantas aku pun tahu bahwa tujuan kami adalah sebuah pasar di tengah kota.

Setelah turun, ia lalu membawaku ke sebuah warung. Makan soto, seperti yang sesekali kunikmati di rumah keluarga Marijan. Dan ia selalu menawarkan dan mengambilkan jajanan ini-itu yang tersedia di warung itu. Sungguh aneh. Akan tetapi, kubiarkan begitu saja. Aku memang sedang menanti kejutan-kejutan darinya. Aku menikmatinya.

Kemudian ia menggandengku memasuki pasar sembari mengatakan bahwa baju yang kupakai sudah usang dan selayaknya diganti. Ia berjanji membeli baju baru untukku, asalkan aku harus menuruti apa yang disuruhnya. Di pojokan pasar yang cukup sepi, ia membeberkan apa-apa yang harus aku kerjakan. Lantas mempercayakan semuanya kepadaku. Aku melangkah dengan ragu. Akan tetapi, ia terus meyakinkanku dari tempatnya berdiri. Dan tiba-tiba saja, muncul keinginan agar tidak mengecewakannya.

Sebentar aku sudah berdiri di depan stand dagangan dan menyadongkan tangan. Kemudian berkeliling pasar melakukan hal yang sama, sampai semua stand tak ada yang luput dari kedatanganku. Sementara ia terus mengawasiku dari jauh. Ia selalu tersenyum menganggukkan kepala saat aku mengarahkan pandanganku ke arahnya. Senyum dari sebuah kepuasan yang tak wajar.

Satu pasar beres sudah. Ia kemudian membawaku ke pasar lainnya di kota. Satu pasar lagi. Warung-warung. Untuk mengerjakan hal yang sama. Ia hanya mengajakku berhenti untuk makan dan beristirahat sejenak di serambi sebuah mushalla ketika matahari nyalang di pertengahan siang.

Entah. Berapa jumlah seluruh uang yang tergembol dalam kantong plastik hitam di tangannya saat hari merambat malam dan aku dibebastugaskan dari berdiri meminta-minta. Akan tetapi, belum juga baju baru datang menggantikan baju usang yang melekat di tubuhku. Aku hanya diam. Aku senang bahwa ia ternyata tidak hanya peduli padaku, tetapi juga mempercayakan sesuatu kepadaku. Ia mengandalkanku.

Bapak kemudian menyuruhku menunggu. Sementara ia melangkah memasuki sebuah gang perkampungan, meninggalkanku berdiri di depan stasiun kota. Aku tak tahu apa yang menjadi tujuannya. Sebentar aku mencoba menyusulnya. Kuawasi rumah, toko, warung yang berdiri berdempetan di kanan-kiri. Mataku memperhatikannya hingga ke dalam. Tak banyak orang dewasa yang berlalu-lalang di jalanan. Akan tetapi, mereka banyak terlihat duduk-duduk di warung-warung. Hanya beberapa saja yang duduk-duduk di beranda rumah.

Aku lantas berhenti di depan sebuah warung. Di samping kanannya, agak menjorok ke dalam, kulihat Bapak duduk dengan seorang perempuan. Beberapa orang dewasa tersenyum aneh saat aku melongok-longokkan kepala di depan mereka. Seperti melihat sesuatu yang lucu, mereka kemudian tertawa disertai olok-olok. Aku diam memendam kesal. Aku paling benci dengan apa yang disebut dengan olok-olok.

Tiba-tiba Bapak berjalan ke arahku. Dengan bantuan cahaya lampu, kulihat wajahnya menyatakan bahwa ia tak senang aku datang kepadanya. Ia kemudian menyeretku kembali ke jalan.

“Kau tuli, ya! Dibilang suruh tunggu sebentar kok, …” Aku tak menghiraukan perkataannya. Aku buru-buru lari menuju stasiun. Menunggu ia kembali seperti yang disuruhnya.

Sudah pegal rasanya aku menunggu Bapak. Aku tak tahu ia akan kembali atau tidak. Beberapa orang dewasa dan beberapa keluarga yang berjalan keluar-masuk stasiun menatapku dengan tatapan aneh, seperti tidak sepakat dengan apa yang dilihatnya. Seorang laki-laki kecil berbaju kumal, sendirian di pintu stasiun tanpa orang tua. Namun, aku terus menunggu. Sampai akhirnya stasiun menjadi lebih sepi. Pintu dari terali besi di belakangku pun ditutup. Dan seorang laki-laki kemudian memberikan tatapan seorang detektif.

“Rumahmu mana, Nak?”
“Sanur.”
“Siapa nama Bapakmu?”
“Markolan.”
Ia diam dan berpikir sejenak.
“Mau kuantarkan pulang?”

Entah. Kenapa aku mengangguk begitu saja dengan tawarannya itu. Barangkali karena aku seorang anak kecil yang lugu, dan begitu saja percaya dengan orang dewasa. Aku tak pernah memikirkan bahwa mungkin saja ia punya maksud untuk mencelakakanku. Atau barangkali karena seragam petugas stasiun yang dipakainya itu yang membuatku menganggap laki-laki itu adalah orang yang baik.

Di tengah perjalanan mengantarku pulang, aku tiba-tiba menjadi resah. Ia membelokkan sepedanya memasuki sebuah kampung yang bukan desa Sanur. Jangan engkau bilang aku tak mempunyai kewaspadaan seorang anak kecil tentang gelagat-gelagat yang tak baik. Aku punya. Seketika berbagai pikiran tentang sesuatu yang buruk menguasai kepalaku. Akan tetapi, lantas aku menjadi lega. Rupanya, laki-laki itu membawaku pulang ke rumah Kakek.

Sejak saat itu aku tinggal bersama Kakek. Karena Bapak tak pernah pulang. Tak pernah kembali kepadaku; anaknya.

2007

*) Ahmad Syauqi Sumbawi, sastrawan kelahiran Lamongan 28 April 1980. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, kritik, dll. Sebagian karyanya dipublikasikan di media massa. Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi: Dian Sastro For President; End of Trilogy (Insist, 2005), Malam Sastra Surabaya; MALSASA 2005 (FSB, 2005), Absurditas Rindu (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Laki-Laki Tanpa Nama (DKL, 2007), Gemuruh Ruh (2007), Kabar Debu (DKL, 2008), Tabir Hujan (DKL, 2010), Darah di Bumi Syuhada (2013), Pesan Damai di Hari Jumat (2019), Menenun Rinai Hujan (2019). Dan beberapa cerpennya dapat dibaca pada kumpulan: Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela, 2006), Bukit Kalam (DKL, 2015), Di Bawah Naungan Cahaya (Kemenag RI, 2016).
Sementara antologi tunggalnya: Tanpa Syahwat (Cerpen, 2006), Interlude di Remang Malam (Puisi, 2006), dan #2 (SastraNesia, Cerpen 2007). Novel-novelnya yang telah terbit: Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (2007), Waktu; Di Pesisir Utara (2008), dan “9” (2020). Sedangkan bukunya dalam proses cetak ulang “#2,” dan Limapuluh (kumpulan puisi) segera hadir. Selain menulis, juga berkebun, dan mengelola Rumah Semesta Hikmah, dengan kajian dibidang sastra, agama dan budaya, di dusun Juwet, Doyomulyo, Kembangbahu, Lamongan.

Leave a Reply

Bahasa »