Sasti Gotama *
Dalam prolog buku Gempa Waktu, Kurt Vonnegut menulis tentang karya Ernest hemingway, the Old Man and the Sea, yang menceritakan tentang seorang nelayan Kuba yang tak memperoleh seekor ikan pun selama 84 hari. Pada akhirnya, nelayan itu mampu menangkap seekor ikan marlin yang sangat besar. Ikan itu dibunuh dan diikatkan di samping sampan. Namun sebelum ia berhasil membawanya ke pantai, ikan-ikan hiu menyantap habis daging yang menempel di kerangka ikan tersebut.
Kurt Vonnegut berinisiatif menanyakan cerita itu pada tetangganya yang seorang nelayan di kawasan Barnstable Village, Tanjung Cod. Tetangganya itu berkata bahwa pastinya tokoh dalam cerita Hemingway itu seorang idiot. Seharusnya ia memotong gumpalan-gumpalan daging yang terbaik dan menaruhnya di tempat duduk sampan dan membiarkan sisa-sisanya dimakan ikan hiu.
Sudut pandang pencerita dan pembaca terkadang berbeda. Sebuah ambiguitas tercipta. Masing-masing memiliki pendapatnya sendiri yang dipengaruhi pengalaman hidup dan pola pikir. Tetapi semua bergantung kepada niat yang melandasi, dan kita tak pernah tahu sebenar-benarnya apa yang melandasi tindakan seseorang.
Terlepas dari apa yang ingin disampaikan oleh Hemingway, saya tak bisa mengesampingkan pendapat nelayan tersebut yang menurut saya lebih rasional. Paling tidak itu yang saya rasakan saat menonton beberapa film belakangan ini. Entah kenapa saya menjadi seorang nelayan yang cerewet saat menonton film-film tersebut.
Dua film yang membuat otak saya tak berhenti berfikir adalah “Jika Kucing Lenyap dari Dunia” yang diadaptasi dari novel Genki Kawamura dan “The Traveling Cat” yang diadaptasi dari novel Hiro Arikawa. Kedua tokoh dalam cerita itu memiliki satu kesamaan: memiliki penyakit terminal. Tetapi sepanjang pengalaman saya, saya tak pernah melihat penderita penyakit terminal yang akan meninggal esok hari (tokoh pria di Jika Kucing Lenyap dari Dunia menderita kanker otak stadium akhir) yang masih bisa berbicara lancar, mengunjungi mantan pacar, atau mengendarai sepeda. Begitu juga di The Traveling Cat. Tak pernah ada dokter yang bisa dengan tepat meramalkan umur seseorang dan seseorang itu seolah-olah menggenapi takdirnya sendiri dengan datang ke rumah sakit tepat satu tahun setelah dia didiagnosa untuk kemudian mati dengan elegan.
Namun, terlepas dari semua unsur yang mengganggu itu, kedua film itu memberikan kecupan yang menyenangkan untuk jiwa saya, membuat saya memikirkan ulang tentang hidup, tentang cinta, tentang arti kehidupan. Betapa orang-orang yang hadir di sekitar kita, entah kita inginkan entah tidak, membentuk hidup kita, menjadikan kita yang sekarang. Semua yang telah lewat, entah pedih, entah perih, entah apa pun itu yang sejalan dengan kesengsaraan, pada saatnya akan kita sebut “berguna”, apa pun arti berguna itu. Dan satu hal terpenting dari menonton film yang menggugah kesedihan semacam adalah bisa membuat kita menangis lega tanpa takut ditanya “kenapa”. Itu!
7 Juni 2021
*) Sasti Gotama, kelahiran Malang, Jawa Timur, yang kini tinggal di Cilacap, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya dimuat di media Kompas, Tempo, Minggu Pagi, Fajar Makassar, Detik, Ideide, dll. Karya terjemahannya; “Bagaimana Berdebat dengan Kucing”, “Narsisme”, dan “Etika Ambiguitas” (Circa). Buku antologi bersama; “Mimpi-mimpi Erina” (Cerpen dan Puisi Nomine Anugerah Sastra Ideide.id 2020), “Pandemi” (ProsaDiRumahAja, Indonesia Kaya, 2020), “Hanya Cinta yang Kita Punya untuk Mengatasi Segalanya” (2020), “Gagak, Kelelawar, dan Firasat-firasat” (2020). Antologi tunggalnya; “Penafsir Mimpi” (2019). “Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?” (2020) menjadi salah satu buku Karya Sastra Rekomendasi Tempo 2020.