Fatah Yasin Noor *
Mencari ilham di rumah seniman patung, tadi malam. Tapi celaka, tak kutemukan patung sama sekali. Saya memang tidak ingin melihat patung, tapi mencari ilham. Saya pikir semua seniman patung pastilah punya karya patung di rumahnya. Perkiraan saya keliru. Seniman patung itu tak lain dan tak bukan adalah Saham Sugiono. Ia sering mematung di luar rumahnya. Seniman patung yang juga piawai melukis dan sesekali menulis puisi di percakapan grup dan di facebook. Menyebut namanya karena ia teman saya yang diselimuti kabut mistis. Ia tinggal dekat Balai Tajug, petilasan Buyut Cungking. Tapi di sini saya tak bermaksud membicarakan Saham Sugiono. Saya ingin mengulik tentang ilham.
Siapa tahu dari patung kutemukan Ilham. Tapi sejatinya ilham tak perlu dicari. Mungkin tepatnya menunggu. Menunggu ilham datang untuk sebuah tulisan seperti ayat puisi yang mengandung tema. Dan saya sadar betul, bahwa menunggu itu mestinya saya harus siap dengan alat. Disini saya kasih bocoran: buka aplikasi dokumen di hp (Handphone). Ketiklah kata-kata yang ada dipikiran. Itu hanya sebuah kiat umum yang dengan sendirinya dilalui oleh semua penulis. Tapi saya merinci prosesnya di sini. Ternyata sangat simpel begitu.
Dan ternyata, kita sesekali perlu mempertanyakan ilham. Ilham itu apa? Penyair liar tidak duduk di kelas menulis untuk mengerjakan tugas membuat karya sastra. Guru penyair adalah dirinya sendiri. Dalam tubuh penyair mengandung ilham. Tapi ia tak tahu dimana ilham berada. Ada yang bilang keberadaan ilham itu gaib. Ia bergerak bersama ruhnya. Jiwanya menuntun kata pada situasi dan kondisi tertentu. Ia sadar betapa pentingnya ilham. Sebab karya sastra harus punya ruh. Karya sastra bukan karya ilmiah. Pada puisi, misalnya, butir-butir diksi bisa menggelembung juga bisa datar. Iramanya mengalun sampai ke arus dalam. Atau ia gagal menyusun diksi karena merasa ilham sembunyi entah di mana.
Tentu saja seseorang, seseorang yang rapuh, segera menyerah dan menutup aplikasinya, beralih membaca percakapan grup atau aplikasi medsos lainnya. Dengan sendirinya ilham tak pernah datang. Sebab pada dasarnya ilham dirindukan sekaligus harus dilupakan pada saat proses menulis berlangsung. Membahas perkara ilham sama saja kita mengedepankan intelektualisme. Padahal bagi penyair, misalnya, yang diharapkan adalah lahirnya puisi, puisi yang baik. Bukan esai juga bukan artikel ilmiah. Rasanya semua penyair sanggup memproduksi puisi sehari tiga empat puisi, seperti makan. Penyair bisa bekerja seperti mesin. Penyair sama dengan mesin puisi. Tapi diam-diam ia menolak seperti mesin. Dan tentu saja ia bukan mesin. Kalau pun dianggap mesin, ia adalah mesin yang hidup bersama ruh.
Untuk itulah seringkali penyair masuk pada sesuatu saat menulis. Bersamaan pula waktunya masuk, semacam labirin yang tak tepermanai. Keadaan transendental, kesurupan bahasa yang datangnya tak disangka-sangka. Ia merasakan pengalaman mistis tapi tetap berdiri pada kesadaran dan keseimbangan. Goenawan Mohamad (GM) dengan gaya bahasanya yang khas misalnya, adalah pekerja teks yang keras kepala. Ia rela menyakiti dirinya bagi tanggung jawab sebagai pengisi kolom caping, catatan pinggir. GM setia hadir dalam ruang itu setiap pekan. Maka jagat sastra seperti diisi oleh orang itu-itu saja. Orang-orang yang sering hadir ke ruang publik lewat medianya. Tapi kekaguman tumbuh dari konsistensi dan kualitas teks.
Kita tahu sesiapa saja penulis: seperti kita bertatap muka setiap hari dengan orang serumah. Pedang katanya mendesing, membawa hawa untuk dibaca sebagai maklumat diri sendiri yang perlu mengintip isi kepala orang lain. Dan siapa tahu ilham ada di situ. Ruhnya menyentuh pembaca. Mendapat ilham sebagai bahan untuk menulis.
20072021
*) Fatah Yasin Noor, lahir di Banyuwangi tahun 1962. Puisi-puisinya dalam antologi API (Angkatan Penyair Indonesia, 1998). Esai-esainya bagai nyanyian ganjil -mengusung sesuatu yang nyaris tak tertangkap publik. Sajak-sajak tunggalnya terkumpul dalam buku “Gagasan Hujan” (PSBB, 2003), “Rajegwesi” (PSBB, 2009). Kumpulan catatannya yang unik dan panjang terhimpun dalam “Seribu Jalan Raya” (PSBB, 2011). Tulisannya tersebar di media-media massa nasional dan lokal, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Majalah Budaya Jejak dan Bali Post.