Ribut Wijoto
Peringatan kematian Chairil Anwar di tahun 2008 ini terasa amat istimewa. Pasalnya berbarengan dengan peringatan 100 tahun kelahiran Sutan Takdir Alisjahbana. Kedua tokoh legendaris sastra Indonesia ini, semasa hidupnya, memiliki hubungan unik. Bisa dibilang, keduanya tidaklah akur.
Di tahun 1940, Chairil adalah orang muda yang baru merintis tradisi kepenyairan. Sementara Sutan Takdir, seorang kritikus sastra yang telah cukup berwibawa. Merujuk pada catatan HB Jassin, Chairil tonggak angkatan 45 dan Sutan Takdir tonggak angkatan Balai Pustaka. Artinya, keduanya mewakili dua angkatan yang berbeda. Meskipun, keduanya pernah hidup dalam zaman yang sama.
Bila perbedaan angkatan dipahami sebagai perbedaan gagasan berkesenian atau perbedaan standar estetika, karya Sutan Takdir dan karya Chairil Anwar memang berbeda. Persepsi kemanusiaannya berbeda, pilihan kode bahasa estetiknya berbeda, dan dunia utopia yang ingin diraihnya pun berbeda. Itu jelas termaktub dalam kumpulan puisi Deru Campur Debu (Chairil Anwar) dan Tebaran Mega (Sutan Takdir). Perbedaan itu menjadi semakin tajam karena, tidak sekali dua kali, Sutan Takdir menganggap puisi-puisi Chairil tidak sesuai dengan standar puisi yang telah digariskan Balai Pustaka.
Perbedaan pola puitik dan kritik minor Sutan Takdir terhadap Chairil Anwar tersebut semakin mempertegas pemilahan yang dicipta HB Jassin. Hanya saja, ada sesuatu yang luput dari penilaian HB Jassin. Bahwa, Sutan Takdir dan Chairil Anwar sebenarnya memiliki hubungan unik. Sebuah hubungan sublim.
Tahun 1932, di usia 24 tahun, Sutan Takdir tegas-tegas memformatkan rangka cipta sastra (baca: puisi). Ialah gagasan cemerlang yang kelak diterapkan oleh Chairil Anwar: “Pada hakekatnya rayuan pungguk, nyanyian kekasih, cumbuan kembang dan tangisan hati yang sedih itu, hanyalah perhiasan kesusastraan. Kesusastraan yang sebenarnya lebih besar dan luhur padanya, di dalamnya bernyala-nyala api kehidupan yang besar dan hebat”. Terlalu berani, memang.
Sutan Takdir, lelaki kelahiran 11 Februari 1908 di Natal (Sumatra Utara) ini memang tampak gerah dengan kondisional tradisi sastra tanah air ketika itu. Sebuah tradisi yang belepotan dengan “belitan absurd perumpamaan” yang dianggapnya “menepiskan inti kemanusiaan”. Melalui beberapa media, Takdir merupakan redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka, obsesinya terhadap pembaruan sastra dipresentasikan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah presentasi yang tegas, paradigmatis, dan sarat dengan contoh-contoh konkret.
Tidak seperti intelektual kebanyakan, yang suka malu-malu dan bersikap akomodatif, Takdir terang-terangan memberikan klaim buruk terhadap puisi yang tidak sesuai dengan gagasan ciptanya. Semisal rangkaian bait berikut: Laksana api membakar dupa, laksana kilat sabung menyabung, laksana langit mencium bumi. Puisi tersebut dikatakannya “basi” dan dan karenanya “tidak bermutu”. Itu puisi terlampau hebat dalam pembayangan perasaan.
Adapun tragisnya, disesali oleh Takdir, setengah dari sastrawan tanah air ketika itu berpijak pada aras yang melangit tersebut. Amat suka akan perkataan dan perbandingan pelik-pelik. Kemanusiaan justru sirna dari puisi. Yang tersisa hanya lamunan. Keindahan yang tak tersentuh manusia biasa.
Meski begitu, Takdir bukanlah penggagas sastra yang anti perbandingan. Sebagai sastrawan, yang sejak umur 15 tahun sudah terlibat dalam penulisan sastra di media cetak, Takdir percaya pada pentingnya perbandingan bagi perwujudan karya sastra. Ini dituliskannya dalam baris-baris: “Oleh sebab itu dalam syair tidaklah boleh dipakai sembarang perbandingan. Ada perbandingan yang sekali baca sedap rasanya, meresap sekali ke dalam hati, membangkitkan perasaan nikmat, tetapi sebaliknya banyak pula perbandingan yang tak tentu ujung pangkalnya, yang tak kena sedikit jua pun”. Di sini, bukan perkara boleh atau pamalinya perbandingan dalam puisi. Takdir mengisyaratkan hal ihwal penggunaan perbandingan. Bahwa, puisi itu bersyarat.
Lantas, bagaimanakah keterkaitan gagasan puisi Takdir dengan puisi ciptaan Chairil. Memang sulit dipastikan —seperti posisi Andre Breton bagi sastrawan surrealis Amerika Latin— sejauh mana gagasan puisi mampu menginspirasi penciptaan puisi. Tetapi, keterkaitan itu tentulah bukan suatu kemustahilan. Apalagi ada jejak-jejak yang jelas terbaca. Ada tradisi yang mengkondisikan tindak kepenyairan.
Jejak-jejak gagasan Takdir itulah yang di kemudian tahun melekat (inhern) dalam puisi-puisi Chairil. Begini runutannya; sepuluh tahun selepas Takdir pertama kali merepresentasikan gagasan puisinya (1932), Chairil memulai menciptakan puisi (1942). Lihatlah puisi Chairil “Lagu Biasa” berikut: Ia mengerling, ia ketawa, dan rumput kering terus menyala. Ia berkata, suaranya nyaring tinggi. Darahku terhenti berlari. Puisi Chairil ini secara tematik tidaklah bergeser jauh dari tema-tema umum; cinta, lelaki-wanita. Cara membahasakannyalah yang berbeda. Untuk cinta, Chairil mendedahkan perbandingan cukup sederhana, rumput kering terus menyala. Padahal bagi para penyair saat itu, cinta adalah sasaran empuk kemunculan perbandingan-perumpamaan yang langitan. Rayu merayu, dayu mendayu, membuluh perindu.
Tapi tidak untuk Chairil, perbandingan cukup sederhana saja. Pengalaman cinta dibahasakan sebagaimana pengalaman keseharian semata. Tidak lebih, tidak kurang. Justru visi kemanusiaan terejawantah oleh puisi. Sebab memakai pembahasaan yang manusiawi. Pembahasaan puisi ini, saya melihatnya, sepadan dengan gagasan Takdir: “Bahwa perkataan dan perbandingan yang terlampau tinggi membubung di awang-awang itu, sering hanya menjadi bukti kelemahan, bahkan ketiadaan perasaan penyairnya”. Klop. Gagasan puisi dan karya puisi berpaut padu.
Kegundahan Takdir terhadap perbandingan “membubung tinggi” terpenuhi oleh puisi ciptaan Chairil. Selain daripada itu, Takdir juga menggagaskan ciptaan bahasa puisi yang subyektif. Bahasa orisinal. Karakteristik kepenyairan yang bisa digunakan untuk membedakannya dengan puisi ciptaan penyair lain. Bahkan lebih daripada itu, orisinalitas juga menandakan ketajaman mata penyair dalam mencermati kehidupan. Dituliskannya oleh Takdir: “Tetapi segala pengarang yang meniru sesudah itu hanyalah membeo saja, menyatakan apa yang dilihat dan dirasakan orang lain, tetapi tak dilihat dan dirasakannya sendiri. Mereka sama dengan benalu, yang hanya dapat hidup oleh makanan yang disediakan oleh orang lain. Membuat sendiri mereka tidak sanggup”.
Pembeoan, setelah Takdir mengedepankan fakta kesamaan tema puisi, ia pun membongkar fakta yang lebih sensitif: reproduksi kepenyairan. Kesamaan gaya ucap dan gaya pembahasaaan tema. Satu analogi tentang pentingnya apresiasi fakta oleh Takdir adalah kisah cinta seorang penyair. Semisal penyair Mb, ia telah berulang kali jatuh cinta. Nah, pada kali terakhir, penyair Mb mendapati gadis yang melampaui ideal yang sebelumnya pernah ia bayangkan sendiri. Ia jatuh cinta yang benar-benar jatuh cinta. Jadinya, cinta transenden. Dan kerena ia penyair, Mb pun memindahkan peristiwa dirinya ke dalam peristiwa puisi. Dan semestinya, atas fakta proses kreatif kepenyairan, puisi Mb pun melebihi puisi-puisi cintanya yang telah pernah ada. Lacur yang terjadi, puisi Mb tidak lebih buruk atau lebih baik dari puisi-puisi sebelumnya. Atau juga, mirip dengan puisi cinta para penyair lain. Sama saja. Ialah tentang gaya bahasa, benalu. Penyair Mb tidak memiliki orisinalitas bahasa puisi. Gaya puisi yang ia kuasai sama seperti gaya penyair terdahulu. Gaya yang telah mentradisi. Adapun Takdir, membayangkan perlunya tiap penyair menciptakan tradisi bahasa puisi tersendiri.
Tiap penyair adalah pencipta tradisi. Secara kasar bisa ditajamkan: yang kentara, bukan pengalaman membentuk puisi, malahan bahasa puisilah yang mencipta pengalaman. Sebuah gaya puisi yang orisinal, akan membentuk pengalaman yang subyektif. Takdir memang memberi syarat tinggi pada penciptaan puisi. Syarat yang sulit dipenuhi oleh penyair biasa. Tentu saja, kecuali Chairil.
Antara stagnasi penciptaan tradisi bahasa puisi, Chairil bangkit, tegak berdiri untuk menangkap gagasan yang disorongkan Takdir. Terus, terus dulu…! Ke ruang dimana botol tuak banyak berbaris. Pelayannya, kita dilayani gadis-gadis. O, bibir merah, selokan mati pertama. Gaya ungkap dalam puisi Chairil “Jangan Kita Di Sini Berhenti” menyiratkan, juga menyuratkan, pengungkapan yang betul-betul baru. Tak ada penyair lain yang seberani Chairil. Tentang kelugasan, tentang kebanalan, dan tentang subyektivitas mempersepsi peristiwa. Sebuah puisi yang langsung menonjok pada pokok. Tak terlalu berpusingan dengan rima. Benar.
Sejak tahun 1932, Takdir telah terganggu dengan banyaknya puisi yang hanya mementingkan kesepadanan bunyi. Takdir menyontohkan sebuah puisi, judulnya “O, Taman”: O, taman! Kemala juita. Kelilingmu kulihat selalu rata. Tempat permainan dayang dewata. Selalu kupandang mengikat mata. Puisi ini, menurut Takdir, hanya mementingkan bunyi, sedangkan apa yang dikatakan, tidaklah terlalu dipedulikan. Di situ, Takdir mempertanyakan hubungan antara “keliling taman yang selalu rata” dengan “tempat permainan dayang dewata”. Meski begitu, Takdir menyadari, puisi berima bukannya tanpa guna. Ini perihal kebutuhan kenikmatan masyarakat terhadap puisi.
Masyarakat lama kerap memposisikan puisi sama dengan nyanyian. Dan memang, puisi acap kali dinyanyikan. Bersandar pada kebiasaan tersebut, puisi berima lebih mudah untuk dinyanyikan. Lebih bisa diterima atau lebih memenuhi kebutuhan masyarakat lama. Di situ, kenikmatan terhadap puisi hanya sebagai kenikmatan perenggang waktu. Lain halnya bagi orang-orang, yang menurut Takdir, kontemporer. “Orang sekarang belum puas hatinya dengan bunyi dan perkataan belaka. Tiap-tiap perkataan itu mesti kena tempatnya dan nyata arti dan perasaan yang dikemukakannya”, tulis Takdir untuk menegaskan gagasan kepenyairan baru.
Tulisan Takdir tentang syarat-syarat penciptaan puisi ini rupanya membawa situasi baru bagi sastrawan-sastrawan sejaman. Tidak bisa tidak, tradisi sastra yang selama itu kukuh, telah dibekukan oleh Takdir.
Selanjutnya, Takdir menyodorkan gagasan tentang kepenyairan baru. Di artikel ini, perlu pula dikutipkan pengakuan Zuber Usman, seorang sastrawan yang seangkatan dengan Takdir: “Syair-syair lama yang banyak diterbitkan Balai Pustaka, setelah ada uraian St Takdir tentang kedudukan pantun dan syair yang dibicarakannya dengan panjang-lebar serta dengan gaya yang menarik, tiba-tiba menjadi sepi; kegiatan penyair-penyair yang semacam ini pun sebagai mendapat tamparan yang hebat sesudah uraiannya itu”. Begitulah, Takdir telah mengkoreksi, bisa juga dikatakan memutus, tradisi sastra lama. Menjadikan kegiatan dan penciptaan sastra berpola lama sebagai tindak yang kurang menarik. Tanpa darah, tanpa gairah, pucat pasi.
Takdir pun tidak berhenti pada koreksi. Digulirkannya format sastra baru. Toh, puisi-puisi yang sesuai dengan harapan Takdir tidak begitu saja mudah direalisasikan. Pun juga, Takdir menemui banyak kesulitan, apalagi oleh para penyair sezaman. Memang sulit mencipta tradisi sastra. Gagasan kepenyairan Takdir baru bisa terproduksi sepuluh tahun kemudian, yaitu oleh puisi-puisi milik Chairil. Cipta yang orisinal. Tak merayu, tak terbeliti rima-rima, tak berlarat-larat, tegas, menonjok pada pokok kehidupan.
24 September 2016, Studio Gapus, Surabaya.