Fatah Yasin Noor
Lembaran 11
Kita telah lama melupakan komitmen, kawan. Kita sekarang tidak konsisten dengan cita-cita. Apa yang telah banyak menyita waktu kita sehari-hari? Menangislah untuk sebuah kekalahan ini: sisa hidup yang menipis, dan daya ingat yang juga semakin melemah. Kita malu pada Goenawan Mohamad, Daoed Joesoef, dan YB Mangunwijaya. Pandangan dan nilai-nilai hidup yang bagaimana lagi yang harus kita miliki untuk bisa “bahagia”? Maka, luangkanlah waktumu untukku barang sejenak saja. Mari kita berbicara mesra seperti dulu lagi. Melungsurkan kasing sayang, membaca tanda-tanda cinta di mata dan degup jantung. Sejak dulu kita melawan kapitalisme dan materialisme, bukan? Kenapa kita merasa terus-menerus terpuruk dan merasa tak berdaya berhadapan dengan kapitalisme? Ini tak ada hubungannya dengan kemanusiaan dan sebuah kearifan yang sadar atas kehidupan yang alami.
Lembaran 12
Hindarkanlah saudara-saudaraku dari iri dan dengki. Senantiasa melungsurkan kalimat-kalimat santun. Bahwa ini bukan lagi masalah kemiskinan, tapi jelas perihal harga diri dan kemandirian. Menjunjung harga diri dalam arti tidak selalu menyusahkan saudara, malu melakukan hal-hal yang kurang terpuji. Omi Zulkarnaen mati subuh tadi. Mati muda dengan meninggalkan anak istri. Jadi, maknanya, hidup ini memang sementara. Kedua orang tuanya yang telah memenuhi tanggung-jawabnya sebagai orang tua melepas kepergiannya dengan air mata. Banyak dari kita yang tak perduli. Sebab kematian ada dimana-mana. Sebab ada hati yang semakin mengeras, tak tersentuh kasih sayang dan rasa simpati terhadap sesama.
Kadang kita hidup sering melukai diri sendiri. Sangat cemas pada masa depan. Begitu gelisah pada realitas yang menampakkan kekerasan dan sebagainya. Adalah nasib yang selalu dianggap buruk, tak ada perubahan yang berarti.
Lembaran 13
Aku menjumpaimu saat air mata itu telah mengering. Seperti puisi mati dalam peti jenasah. Tapi aku mencoba membongkar lapis demi lapis riwayat daun di situ. Seperti hujan kemarin, bau tanah dan asap dupa masih menyergapku. Aku tak percaya engkau telah tiada. Seharum bau kematian itu sendiri, dari semerbak kembang mawar dan melati yang menembus kamarku. Di sini, semakin tegas dan penuh makna saat senyum di potretmu itu terus memandangku. Dinding ikut gemetar. Padahal ribuan puisi telah kutulis atas penampakan matamu. Dan getaran jiwamu yang senantiasa bercahaya. Tak ada isyarat sebelumnya, bahwa perjumpaan mesra kita berakhir di situ.
Lembaran 14
Mungkin tak ada yang indah selain dirimu. Tuhan Maha Besar dan Maha Berkehendak. Kekaguman demi kekaguman terus mengalir untukmu. Tentu saja Tuhan Maha Adil. Tapi Estu mengaku ia selalu banyak bersyukur pada-Nya. Memang harus banyak bersyukur. Betapa tidak? Apalagi hujan mulai turun, Banyuwangi mendung setelah sekian hari tak pernah turun hujan dan debu berterbangan. Debu yang berakrobat di udara itu memenuhi ruang tamu rumahku. Menclok diam-diam tanpa sepengetahuanku. Tiba-tiba semua lemari meja dan kursi berdebu.
Lembaran 15
Kembali ke akar kata. Ada wacana yang bagus tapi akhirnya tak jadi diterapkan. Malingnya lebih kuat tinimbang mereka yang berjuang ingin menegakkan kebenaran. Pembangunan Masjid Agung Baiturrahman yang terkatung-katung karena masalah pendanaan, memicu takmir masjid memasang spanduk yang isinya menyentil bupati Ratna untuk segera mencairkan dana APBD untuk itu. Bupati menginginkan jalan protokol depan masjid itu dibuka lagi, demi kelancaran arus lalu lintas dari utara ke selatan. Pertikaian antara petinggi Banyuwangi dengan masjid ini tampak semakin memanas.
Kita tahu bahwa isi spanduk itu adalah ungkapan kekesalan pihak masjid pada Bupati. Sebagai seorang muslim yang baik, mestinya kita mencontoh sikap nabi yang arif bijaksana. Ternyatalah, membentuk masyarakat yang santun dan berbudaya itu perlu proses yang melelahkan. Sebab kehidupan barbar sekarang masih saja terjadi di sana-sini. Dikalangan elite, mereka berebut dengan segala cara untuk menjadi wakil rakyat. Sementara di sana ikon demi agama terus diperjuangkan dengan cara kekerasan. Ya, ini karena kehidupan dunia.
Lembaran 16
Sementara itu, Bupati Banyuwangi Ratna Ani Lestari jadi tersangka. Dia tersandung kasus korupsi lapangan terbang Blimbingsari. Masalah ini saya tidak banyak komentar. Tapi saya, lewat Aliansi Rakyat Banyuwangi Bersatu telah berkirim surat ke Mahkamah Agung. Intinya, proses hukum harus ditegakkan. Jika Ratna di pengadilan nanti terbukti bersalah, maka dia pantas dihukum berat. Untuk kasus korupsi tidak ada kompromi. ARBB akan ikut terus memantau jalannya proses persidangan ini. Ikut mengawal dan mengawasi, sehingga diupayakan tak ada celah “main mata” antara penegak hukum dengan tersangka. Kasus korupsi, ehm, harus dihukum berat, dan pemerintah punya komitmen untuk memberantasnya demi kehidupan rakyat yang sehat, bebas dari korupsi.
Sementara itu, di peristiwa yang lain, telah dilaksanakan Pelatihan Strategi Mengungkap Korupsi, tanggal 11 – 12 September 2008 di Pondok Wina. Pelatihan yang diselenggarakan oleh LSM Blambangan Anti Korupsi, itu juga menghasilkan Aliansi Rakyat Banyuwangi bersatu (ARBB) yang saya koordinir, bersama Agus Sapari. Instruktur pelatihan, Sekjen Garut Government Watch Agus Sugandhi, SH adalah aktivis yang pas dan kompeten sebagai pemateri tunggal.
Lembaran 17
Bulan Ramadhan tahun ini berjalan sungguh luarbiasa. Belum apa-apa, di hari pertama, aku sudah tidak berpuasa. Sebenarnya, tidak makan minum dan merokok adalah satu tantangan biasa. Aku sudah sering mengalaminya, dari tahun ke tahun, seperti orang muslim pada umumnya. Bahwa Tuhan Maha Pemurah dan Maha Penyayang umat-Nya. Dalam hal ini, aku tidak sangsi lagi. Ada hukum besi yang tak bisa dihindari, yakni datangnya maut. Oleh sebab itu, sebagai orang beriman, mestinya aku patuh pada perintah-Nya, dan menjauhi segala larangannya, seperti makan babi.
Lembaran 18
Mari langsung masuk pada inti persoalan. Bahwa sejarah memang perlu banyak diketahui untuk berkaca diri. Peluncuran buku kumpulan cerpen Iqbal Baraas “Pesta Hujan di Mata Shinta” Rabu, 24 September di Pendopo Kantor Dinas Pariwisata Banyuwangi adalah bagian dari sejarah. Komunitas kecil penggemar sastra di Banyuwangi masih tak beranjak dari person lama. Pomo Martadi dan Yudi Pay tak hadir di situ karena mereka telah mati. Ada yang merasa janggal dan hambar. Tapi ada beberapa peminat baru yang diam-diam masuk, mencoba mengisi ruang kosong proses kreatif. Akhirnya, event itu telah mengalahkan kedongkolanku pada sosok pemain lama yang kini sudah tak kreatif lagi. Akhirnya kita harus giat mencari sendiri di internet siapa saja penulis baru di Banyuwangi yang konsen pada dunia seni yang intens, dunia teks pada umumnya. Tapi yang jelas, setiap mengadakan kegiatan sastra perlu dana. Dan kita tak pernah merasa kehilangan kata-kata.
Harga kertas dan tinta semakin tak terjangkau oleh para pengarang, tapi aku tak peduli. Proses kreatif sudah seyogianya berjalan terus. Memompa semangat penciptaan tiada henti. Pengarang tak akan pernah lupa untuk menulis, kecuali Mohamad Iqbal Baraas, mungkin. Lounching buku cerpen Iqbal, mungkin bisa dimaknai para undangan sebagai bagian dari peta sastra Banyuwangi. Tapi bagiku, proses penciptaan adalah masalah kedisiplinan pengarang dalam menyiasati waktunya sendiri. Ia harus senantiasa menulis, bukan lantas sekali berarti setelah itu mati.
Lembaran 19
Bos, harus diakui, betapa sulit memacu semangat rakyat untuk mengerti bagaimana politik kekuasaan itu dibangun dengan penuh apresiasi yang wajar. Mereka yang tampak sangat berambisi memegang kekuasaan tertinggi banyak yang tak diimbangi dengan kapasitas yang layak sebagai pemimpin. Kita selalu kecewa dengan figur pemimpin hasil dari pilkada. Oleh sebab itu, bagi mereka yang punya kesadaran politik, banyak yang memilih golput. Para tokoh politik di panggung politik nasional masih saja percaya, bahwa menjadikan Indonesia yang maju haruslah secara bertahap, menghindari revolusi. Pencarian sebuah makna kemerdekaan yang terdalam, pada hakekatnya, adalah pencarian kekuatan spriritual kebangsaan yang membumi.
Lembaran 20
Maka tak ada jalan lain kecuali pasrah kepada Allah SWT. Manusia yang merasa lemah tentu berharap senantiasa pertolongan Allah. Pasrah yang benar-benar dihayati sebagai kebulatan hidup tanpa pertimbangan apapun. Artinya, ketika kita menyatakan pasrah, maka saat itulah mestinya tak ada beban lagi terhadap apa pun yang dicemaskan. Sebab Allah itu Maha Berkehendak. Pertanyaannya, bisakah kita benar-benar pasrah? Juga terhadap, dalam hal ini, menerima kekalahan beruntun, misalnya.
Memang ngeri membayangkan masa depan yang tak pasti, tanpa penghasilan, dan mencemaskan juga masa depan anak. Tapi di Idul Fitri kali ini, mestinya kita seperti bayi. Tapi di sini dan sekarang, adalah hidup dalam pelukan takdir. Kita hanya bisa merekonstruksi pikiran dan perasaan yang lebih bermoral, lebih bernyanyi dalam tarikan napas iman. Berdiri di hamparan realitas dengan rasa empati.
Jadi, menjadi manusia biasa diam-diam masih menyimpan ambisi. Ada takdir yang tak bisa ditolak. Selama hidup, kita merasakan itu: campuran antara anugerah dan siksa. Biarlah catatan ini telah kehilangan fokus. Padahal aku ingin menulis sesuatu yang indah-indah saja, yang penuh perasaan dan hikmat. Walau aku semakin merasakan kehampaan hidup. Lihatlah, bagaimana para PSK di malam lebaran kemarin masih menunggu tamu di pinggir-pinggir jalan di bambu ria. Mereka juga butuh uang untuk berlebaran. Mestinya, meski aku tak mau diajak tidur, aku bisa menjelma jadi sinterklas. Inilah kenyataan hidup para PSK yang menyedihkan. Oleh sebab itu, saat kita memandang sesama, seyogianya tak dilandasi frem teori agama taklit. Dibalik itu ada sisi-sisi kemanusiaan yang mengharukan, yang mendatangkan empati dan solidaritas sosial dari mereka yang terpinggirkan penghidupannya.
Lembaran 21
Kemarin, ada upacara (karnaval) adat Ider Bumi di Desa Kemiren. Dua hari kemudian, ada upacara adat Seblang di Olehsari, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Upacara ritual minta keselamatan. Tentu saja ini sebuah tradisi, dan kita tak berani membongkarnya lebih jauh. Ada sebuah keyakinan: bahwa upacara Ider Bumi dan Seblang masih harus dilakukan oleh masyarakat setempat. Upacara yang dilakukan setelah Idul Fitri. Mereka tidak berani untuk tidak melaksanakan upacara ritual itu. Pertanyaannya, apakah jika tak dilaksanakan akan terjadi bencana? Jawabannya jelas tentu saja. Sebab ini juga menyangkut masalah psikologis, sebuah upaya ketenangan dan ketentraman batin secara individu maupun secara kolektif. Dan kita yang berada “di luar” dan yang lain, yang “terkecuali” hanya sebatas penonton yang bersolidaritas. Seolah-olah kita pun berharap, bahwa ritual itu benar-benar membawa berkah untuk semua, untuk (mungkin) Banyuwangi khususnya, Indonesia pada umumnya? Mungkin sebuah keyakinan bisa berubah sesuai perubahan zaman. Mungkin kelak upacara Ider Bumi dilakukan oleh generasi penerus dengan setengah hati. Mungkin. Tapi jelas pasti ada upaya dan bentuk-bentuk lain untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan.
Lembaran 22
Hidup adalah perbuatan, perbuatan adalah pelaksanaan kata-kata. Tapi hanya ada satu kata: maju! Kemajuan harus ada dimana-mana karena kita telah banyak berkeringat untuk itu (kemajuan). Masih ada semangat yang diam-diam terus tumbuh bersama waktu. Ingatan juga merayap pada hal-hal yang menakjupkan. Disitulah letak perubahan itu beroperasi. Pencapaian demi pencapaian, kesuksesan demi kesuksesan adalah keringat dunia. Ternyatalah bahwa kita terus mengusung perbuatan. Pekerjaan gampang dan menghasilkan uang berlimpah. Itulah para anggota legislatif dewasa ini. Sebuah nama besar yang dihasilkan sebagai politisi: karena ia ikut masuk dalam sistem politik negara. Aku telah masuk dalam pusaran sistem politik itu: ikut bermain dengan santai, dan menunggu hasilnya pada pemilu legislatif pada 2009 mendatang.
Perbuatan adalah pelaksanaan kata-kata. Dan demi Allah, aku hidup dengan terus mendisiplinkan diri: perang melawan diri sendiri. Kata-kata senantiasa berloncatan di situ. Sistem telah dibangun, dan dalam perjalanannya ia senantiasa bermetamorfosa. Ada perubahan politik lewat undang-undang. Sejumlah peraturan dihasilkan oleh lembaga eksekutif dan legislatif. Wahai, parmainan dunia yang sempurna!
Lembaran 23
Sore. Penampakan masih seperti puisi. Masih ada Tuhan di situ. Masih terus beringsut seperti tak terpemanai. Cahaya yang juga masih menyemburat tajam dalam sengatannya. Siapa tahu di sebalah sana ada yang diam-diam meleleh. Menguarkan kegenitan alam yang merangsang daun untuk rebah ke tanah. Tapi ini masih sore. Tentu saja ada yang tengah bersiap untuk turun ke kali. Sungai-sungi yang dulu menyimpan riwayat kejernihan air. Dan waktu yang terus berputar. Atas nama perubahan yang diam-diam membentuk wajahmu seperti itu. Tak bisa kembali seperti semula. Apa boleh buat, katamu, begitulah waktu. Demi waktu dimana orang-orang harus sibuk berkarya. Membongkar pikiran dan tenaga entah untuk apa. Ada kesejahteraan yang dikaitkan dengan pendapatan dari kerja keras. Sungguh sederhana, ketika dia bilang bahwa mempelajari teknik tidak harus duduk dulu di bangku sekolah.
Tapi ini masih sore, walau sebentar lagi turun malam. Artinya, matahari sebentar lagi tak menampakkan batang hidungnya lagi. Ia beringsut ke barat, tenggelam di barat. Sungguh setia sejak dulu kala, seperti engkau yang setia melukis untuk dijual. Tumbuh pertanyaan, apa artinya hidup. Engkau bisa berhenti sejenak, untuk sekian tahun tak melukis. Seperti mengundang inspirasi baru untuk bisa bekerja lagi seperti biasa. Tapi rasanya nonsens ketika tahu betapa hampa hidup ini. Hidup bagai melukis di atas air. Tapi tak apa, lebih baik begitu. Kita beruntung masih diberi kesempatan hidup. Hidup untuk lebih banyak berbuat, mengukir keringat jadi jejak-jejak yang dibaca waktu. Kenapa tidak?
Jadi masalahnya kita masih akan terus berputar-putar. Tapi berputar-putar yang mengasikkan, kadang tanpa kita sadari. Tarik menarik antara sastra politik dengan sastra universal kini semakin kehilangan semangatnya. Karena kita semakin tahu, bahwa sastra yang baik adalah sastra yang baik, tak perduli apakah ia bicara soal politik atau tidak. Seperti semua mahasiswa diajari bagaimana caranya mengarang yang baik. Kalau misalnya pelukis S. Yadi K telah memiliki etos kerja yang baik, maka tentulah ia termasuk pelukis produktif. Sekian ribu lukisan telah ia hasilkan tanpa berkeringat atau tidak. Akhirnya, kemalasan adalah biang kerok atas segala kemandegan. Mereka yang malas tak mungkin bisa mengukir prestasi.
Lembaran 24
Entah kenapa saya ikut berdebar-debar mengikuti proses berlangsungnya pemilu di Amerika Serikat kali ini. Mungkin saya terlalu berharap agar Barack Obama, calon presiden dari Partai Demokrat yang berkulit hitam dan pernah tinggal dan sekolah di Jakarta di masa kanaknya itu menang. Oleh sebab itu saya berdebar-debar. Ditambah lagi dari hasil jajak pendapat yang selalu mengeluarkan hasil surveinya di sana yang menunjukkan keunggulan yang signifikan untuk Obama atas lawannya, calon presiden Mc Cain dari Partai Republik. Tentu saja demam pemilu presiden di Amerika Serikat ini telah menguras perhatian dunia, termasuk saya yang mungkin ironis, memang tak punya kepentingan apa-apa terhadap apa yang tengah berlangsung di sana.
Ya, akhirnya Barack Obama menang. Amerika Serikat punya presiden baru dari kulit hitam. Obama menang mutlak di seluruh negara bagian. Boleh jadi persepsi Indonesia akan berubah terhadap Amerika Serikat sekarang. Padahal, Presiden Obama masih sekoridor dengan Presiden Bush. Artinya, negara adi daya itu masih tetap dalam kendali Yahudi. Sampai kapanpun masalah ekonomi dan kepentingan bangsa dan negara adalah hal utama, mengalahkan kepentingan kemanusiaan apapun, misalnya. Amerika tetap Amerika, tak perduli apakah Indonesia tetap terpuruk apa tidak. Cengkeraman ekonomi global dalam sistem kapitalis tetap akan diteruskan pada pemerintahan Obama. Perubahan yang diinginkan Obama adalah perubahan Amerika yang lebih maju, baik di bidang ekonomi, pertahanan dan keamanan untuk Amerika, bukan untuk kesejahteraan negara lain. Amerika bukan sejenis sinterklas yang sangat sosial membagikan modalnya secara gratis. Demokrasi Indonesia ketinggalan, atau kalah dengan Amerika Serikat, tentu saja. Krisis finansial global yang berawal di Amerika Serikat adalah penderitaan bagi mereka yang memperanakkan uang.
Sabtu, 8 Nopember 2008.
Banyak orang tua dibuat geram oleh tingkah polah anaknya yang dianggap nakal. Banyak anak yang kurang berbakti pada orang tua, tak punya sopan santun dan ingin menangnya sendiri. Mari hindari segala sifat buruk itu, anakku, katanya. Anak harus berbakti pada orang tua. Sebab jasa orang tua kepada anaknya ketika masih kecil begitu besarnya. Dari seorang anak kecil yang belum bisa apa-apa orang tua membesarkannya.
Jumat, 26 Desember 2008.
Akhirnya kita kembali insyaf, bahwa hidup harus dimaknai. Perbuatan adalah pelaksanaan kata-kata. Dan bagi penyair, hidup adalah penciptaan kata-kata. Celakanya, untuk bisa hidup seperti itu, penyair harus bergelut dengan sekian banyak persoalan. Katakanlah itu sebentuk kehendak yang hanya penyairnya sendiri yang tahu. Ada sebentuk gempuran kesia-siaan yang selalu membayang saat proses kreatif berlangsung. Mau tak mau dia harus memperlakukan kata sedemikian rupa. Ya, senjata penyair hanyalah kata. Dia harus menulis sekian banyak fakta dengan segala bentuknya. Penyair dengan sengaja memilih bentuk puisi. Manusia, akhirnya, tak harus dikotomi hanya sebagai penyair, hanya menulis puisi.
Tak ada contoh yang paling meyakinkan mana ada manusia yang sudi dan setia hanya dengan menulis puisi. Menulis puisi adalah keniscayaan, sementara itu penyair sebagai manusia biasa juga mengerjakan tugas yang lain. Masalahnya, bagaimana seseorang memiliki napas panjang, mampu menjaga kreativitasnya sepanjang mungkin. Jadi, jangan terlalu sibuk mempersoalkan makna dan manfaat puisi. Puisi yang sudah ditulis bisa dengan gampang dilemparkan ke publik. Sekarang ini banyak media yang mau menampung karya sastra. Maka itulah makna hidup adalah perbuatan. Perbuatan yang berjalan bersama kata-kata. Kata-kata adalah perbuatan itu sendiri. Dan bagi penyair, kata-kata menjadi hidup, minimal mencoba menghidupkannya. Tapi jangan bertanya bagaimana caranya penyair menghidupkan kata! Tapi siapakah yang tengah mabuk kata? Tentu saja para penulis yang hanya ingin menulis sesuatu yang indah.
2008
Fatah Yasin Noor, lahir di Banyuwangi tahun 1962. Puisi-puisinya dalam antologi API (Angkatan Penyair Indonesia, 1998). Esai-esainya bagai nyanyian ganjil -mengusung sesuatu yang nyaris tak tertangkap publik. Sajak-sajak tunggalnya terkumpul dalam buku “Gagasan Hujan” (PSBB, 2003), “Rajegwesi” (PSBB, 2009). Kumpulan catatannya yang unik dan panjang terhimpun dalam “Seribu Jalan Raya” (PSBB, 2011). Tulisannya tersebar di media-media massa nasional dan lokal, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Majalah Budaya Jejak dan Bali Post. Puisinya yang dimuat di koran Bali Post itulah yang menarik, waktu itu redakturnya Umbu Landu Paranggi. Tahun 1979, esainya yang kritis berjudul “Film Nasional, Sebuah Tanggapan” dimuat media sastra legendaris dan pertama kali di Banyuwangi, Kertas Budaya Jejak, besutan alm. Pomo Martadi dan Hasnan Singodimayan.
Fatah menempuh pendidikan menengah dan tinggi di Yogyakarta, -boleh jadi tradisi berpikir kritisnya terbangun dari sana. Di Banyuwangi, nyaris media sastra tidak lepas dari tangan dinginnya. Ia Pimred jurnal Sastra-Budaya Lembaran Kebudayaan, dan pernah mengomandani kelompok budayawan serta seniman yang menolak Dewan Kesenian Banyuwangi (DKB) tahun 2002. Ia bersama gerbong para budayawan “bawah tanah” sempat mendirikan DKB-Reformasi, sebagai tandingan DKB “pemerintah” bergaya Orba waktu itu. Gerak budaya yang dikerjakan sastrawan nyentrik ini tak bisa dianggap remeh, terbukti “gerbong” DKB-R produktif melahirkan karya-karya berkualitas secara berkala dan melakukan kajian sastra pula penulisan sejarah Banyuwangi. Tahun 1998, menjadi salah satu dari kelompok muda yang menghadirkan alm. W.S. Rendra di Gedung Wanita, Banyuwangi, dalam peluncuran buku puisi para penyair Jawa-Bali “Cadik”, sehari sebelum tumbangnya Soeharto! Di masa itu bukan main-main mengadakan kegiatan sastra yang kritis berhadapan dengan aparat. Di tahun itu juga, bersama penyair dan budayawan lain, ia mengemukakan sikap anti kekerasan menyoal peristiwa “santet” di Banyuwangi.
One Reply to “Lembaran-lembaran Lepas Fatah Yasin Noor (II)”