Malaikat Pencabut Nyawa

Eko Darmoko
Kompas, 17 Jan 2021

Hanya pelacur yang bisa menyelamatkan nyawa Bella. Ilmu kedokteran belum sanggup menangkal kewajiban malaikat pencabut nyawa yang diperintahkan untuk menumpas hidup Bella. Apa daya, minimnya pengetahuan dan pergaulan, membuat keluarga Bella kepayahan mencari pelacur semenjak Dolly ditutup Pemerintah Kota.

“Sudah kubilang, seandainya waktu itu kalian mencarikannya pelacur, maka masalah ini pasti selesai. Penyakit Bella akan sembuh. Rontok sampai ke akarnya,” ucap Kakek Bella saat menjenguk cucunya di Surabaya.

Mendengar sabda laki-laki yang usia akan menginjak 100 tahun itu, Ayah dan Ibu Bella hanya bisa membisu. Ada gurat penyesalan pada raut muka mereka. Sedangkan Bella yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, hanya bisa mematung sambil bulir-bulir air matanya membasahi pipinya yang mulus.

“Kalian lihat, dap sudah hampir melingkari tubuh Bella. Jika sudah melingkar sempurna, habislah Bella,” kata Kakek Bella.

“Herpes! Bukan dap, Pak,” Ibu Bella mencoba membetulkannya.

“Ah terserah. Sejak dahulu aku menyebutnya dap. Terserah dokter zaman sekarang menamainya demikian,” sambar Si Kakek. “Kau,” lanjut Si Kakek kepada Ayah Bella—menantunya. “Kau punya kenalan pelacur?”

“Tidak ada, Yah,” balas Ayah Bella.

“Kau?” Ucap Si Kakek kepada Ibu Bella—anaknya.

“Tidak juga, Pak!” Balas Ibu Bella.

Hampir dua minggu Bella terbaring di rumah sakit. Virus yang membawa herpes sudah menjadikan tubuhnya sebagai suaka mahalezat. Herpes itu tepat berada di bawah payudara Bella yang sedang ranum-ranumnya, menjalar hingga punggung dan nyaris melingkarinya seperti ikat pinggang.

Dokter yang menangani penyakit Bella memastikan, bahwa herpes di tubuh Bella bukan disebabkan oleh penularan hubungan intim.

“Kelamin Bella baik-baik saja. Dia masih perawan. Jadi, kesimpulannya, herpes ini muncul karena ketidak-bersihan atau penularan lainnya. Kasus Bella banyak dialami oleh pasien lainnya, laki-laki dan wanita,” ucap Dokter Linda menjelaskan kepada kedua orang tua Bella, di awal-awal masa rawat inap.

“Dahulu, aku juga tiba-tiba kena dap, saat usiaku belum genap 20 tahun, sama seperti Bella. Tapi dap menyerang leherku. Tiga hari langsung sembuh berkat pelacur,” kata si kakek sambil mengelus lehernya. “Lihat tidak ada bekasnya, kan?”

Obat telan, infus, dan suntik anti-virus belum sanggup mengusir herpes dari tubuh Bella. Segala upaya dilakukan Dokter Linda dan timnya, tapi masih nihil hasilnya. Bella hanya bisa berdoa agar malaikat pencabut nyama menjauhi tubuhnya.

“Dahulu aku tertular,” gerutu si kakek. “Wabah dap menyerang desa. Dap bergiliran hinggap dari satu tubuh ke tubuh lainnya, hingga akhirnya merayapi leherku,” suara si kakek mendadak lantang. “Beruntung ada pelacur yang berkenan menyembuhkan dap yang menggasak warga desa.”

“Bapak sudah berulang kali menceritakan hal itu,” Ibu Bella menyela. “Itu dulu di Lamongan. Tapi apakah sekarang masih bisa? Kalau bisa, bolehlah dicoba,” Ibu Bella pasrah, samudera penyesalan kembali muncul di mukanya.

“Iya, tak ada salahnya dicoba,” Ayah Bella menggarami.

“Tapi kita cari pelacur di mana? Sejak Dolly ditutup, lokalisasi lainnya juga ikutan gulung tikar. Sekarang susah membedakan antara yang pelacur dan yang bukan pelacur,” Ibu Bella merengek. Kesal.

“Seumpama kita sudah mendapatkan pelacur, prosedur penyembuhannya apakah masih sama, Yah?” Ayah Bella bertanya serius kepada mertuanya.

“Masih! Suruh si pelacur itu mengunyah gula merah dan kelapa muda, lalu semburkan ke dap Bella, dijamin rontok. Itu yang kualami saat terkena dap, dan sembuh,” kata-kata si kakek terdengar mantap dan yakin.

“Mengapa harus pelacur, Pak?” Tanya Ibu Bella.

“Ya tidak tahu. Itu sudah kepercayaan turun temurun di Desa Karangwungu,” jawab Kakek Bella. “Intinya harus percaya. Bukankah ilmu kedokteran belum sanggup mengusir dap dari tubuh Bella? Iya, kan?” Sambungnya.

Keluguhan keluarga Bella, ditambah keragu-raguan bertanya tentang jaringan pelacur yang masih aktif, membuat mereka belum menemukan pelacur. Sementara itu, 2 Cm lagi herpes melingkar sempurna di tubuh Bella. Apa yang terjadi selanjutnya, itu tergantung malaikat pencabut nyawa.

Sebintik harapan tiba-tiba muncul saat link portal berita muncul di grup WhatsApp Ayah Bella. Pria yang bekerja sebagai kepala bengkel itu membacanya secara cermat. Tidak ada satu huruf pun yang terlewat. Selepas membacanya dua kali, ia mengabarkan kepada istrinya.

“Mungkin kita bisa mencobanya, memesan pelacur via online.”

“Caranya?” Ibu Bella menghela nafas dalam dan panjang.

“Portal berita ini mengabarkan, bahwa sejak lokalisasi ditutup, mereka, para pelacur, menawarkan jasanya via online. Mereka memanfaatkan media sosial dan jejaring chat,” Ayah Bella menjelaskannya secara detail.

“Dari mana kita tahu? Bukankah yang online-online itu juga digulung polisi?”

“Kita harus blusukan ke akun-akun media sosial. Aku yakin, ada yang belum tersentuh polisi.”

“Terserah kamu sajalah, Mas. Aku manut!”

Seharian Ayah dan Ibu Bella berselancar di media sosial. Belasan akun masuk dalam pengendusan mereka. Namun, pemesanan pelacur yang mereka lakukan selalu tidak direspon oleh pemilik akun atau admin. Dugaan mereka, para pemilik akun atau admin hanya mau menerima order dari orang yang dikenal, atau yang sudah masuk dalam jaringan.

“Sebentar lagi herpes melingkari tubuh Bella,” air mata Ibu Bella tumpah. “Kau memang laki-laki baik, Mas! Betapa jauh kau dengan urusan pelacuran.”

Ayah Bella tak terlalu menangkap perkataan istrinya. Ia sibuk memikirkan cara mendapatkan pelacur sembari terus berselancar di telepon pintarnya.

“Mas, kau mendengarkanku?”

“Iya. Aku sedang berusaha mendapatkan pelacur,” Ayah Bella menjawabnya sembari mengarahkan pandangnya ke arah Bella yang terbaring lemas di ranjang rumah sakit.

Tiba-tiba pintu rumah sakit diketuk oleh seseorang. Perempuan seumuran Bella masuk dan menyapa mereka bertiga. Melihat teman sekampusnya datang menjenguk, mata Bella sedikit menyala. Ada kegembiraan yang terpancar di dalamnya, meskipun sedikit berat dan agak layu.

“Siang, Om, Tante,” sapa Vika. “Bagaimana kondisimu, Bel?”

“Seperti yang kamu lihat, Vik.”

“Nah,” sambar Ibu Bella, “Mumpung ada Vika, ibu dan ayah ke rumah sebentar, kakekmu pasti sudah lapar. Ibu harus menyiapkan makan untuk kakekmu. Temani Bella sebentar ya, Vik.”

“Baik, Tante!”

Di antara siang dan sore itu, Vika datang dengan pakaian yang tidak biasa menurut pandangan Bella. Bedaknya agak tebal, lipstik merah menyala, rok mini, kemeja ketat, dan sepatu hak tinggi berpadu dengan tubuh Vika yang sintal berisi.

“Kau kuliah dengan pakaian seperti ini, Vik?”

“Tidak! Kebetulan habis ketemu teman-teman SMA, reuni kecil-kecilan sambil makan siang di resto dekat kampus. Kebetulan hari ini jadwal kuliah kosong,” kisah Vika, terbata-bata.

“Bawa motor ke sini? Memangnya bisa?” Tanya Bella sambil tangannya menarik rok mini Vika.

“Tadi naik taksi online, Bel,” balas Vika sambil menatap mata Bella, dalam. Mulut Vika ingin mengucapkan sesuatu, tapi terasa berat.

“Kenapa, Vik? Kok gak jadi ngomong. Kalau mau ngomong, ngomong saja. Soal putus cinta dengan pacarmu?”

“Bukan soal pacar, Bel. Tapi . . .” Vika tak sanggup meneruskannya.

“Tapi apa?”

“Soal ayahmu, Bel?”

“Hah?”

“Kamu jangan kaget. Ini demi kebaikanmu, dan kamu sudah sepantasnya tahu.”

“Apa itu, Vik?”

“Ayahmu main pelacur, Bel!” Mendengar perkataan Vika, Bella sudah bisa menebak pokok persoalannya. “Kok reaksimu biasa saja, Bel?” Sambar Vika.

“Iya, belakang ini kami memang sibuk mencari pelacur?”

“What? Untuk apa?”

“Untuk menyembuhkan penyakitku!”

“Aku makin bingung . . .”

“Hanya pelacur, kata kakekku, yang bisa menyembuhkan herpes ini.” Kecurigaan muncul di benak Bella. “By the way, tahu dari mana kamu kalau ayahku main pelacur?”

Vika terdiam. Pertanyaan Bella seperti skak mat—membuat lawan bicaranya mati kutu. “Tahu dari mana, Vik?” Lanjut Bella.

Air mata tiba-tiba membasahi pipi Vika. Tangannya meraih tangan Bella. Mereka saling bergenggaman tangan. Vika menarik nafas dalam, menyiapkan rangkaian kata yang ingin diucapkannya.

“Aku pelacurnya, Bel. Lihat pakaianku sekarang! Dari semalam sampai pagi ini aku melayani om-om di hotel.”

“Vika!” Bentak Bella.

“Aku menjual diriku via online menggunakan nama samaran. Ayahmu memesan aku, Bel. Dan aku menolaknya dengan alasan sedang ramai job.” Usai mengucapkannya, Vika terlihat lebih lega dan enteng untuk melontarkan kalimat-kalimat lainnya. “Aku terpaksa melakukannya. Tak perlu ditanya mengapa.”

Kini giliran Bella yang menangis sejadi-jadinya. Bantal yang dipakainya pun menjadi basah. Ingin Bella mengucapkan sesuatu, tapi bibirnya terasa berat.

“Lalu apa yang bisa dilakukan pelacur untuk menyembuhkan herpes di tubuhmu?”

Setelah mengumpulkan tenaga, Bella kemudian menjelaskan detail tentang pengobatan herpes menggunakan gula merah dan kelapa muda seperti yang ia dengar dari penjelasan kakeknya.

“Orang itu harus mengunyah gula merah dan kelapa muda, lalu menyemburkannya ke herpesku.”

“Mengapa kamu harus menggunakan kata ganti ‘orang itu’? Baiklah, aku akan mencari gula merah dan kelapa muda.”

Vika langsung nyelonong keluar kamar, dia menuju pasar modern yang letaknya tak jauh dari rumah sakit. Langkah kakinya cepat, tergesa-gesa. Sesekali Vika berlari, hingga rok mininya terangkat semakin ke atas dan buah dadanya berjoget naik turun.

Sepuhan keringat membuat kulit Vika berkilau saat masuk ke kamar Bella sambil menenteng sepatu hak tinggi dan kresek berisi gula merah dan kelapa muda. “Cepat, lepas pakaian rumah sakitmu!” Perintah Vika sambil mengunyah isi dalam kresek. Bella menurut.

Sejurus kemudian, Vika menyemburkan kunyahannya ke herpes yang hampir melingkari tubuh Bella. “Seperti ini, Bel?” Tanya Vika yang hanya dijawab anggukan kepala oleh Bella.

Demikianlah, sejak peristiwa itu, untuk pertama kalinya aku merasa gagal sebagai malaikat pencabut nyawa. Herpes ngacir dari tubuh Bella tiga hari setelah insiden semburan gula merah dan kelapa muda. Aku memilih pensiun; berhenti menyandang status malaikat pencabut nyawa. Kini, aku domisili di bumi menjadi tukang mengarang cerita pendek.

***

Leave a Reply

Bahasa »