PARA PENIPU

Taufiq Wr. Hidayat *

Sebuah ruang. Ruang yang tak meniscayakan dinding. Ia boleh saja suatu wilayah terbuka atau tertutup. Tetapi di dalam ruang itu, terjadi peristiwa dalam satuan waktu dan sebentang jarak. Di situ, peristiwa dan tokoh-tokohnya—yang kalah maupun yang mengalahkan, “berputar-putar dalam lingkaran,” kata lagu “Kuda Lumping” (SWAMI II, 1991).

… … .
Berbaju sutra pandai menipu
Membabi buta cari mangsa
Mulut penipu berbau busuk
Mempertahankan hidup yang busuk

Para penipu berkeliaran
Makan tanah memperkosa fakta
Saling menipu sesama penipu
Tidak menipu jadinya tertipu
… … .

Apa sebenarnya harapan para penipu? Sedemikian licik dan bulusnya suatu tipuan, sesungguhnya bukan yang pertama-tama. Bagi Derrida, suatu kebohongan bukan pada narasinya. Melainkan apa tujuan dari si pembohong atau kebohongan itu sendiri. Tetapi tipuan meniscayakan ruang dan tenggat waktu. Meski suatu tipuan akan bertahan sejauh waktu, tatkala ia dijaga oleh kepentingan-kepentingan. Tipuan yang kemudian diyakini sebagai kebenaran.

Tapi baiklah.
Sahdan kaum Pandawa kerepotan menghadapi Reksi Dorna di tengah peperangan panjang Mahabharata, yang tragis dan melelahkan. Pada ruang peperangan itulah, Reksi Dorna yang sebelumnya—dalam versi wayang Jawa, pernah menipu Brantasena agar mencari “kayu gung susuhe ngangin”, maju ke gelanggang perang. Seorang resi, ahli agama dan ketuhanan, dan ahli perang, murid kebanggaan Resi Bargawa Parasurama, dengan gampang dan culas membabat habis pasukan musuh hanya dengan sebelah tangan saja. Reksi Dorna termasuk makhluk kekal. Tak bisa dibunuh. Tak ada satu pun dewa dapat mengakhiri hidupnya. Langgeng selawase. Dia yang telah menciptakan lingkaran Cakrabyuha, membuat Abimanyu terjebak, lalu tewas dalam lingkaran Reksi Dorna tersebut. Dengan usia yang tua renta, tapi congkak dan memandang remeh siapa saja, Reksi Dorna membantai ribuan pasukan Pandawa seorang diri. Namun tak satu pun dari lima kesatria Pandawa berani menghadang Reksi Dorna, yang tak lain adalah guru mereka sendiri. Panah Arjuna yang ampuh tak berkutik, hatinya pun tak mau menggerakkan panah-panah. Mustahil ia membidikkan panah pada gurunya sendiri. Meski panah ditembakkan pada Reksi Dorna sekalipun, Reksi Dorna tidak akan mati. Jangankan senjata ampuh sejagat raya, bahkan takdir pun tak bisa menyentuhnya, apalagi melukai dan membunuhnya. Reksi Dorna tak terkalahkan.

Keadaan menjadi runyam. Lantaran Reksi Dorna, sang ahli agama dan ketuhanan sekaligus ahli perang itu, membabibuta menjatuhkan banyak korban. Basudewa bersiasat. Ia memahami kelemahan telak Reksi Dorna. Yakni putranya, Bambang Aswatama. Seorang ahli agama, guru ketuhanan, dan begawan perang, Reksi Dorna sangat menyayangi putranya lebih dari apa pun di jagat raya ini. Seluruh harta, jiwa-raga, dan ilmunya ia persembahkan dan akan ia wariskan pada Bambang Aswatama. Ia berharap Bambang Aswatama kelak meneruskan posisinya sebagai resi agung Ngastinapura. Bagaikan kebanyakan seorang ahli atau tokoh agama yang cenderung mewariskan perguruan pada anaknya. Dan anak dari seorang tokoh agama selalu dibangga-banggakan meneruskan ketokohan orangtuanya sebagai trah ahli agama. Sebagaimana kebanyakan orangtua yang cenderung membangga-banggakan anaknya, Reksi Dorna sangat mengutamakan dan membangga-banggakan Bambang Aswatama. Dialah putra harapan. Segala-galanya.

Basudewa berspekulasi. Jika seandainya Bambang Aswatama mati, Reksi Dorna tak akan punya alasan tetap hidup. Ia akan menyerahkan nyawanya, lantaran tak ada lagi harapan dalam hidupnya. Trah seorang ahli agama dan guru agung bakal lenyap dalam sejarah, jika sang anak yang dibanggakan telah tewas terlebih dahulu sebelum orangtuanya. Tapi membunuh Bambang Aswatama adalah urusan lain. Tak mudah menumbangkan Bambang Aswatama dalam waktu singkat, sang anak resi yang pongah dan menepuk-nepuk dada mewarisi kesucian bapaknya.

“Bunuh Esti Aswatama!” perintah Basudewa. “Lalu teriakkanlah ke mana-mana, bahwa Aswatama sudah tewas!” pungkasnya dengan senyum yang licik penuh muslihat.

“Kita tidak boleh berdusta. Itu bukan sikap kesatria,” ujar Yudistira, kesatria jujur yang tolol saat mempertaruhkan segala-gala dalam permainan dadu.

“Kita tidak berbohong. Dan engkau tak perlu berbohong. Katakanlah dengan sebenarnya, bahwa Esti Aswatama memang benar-benar telah mati, jika Reksi Dorna bertanya padamu,” jawab Basudewa.

Esti Aswatama adalah nama seekor gajah milik Pandawa. Gajah itu dibunuh. Dikorbankan. Seluruh pasukan berteriak-teriak girang.

“Aswatama mati!”
“Aswatama tewas!”
“Aswatama habis!”
“Modar!”
“Mampus!”

Siasat itu berhasil. Mendengar Aswatama mati, seluruh tubuh Reksi Dorna menjadi dingin. Kecongkakannya meredup. Ia lupa, hanya Hyang Widi yang berhak sombong, bukan dirinya sesuci apa pun. Tubuhnya yang tua menjadi semakin renta, melemah, seluruh kesaktiannya runtuh. Segenap ilmu agama dan ilmu ketuhanannya tak berfungsi lagi. Lenyap. Ia menyerahkan nyawanya. Dengan tangkas, dipenggallah kepala Reksi Dorna. Sang begawan perang, tokoh dan guru agama yang agung itu pun ambruk mengakhiri keabadiannya di dunia.

Agaknya tak mudah menjadi seorang yang mengajarkan ilmu, menjadi seorang ahli ketuhanan atau tokoh agama. Ia akan diserang ketergantungan atau pemujaan keturunan yang tak lain bentuk pemujaan terhadap dirinya sendiri. Ditipu kebanggaan-kebanggaan, ditipu keahliannya sendiri, ditipu kecongkakannya sendiri, diperdaya kesombongan membangga-banggakan anaknya dan murid-muridnya sendiri yang telah dianggap berhasil. Reksi Dorna dibunuh keagungannya sendiri.

Tapi siapa sebenarnya para penipu, atau siapa sesungguhnya yang paling mungkin bisa melakukan penipuan? Penipu yang tertipu itu bisa saja Reksi Dorna dengan mulutnya yang manis mendayu-merdu. Tapi siapa yang menipu penipu? Pada sisi lain, di situ Basudewa pun menipu. Tinggal siapa dan atas kepentingan apa peristiwa itu dilihat atau dikerjakan. Dunia tak pernah selamanya hitam dan putih. Begitu pula sejarah. Para penipu itu—sebagaimana dalam lagu “Kuda Lumping” (SWAMI II, 1991) yang dinyanyikan Iwan Fals dan Sawung Jabo, tak lain adalah mereka yang “berbaju sutra”, sehingga dengan baju kehormatannya itu ia “pandai menipu”. Dan mulutnya “berbau busuk”, yang berusaha terus menerus “mempertahankan hidup yang busuk”.

Tembokrejo, 2021


*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »