PEMUDA

D. Zawawi Imron *
jawapos.com

Besok lusa, 28 Oktober 2008, bangsa Indonesia akan memperingati hari ”Soempah Pemoeda”. Kongres Pemuda II yang menghasilkan tiga butir Sumpah Pemuda itu menurut Ajip Rosidi sebagai pernyataan resmi adanya tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia. Sebelum itu masih belum ada bahasa Indonesia. Yang ada adalah bahasa Melayu yang telah menjadi lingua franca antaretnik-etnik yang ada di Nusantara. Bahkan, ketika Raffles menjabat gubernur jenderal (1811), raja-raja yang bukan etnik Melayu berkirim surat sebagai tanda pernyataan setia kepada Raffles. Surat raja-raja dari berbagai daerah itu dibukukan dengan judul Golden Letters, hampir semua menggunakan bahasa Melayu. Hal itu membuktikan bahwa bahasa Melayu telah dipakai alat komunikasi resmi satu abad sebelum Sumpah Pemuda.

Maka, sangat tepat kalau pemuda-pemuda yang berkongres di Jakarta pada akhir Oktober 1928 itu memilih bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Padahal, kalau memperhatikan bahasa daerah yang paling banyak pemakainya adalah bahasa Jawa. Tapi, di situlah indahnya sejarah. Meskipun saat itu pemakai bahasa Jawa merupakan mayoritas, berdasarkan realitas bahasa Melayu telah menjadi bahasa pergaulan antaretnik, di samping bahasa Melayu sangat mudah dipelajari karena tidak punya ”unggah-ungguh”, pemuda-pemuda Jawa yang ikut kongres menunjukkan kerendahatian dan pengorbanannya dengan menerima bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Persatuan dianggap lebih penting dari sekadar kemenangan.

Seandainya kerendahatian seperti itu tetap menjadi milik bangsa kita dalam menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa, betapa mudah kita sekarang untuk melahirkan kesepakatan-kesepakatan dalam kebersamaan dan persamaan sebangsa setanah air. Rahasianya ialah dengan menyelami jiwa orang lain sampai ke lubuk jantungnya sehingga kita bisa mengerti keinginan orang lain. Dari sini kita coba menghargai orang lain. Yang merasa dihargai juga membalas dengan apresiasi dan penghargaan yang sama. Hasilnya, tentu berupa kesepakatan-kesepakatan yang akan dihormati semua pihak. Itulah hikmah yang bisa kita petik dari proses kelahiran Sumpah Pemuda.

Tidak kurang menariknya, pemuda-pemuda yang mencetuskan keindonesiaan itu adalah anak-anak muda yang berumur antara 20 sampai 25 tahun. Produk mereka melahirkan kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yang disebut ”Indonesia”.

Hikmah yang lain membuktikan bahwa para pemuda yang mempunyai jiwa merdeka dan selalu berpikir positif dan kreatif, akan melahirkan buah pikiran yang cemerlang, tidak kalah dengan orang-orang tua. Pada saat anak-anak muda tak banyak merasa direcoki dan diatur oleh para seniornya, mereka mempunyai kebebasan visi yang mencerahkan. Kader-kader yang dibutuhkan suatu bangsa memang pemuda-pemuda yang ”visioner” yang dengan daya pikirnya yang cerdas dan mandiri mampu membaca tanda-tanda zaman, serta mampu menghasilkan formula-formula yang berharga untuk dipersembahkan kepada bangsa yang memang sedang membutuhkan buah pikirannya.

Pemuda memang perlu diberi kepercayaan. Mereka bukan hanya perlu didengar, lebih dari itu perlu diberi peran sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Berpikir tentang pemuda saya jadi teringat dokter Sutomo yang memimpin Budi Utomo dalam usia 21 tahun. Abdul Haris Nasution menjadi kepala Staf Angkatan Darat ketika berumur 27 tahun. Bung Tomo memimpin Perang 10 November 1945 di usia 25 tahun. Baharudin Lopa menjadi bupati Mandar (Sekarang Sulawesi Barat) saat berumur 24 tahun, A. A. Baramuli menjadi gubernur Sulawesi Utara dalam umur 29 tahun, budayawan Umar Kayam menjadi dirjen RTF (Radio Televisi dan Film) dalam usia 28 tahun.

Sejarah saya kira bukan hanya untuk dikenang. Akan lebih indah lagi kalau sejarah itu dapat dikaji, dipelajari, dan dijadikan bahan percerahan untuk membangun hari esok yang lebih menjanjikan. Artinya, bangsa yang berhasil, ialah bangsa yang mampu memberi peran kepada kader-kader bangsa, anak-anak muda yang berpikir bersih, positif, tegar, dan segar.

Jika suatu bangsa tidak mampu mencetak kader-kader muda yang tangguh dan berpikir cemerlang, itu pertanda hari esok akan berjalan tanpa pemimpin. Bangsa yang dipimpin oleh kader yang lemah dan tidak bermental serta bermoral pemimpin, akan mengalami kiamat kecil. Tidak! Hal itu tidak boleh terjadi.

Kita masih punya hari esok. Berilah peran kepada anak-anak muda dengan penuh kepercayaan, sebab merekalah yang lebih tahu tentang hari esok.
***

*) D. Zawawi Imron, lahir di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep. Dia mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tahun 1982.

Leave a Reply

Bahasa ยป